Refleksi Politik Indonesia: Demokrasi Pasca Pilpres Menuju Totalitarianisme?

Dua malam lalu, di Cafe Juang, Kota Makassar, seorang kawan seorganisasi tanpa ragu-ragu menyatakan pendapatnya perihal rupa demokrasi Indonesia saat ini kepada saya. Dengan penuh antusiasme kekecewaan, dia menilai bahwa demokrasi kita saat ini tidak sedang dalam baik-baik saja dan semakin buruk seiring perjalanannya dari hari ke hari. "Mungkin. Yang pasti, kita sama-sama mencemaskan kelangsungan hidup demokrasi di Indonesia ke depan," ucap saya.
Menurutnya, keterpurukan rupa demokrasi kita diawali dengan terjadinya konsolidasi politik yang buruk yang dilakukan oleh presiden terpilih, Joko Widodo, karena meminta lawan politiknya (political opponent) saat pilpres, Prabowo Subianto, supaya tak lagi berdiri di luar dan bersedia bersama-sama terlibat dalam kerja-kerja pemerintahan-kabinet Indonesia Maju secara aktif.
Prabowo pun bersedia: Keputusan itu pada akhirnya membuat Prabowo tak lagi tampil sebagai penanda utama ke-eksistensian partai oposisi, penanda yang kerap kali oratif berapi-api dan kadang-kadang lantang berteriak: Indonesia Great Again. Akibatnya, ruang oposisi, cheking and balancing, diisi oleh para siluet (tampak dalam ketidakjelasan), kalau bukan disebut tanpa oposisi.
Saya pikir, penilaian kawan saya ada benarnya. Konsolidasi itu memang buruk. Saya sepakat dengannya. Mengingat, setelah rekonsiliasi Jokowi-Prabowo rakyat kembali disuguhkan dengan satu peristiwa konsolidatif politik yang jauh lebih buruk, yakni antara Nasdem dan PKS. Hal ini seolah-olah membenarkan bahwa Nasdem dan PKS (juga seluruh partai politik lainnya di Indonesia kecuali partai politik pada masa awal pemilu tahun 1955) sejatinya tidak mempunyai basis ideologi perjuangan yang tetap. Pokoknya, tiba musim tiba ide. Inilah konsekuensi dari menerapkan sistem multipartai, tapi hanya dengan satu ideologi. Konyol.
Bahwa para pelakon konsolidasi-konsolidasi tersebut mengatakan bahwa itu dilakukan demi kebaikan umat dan bangsa, lantas menjadi pertanyaan kemudian; pertengkaran antar mereka dulu sewaktu pemilu itu demi apa dan siapa? Demi kemaslahatan bangsa dan berjuta-juta umat juga? Apakah awak-awak partai politik mengira efek dari strategi politik yang sempat mereka terapkan di bulan-bulan lalu pada masa pemilu raya itu adalah strategi yang dapat dan telah menghasilkan keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat Nusantara?
That's bullshit. Sebaliknya, seluruh strategi yang mereka lakukan demi meraup dukungan masyarakat telah secara eksplisit menimbulkan polarisasi di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Alih-alih menyemai persatuan, mereka malah mencetuskan disintegritas sosial. Jadi, segala macam konsolidasi-konsolidasi yang mereka lakukan pasca pilpres hanyalah intrik semata.
Kalau mau diartikan sebagai bagian dari proses dinamisme politik, saya pikir, itu juga kesalahan besar. Dinamisme politik tidak bisa direduksi dan diterjemahkan sesederhana itu. Kawan bisa jadi lawan dan lawan bisa jadi kawan, hanya terjadi pada mereka yang impoten memelihara ide dan inkonsistensi laku terhadap prinsip. Manusia semacam inilah yang acap kali membenarkan dinamisme politik sedangkal itu. Apa pun alibinya, praktik semacam itu jelas-jelas tidak mengajarkan etika demokrasi dan berpolitik yang baik pada masyarakat.
Menuju Totalitarianisme
Terlalu naif bila di ada pihak yang mengatakan bahwa gerak demokrasi kita pasca pilpres menuju ke arah yang jauh lebih baik dari keadaan sosio-politik yang sebelumnya terjadi dan signifikan melukai hak-hak demokratis rakyat luas. Sejarah terlanjur mengajarkan kepada zoon politikon bahwa maksud dari seluruh konsolidatif politik, tak lain dan tak bukan, adalah selalu untuk mengooptasi kekuatan lawan politik.
Apakah di saat kekuatan politik terlihat semakin dibuat terpusat di genggaman satu pihak, dapatkah disimpulkan bahwa saat ini kita sedang bergerak menuju suatu tatanan pemerintahan yang totaliter, pemerintahan yang menindas hak pribadi dan mengawasi segala aspek kehidupan warganya?
Pihak-pihak yang turut meraup keuntungan serta menikmati kesenangan parsial atas kondisi demokrasi saat ini kemungkinan besar akan menjawab "Tidak!", dan mengatakan demokrasi semakin baik. Tetapi sejarah tak bisa dinafikan. Kata Johann W von Goethe, novelis sekaligus filsuf asal Jerman, dalam buku Dunia Sophie, "Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya."
Agak keterlaluan bila rakyat mengabaikan dan tidak mengambil pelajaran dari peristiwa politik sepanjang satu tahun belakangan ini, di mana 500 lebih anggota KPPS meninggal dunia saat menjalankan tugas kepemiluan (jika bukan kepiluan) yang diembannya; hak luar biasa KPK diamputasi oleh DPRD bersama Presiden dengan alasan bahwa KPK terlalu sewenang-wenang; dan matinya partai politik melalui pengooptasian ketua partai, dll. Seluruh peristiwa ini perlu diingat dan dipetik hikmahnya.
