Kasus Pembunuhan Brigadir J dalam Perspektif Etika

Sudah lebih 1 bulan, kasus polisi tembak polisi, di rumah Kadiv Propam, yang menyebabkan tewasnya Brigadir Yosua Hutabarat, atau Brigadir J, belum juga tuntas. Padahal, kalau dipikir-pikir, secara akal sehat, seharusnya kasus ini bisa cepat selesai, karena terjadi di dalam rumah kepala polisinya polisi (Propam). Dulunya, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) ini dikenal dengan nama Dinas Provos atau Satuan Provos Polri, ketika Polri masih tergabung menjadi bagian ABRI. Kalau di militer/TNI, Provos ini setara dengan Polisi Militer atau PM (Dikutip dari situs propam.polri.go.id, akses 5 Agustus 2022). Artinya, penegakan hukum di internal Polri, pada dasarnya bergantung pada divisi Propam ini. Oleh karena itu, integritas pihak-pihak yang berada di dalamnya, seharusnya sudah tidak bisa diragukan lagi.
Bicara integritas, maka hal ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan moral. Seorang penegak hukum yang baik, akan menjadi baik, jika taat pada sekumpulan peraturan moral yang bernama kode etik. Akan tetapi, persoalan moralitas penegak hukum, sebenarnya lebih dalam dibanding kode etik. Karena baik atau buruknya moralitas seseorang, sebenarnya bergantung pada hati nurani orang tersebut, hal yang hanya bisa diketahui dan dipahami oleh orang bersangkutan. Orang lain, mungkin bisa melihat tingkah lakunya, yang mereka anggap baik atau buruk, akan tetapi, hati nurani, hanya bisa diketahui keberadaannya, ketika yang bersangkutan sendirian, tidak ada satupun manusia lain yang melihat, hanya ia dan Tuhan yang menyaksikan apa yang dilakukannya, dan apakah hati nurani membimbing tingkah lakunya tersebut?
Kasus Brigadir J ini sebenarnya boleh dikata, hampir menyerupai kisah Yusuf dan Zulaikha. Yusuf, atau Nabi Yusuf a.s, bekerja pada suami Zulaikha, ia ditugaskan untuk mengurusi rumah. Hal yang membuat interaksinya semakin intens dengan Zulaikha, sang istri. Ketampanan Yusuf, membuat Zulaikha jatuh hati, sehingga pada suatu hari, ia melupakan norma-norma moral, dengan mengajak Yusuf untuk tidur dengannya. Akan tetapi, Yusuf menolak dengan tegas permintaan Zulaikha, hal yang membuat Zulaikha kalap. Ia menarik baju belakang Yusuf sampai robek. Robekan inilah yang kemudian dijadikannya bukti, untuk menutupi tindakan memalukan yang telah dilakukannya, dengan menuduh Yusuf mencoba untuk memerkosanya. Hal ini kemudian membuat Yusuf harus mendekam dalam penjara kerajaan.
Persamaan kisah Yusuf dan Zulaikha dengan kasus Brigadir J, adalah pada saat itu yang benar-benar mengetahui kebenaran, terkait tuduhan pelecehan, yang diberikan padanya, hanya dirinya, dan istri Kadiv Propam, Irjen Ferdy Sambo, yaitu Putri Candrawathi (ini sesuai dengan pernyataan dari Kepala Biro Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, tanggal 11 Juli 2022, dikutip dari “Kronologi Lengkap Satu Bulan Kasus Brigadir J”, https://www.cnnindonesia.com/, diakses 10 Agustus 2022).
CCTV, yang seharusnya bisa menjadi saksi ketiga, setelah kejadian, dinyatakan rusak. Sama halnya dengan kasus Yusuf dan Zulaikha, yang benar-benar paham kebenaran tentang tuduhan percobaan perkosaan terhadap Zulaikha, yang dialamatkan ke Yusuf, hanya mereka berdua. Perbedaannya adalah, Brigadir J sudah wafat, ketika tuduhan pelecehan terhadap istri Kadiv Propam, diberikan padanya.
Perkembangan terakhir, dari kasus terbunuhnya Brigadir J adalah, ditetapkannya istri mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi sebagai tersangka, pada hari Jumat, 19 Agustus 2022, menambah jumlah tersangka dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (Sumber: https://news.detik.com/, diakses 20 Agustus 2022). Sementara, Irjen Ferdy Sambo, sudah lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka, beberapa hari sebelumnya. Hal ini terjadi, setelah Bharada E, atau Richard Eliezer, yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka, memberikan kesaksian yang berbeda, yaitu bahwa ia diperintahkan oleh Ferdy, yang merupakan atasannya untuk menembak Brigadir J (dikutip dari “Kronologi Lengkap Satu Bulan Kasus Brigadir J”, https://www.cnnindonesia.com/, diakses 10 Agustus 2022).
