PPN 12% , Solusi Palsu?

Pajak, sebagai iuran wajib yang dibayarkan masyarakat kepada negara, seharusnya menjadi instrumen utama untuk pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pajak memungkinkan pemerintah menyediakan kebutuhan dasar seperti akses pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur publik yang merata. Dalam konsep idealnya, pajak adalah alat redistribusi yang mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, menciptakan masyarakat yang lebih adil, dan memastikan setiap individu mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang. Namun, ketika kebijakan pajak malah pada akhirnya menambah beban rakyat, muncul pertanyaan mendasar: Apakah tujuan pajak masih relevan? Apakah pemerintah benar-benar memahami implikasi kebijakan ini terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan? Ataukah pajak hanya menjadi alat untuk menutup defisit anggaran tanpa mempertimbangkan efek jangka panjang terhadap struktur sosial?
Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada awal tahun 2025 adalah contoh nyata dari kebijakan yang dinilai tidak memihak masyarakat kelas bawah. Kenaikan ini berpotensi memperlebar jurang kesenjangan sosial karena kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan merasakan dampaknya lebih berat dibandingkan mereka yang berada di lapisan atas.
Langkah ini tidak hanya memicu kontroversi, tetapi juga menimbulkan dampak yang signifikan pada daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi. Ketika kebutuhan pokok menjadi lebih mahal akibat kenaikan tarif pajak, banyak rumah tangga yang terpaksa mengurangi konsumsi atau mencari alternatif yang lebih murah, yang sering kali tidak sebanding kualitasnya. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat memperburuk kualitas hidup dan menurunkan standar kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Bahkan, dampak ini dapat menciptakan siklus kemiskinan yang sulit dipecahkan, di mana masyarakat kecil semakin terjebak dalam kondisi yang stagnan, tanpa peluang untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.
Kebijakan keniakan pajak ini berakar dari agenda besar harmonisasi peraturan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah berdalih bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana serta adil. Namun, dalih ini memunculkan kontradiksi. Alih-alih menyederhanakan, kebijakan ini justru memperburuk kondisi ekonomi masyarakat kecil. Kenaikan PPN bersifat regresif, yang artinya lebih memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah karena proporsi pengeluaran mereka terhadap kebutuhan pokok lebih besar dibandingkan kelompok kaya.
Dalam konteks ini, langkah pemerintah tampak seperti solusi yang terburu-buru. Meski mayoritas fraksi di parlemen mendukung pengesahan UU HPP, sejumlah partai politik sempat menolak dengan alasan kekhawatiran dampaknya terhadap masyarakat kecil. Kritik ini relevan, mengingat Indonesia masih berada dalam fase pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19. Menaikkan tarif PPN justru berpotensi menghambat pemulihan tersebut dengan melemahkan daya beli masyarakat.
Harmonisasi perpajakan yang diusung pemerintah juga tampaknya tidak sejalan dengan realitas ekonomi. Kenaikan tarif PPN telah memicu inflasi sebelum kebijakan ini resmi berlaku, sebuah fenomena yang dikenal sebagai pre-emptive inflation. Para pelaku usaha, dalam upaya mengantisipasi kenaikan biaya di masa depan, mulai menaikkan harga barang dan jasa lebih awal. Inflasi yang meningkat dari 1,56% menjadi 4,21% menunjukkan bahwa kebijakan ini memengaruhi konsumsi rumah tangga secara langsung. Pada tahun 2025, inflasi diprediksi mencapai 4,11%, yang dapat mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja dan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 550 ribu orang. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan PPN berisiko menambah angka pengangguran dan memperburuk kesenjangan sosial.
Lebih jauh, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang prioritas pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara. Jika tujuan utama adalah meningkatkan penerimaan pajak, mengapa tidak mengejar opsi yang lebih progresif dan adil? Misalnya, pemerintah dapat mempertimbangkan penerapan pajak karbon untuk mengurangi emisi dan menghasilkan pendapatan tambahan, pajak kekayaan untuk individu berpenghasilan tinggi, atau pajak windfall bagi sektor dengan keuntungan luar biasa seperti tambang dan kelapa sawit.
Selain itu, penutupan celah kebocoran pajak di sektor digital lintas negara juga bisa menjadi alternatif yang lebih efektif. Langkah-langkah ini tidak hanya adil, tetapi juga memberikan solusi yang lebih berkelanjutan dibandingkan dengan menaikkan tarif PPN.
Reformasi perpajakan yang benar-benar berpihak pada rakyat harus didasarkan pada prinsip keadilan sosial. Beban pajak seharusnya lebih berat bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih besar, bukan masyarakat yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dan memperluas basis pajak untuk memastikan penerimaan negara tetap stabil tanpa membebani masyarakat kecil.
Kenaikan PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang destruktif, bukan preventif. Alih-alih menawarkan solusi jangka panjang, kebijakan ini hanya menambah masalah dengan memberikan beban tambahan kepada rakyat kecil. Pemerintah perlu segera mengevaluasi kebijakan ini dan mencari langkah-langkah yang lebih tepat untuk mengatasi tantangan sosial ekonomi yang dihadapi bangsa. Sebagai warga negara, kita juga memiliki tanggung jawab untuk terus mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah agar tetap berpihak pada kepentingan bersama.
Kebijakan fiskal yang efektif adalah kebijakan yang tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan begitu, kesejahteraan yang diimpikan dapat benar-benar terwujud, bukan hanya sekadar solusi palsu yang melemahkan dan bukan sekadar menjadi janji kosong.
Artikel Lainnya
-
289214/11/2021
-
219323/12/2021
-
93031/12/2022
-
Pandemi Covid-19 Sebagai Parameter Pemilu 2024
112422/04/2020 -
85023/08/2021
-
Sanksi Pidana Keluarga Akidi Tio, Sudah Tepatkah?
151810/08/2021