Manakala peristiwa-peristiwa tersebut diabaikan hingga terlupakan, itu artinya kita tidak sedang berdemokrasi. Pasalnya, seperti kata Goethe, kita hidup tanpa memanfaatkan akal. Sedangkan demokrasi itu sendiri adalah pemerintahan akal melalui pemerintahan orang. Maksudnya, dalam demokrasi tak boleh orang yang tak berakal dipilih jadi pemerintah. Demokrasi, ya, begitu. Ya, azasnya adalah pikiran rakyat.
Sialnya, terlepas dari peristiwa-peristiwa politik di atas (tanpa melupakannya), tindakan-tindak pemerintah akhir-akhir ini sama sekali tidak menyentuh nalar publik yang sehat, soal arti radikalisme, misalnya. Masak radikalisme diartikan sebagai suatu ideologi, gagasan, atau pahaman, yang ingin melalukan perubahan politik sebagaimana yang diinginkan melalui jalur kekerasan. Suka tak suka definisi ini kita dipergunakan secara luas dan masif.
Padahal kebanyakan rakyat, terutama mereka yang bergelut dalam dunia filsafat, tahu betul definisi yang dilakukan oleh pemerintah itu salah kaprah. Sejatinya, radikalisme adalah suatu diskursus dalam tradisi filsafat yang sejak istilahnya saja telah menggambarkan maksudnya; menganjurkan bahwa setiap bentuk pemikiran harus memiliki akar atau mempunyai dasar pijakan yang jelas.
Karena radikalisme itu sendiri adalah pahaman yang senantiasa mencari suatu pijakan yang universal, di mana setiap pemikiran bermula dengan cinta yang penuh kebijaksanaan. Sebab, filsafat itu sendiri sejak awal dimaknai sebagai kebijaksanaan dalam mencintai, bukan sebaliknya. Alangkah indahnya bila radikalisme dikembalikan pada definisi awalnya seperti demikian. Sayangnya, pemerintah tak mau mengaku salah. Lagi-lagi rakyatlah yang terpaksa memilih mengalah dan mengikut pada setiap definisi penguasa.
Dalam perspektif Orwellian tindakan itu sudah totaliter. Orwell menyebutnya "Newspeak". Artinya negara, dalam hal ini pemerintah, bertindak sebagai pembicara dominan membuat lebih banyak newspeak untuk membatasi pandangan rakyat terhadap realitas, salah satunya mengubah makna kata serta bahasa politik lama menjadi baru dengan makna yang dikehendakinya.
Menurut Orwell, setiap penguasa akan membuat kamus politiknya masing-masing. Karena untuk mengatur pikiran suatu masyarakat, itulah hal pertama yang perlu dilakukan oleh penguasa: menghadirkan kamus politik baru dan memberanguskan kamus politik lama. Penguasa perlu memperbiasakan rakyatnya menggunakan kosakata serta bahasa-bahasa lama tapi makna baru itu. Setelah rakyat mulai terbiasa, meski ada perdebatan (akan selalu ada pihak yang menolak), baru kemudian diregulasikan. Hasilnya, pikiran rakyat pun ada dalam kendali. "Totalitarianisme pun tercipta," menurut George Orwell.
Ada banyak tanda yang bisa diikutsertakan dalam argumentasi untuk mengatakan kepada orang-orang dan membuat mereka percaya bahwa sekarang ini demokrasi kita dirundung pilu yang teramat terpuruk. Demokrasi selamanya adalah tentang kebebasan, kesetaraan, keadilan, serta persaudaraan. Demokrasi bukan sekadar pemilu, apalagi pemilu yang berujung kabung-pilu.
Dari sekian banyak tanda akhir dari demokrasi kita, SKB (Surat keputusan Bersama) adalah satu di antara sekian banyak tanda yang waktu kemunculannya paling dekat dengan kita hari ini. Surat SKB mengubah ASN yang berjumlah hampir 5 juta orang menjadi mayat hidup. Hak mereka sebagai waktu negara hampir habis, disita oleh status mereka sebagai pekerja. Surat ini lahir dari banyak makna kata-kata dari kamus politik lama yang disehatkan.
Melalui SKB (Surat Keputusan Bersama), pembubaran ormas, kriminalisasi aktivis, kematian para demonstran, perampasan lahan warga, saya tidak lagi menemukan Pancasila yang berjiwa terbuka dan se-revolusioner dulu; Bhineka Tunggal Ika bukan lagi berarti bersatu dalam perbedaan, kini diartikan berbeda dalam persatuan; UUD 1945 tak lagi membuat pemerintah melindungi segenap bangsa—namun sebaliknya, segenap bangsa yang berbalik melindung pemerintah.
Barangkali akar dari segala pelik, kisruh, dan ketidak-demokratisan ini adalah karena NKRI telah berharga mati. Itu harga yang benar-benar mahal: Kematian. Tak semua orang sanggup membayarnya. Terakhir, selamat datang di negara totalitarianisme berjubah demokrasi.
Artikel Lainnya
-
207305/08/2020
-
32107/07/2024
-
140828/07/2020
-
HAM: Antara Papua, Jokowi dan Kita
124526/12/2019 -
76005/12/2021
-
Sepak Bola dan Stimulus Krisis Imigrasi Uni Eropa
22725/06/2024