Di sinilah kemudian, seharusnya hati nurani bisa membantu penyelesaian perkara pelik ini, sehingga spekulasi masyarakat tidak menjadi terlalu liar. Artinya, pihak-pihak yang paham kebenaran sejati, terkait peristiwa terbunuhnya Brigadir J, jika masih memiliki hati nurani, pastilah akan merasa sangat bersalah. Persoalannya kemudian, kesadaran individu, pada dasarnya adalah bentukan masyarakat.
Dalam perspektif etika, untuk hal ini, terdapat dua jenis budaya yang membedakan masyarakat satu dan lainnya. Pertama, adalah masyarakat dengan budaya malu, atau shame culture, sementara, yang kedua, adalah masyarakat dengan budaya rasa bersalah, atau guilt culture. Masyarakat pertama, sebenarnya tidak takut berbuat salah, yang mereka takutkan adalah perbuatan salah mereka tersebut diketahui orang lain, hal yang kemudian membuat mereka malu. Rasa malu inilah yang kemudian membuat seseorang dalam masyarakat dengan shame culture, berusaha menutup rapat-rapat perbuatan salah yang mereka lakukan tersebut. Bahkan, jika perlu, maka mereka tak segan membunuh untuk menutupi kesalahan mereka, atau menyangkal habis-habisan kebenaran informasi tentang perbuatan salah, yang telah dilakukan mereka, ketika sudah terlanjur keluar dan diketahui publik.
Berbeda dengan masyarakat dengan shame culture, individu yang berasal dari masyarakat dengan guilt culture, akan merasa bersalah dan bertanggung jawab atas perbuatan salah yang telah mereka lakukan. Masyarakat Korea Selatan dan Jepang, adalah masyarakat dengan guilt culture, dalam masyarakat tersebut, lumrah sekali ditemukan orang-orang yang tidak mampu untuk hidup dengan dihantui perasaan bersalah. Budaya hara-kiri, dalam masyarakat Jepang, pada dasarnya adalah manifestasi dari guilt culture. Pasca kekalahan Jepang dalam perang dunia II, walaupun pada kenyataannya mereka kalah karena tindakan curang sekutu, yang menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki, para tentara Jepang, yang memegang teguh prinsip moral mereka, memilih untuk hara-kiri, yaitu dengan merobek perut mereka dengan pisau atau katana. Dalam masyarakat Korea Selatan, juga kerap kali terjadi politisi atau pejabat memutuskan untuk bunuh diri atau mengundurkan diri, ketika mereka merasa telah berbuat salah dan tidak mampu menjalankan pekerjaan mereka dengan baik.
Filosofi “mikul dhuwur mendem jero”, yang berarti “mengangkat tinggi, mengubur dalam”, pada masyarakat Jawa, pada dasarnya adalah cerminan dari shame culture. “Mendem jero”, pada dasarnya bermakna mengubur aib dalam-dalam, atau menutupi perbuatan salah serapat-rapatnya, yang ditampilkan atau yang “dipikul dhuwur” hanyalah hal-hal yang baik saja. Soeharto, Presiden Indonesia, kedua, dulu sempat menyatakan akan memperlakukan pendahulunya, Soekarno, sesuai dengan filosofi ini. Filosofi ini juga ada dalam berbagai masyarakat di Indonesia, dalam bentuk dan ungkapan lain.
Kembali ke kasus Brigadir J, shame culture (budaya malu), yang masih sangat dominan dalam masyarakat Indonesia, adalah hal yang menyebabkan, belum terungkapnya kebenaran yang sebenar-benarnya terkait peristiwa terbunuhnya Brigadir J. Penetapan Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka, pada dasarnya belum bisa diartikan sebagai penyelesaian kasus, karena proses peradilan dan penetapan vonis masih belum terjadi, sehingga kebenaran sejati belumlah terungkap. Di satu sisi, mungkin hati nurani orang-orang yang paham kejadian sebenarnya, akan membuat mereka merasa bersalah, akan tetapi mereka akan lebih tidak mau hidup dengan rasa malu, karena perbuatan salah mereka diketahui banyak orang. Inilah faktor utama yang menjadi penyebab, belum tuntasnya kasus terbunuhnya Brigadir J, sampai sekarang.
Artikel Lainnya
-
181119/05/2020
-
130522/04/2022
-
111421/05/2023
-
26 Tahun Reformasi, Pemberantasan Korupsi, dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia
171522/05/2024 -
Memenuhi Hak-Hak Narapidana Perempuan
170527/11/2021 -
79212/11/2022