Polarisasi Aliran Agama Islam dalam Bingkai Perguruan Tinggi

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Polarisasi Aliran Agama Islam dalam Bingkai Perguruan Tinggi 10/01/2025 50 view Agama ILUSTRASI DI BUAT DARI LAMAN AI CHATGPT

Di era kemajuan informasi saat ini, pembelajaran di perguruan tinggi Islam tidak hanya mencakup aspek akademis, tetapi juga pembentukan identitas dan pemahaman agama. Dalam konteks ini, aliran-aliran dalam Islam sering kali menjadi tema perdebatan yang hangat di kalangan mahasiswa. Ketegangan (selanjutnya kita sebut polarisasi) antara konservatisme dan liberalisme, misalnya, menjadi fenomena yang cukup mencolok di lingkungan kampus.

Namun, ini bukan satu-satunya dinamika yang ada, karena kita juga melihat munculnya aliran-aliran seperti salafisme, sufisme, dan bahkan modernisme Islam. Mengapa mahasiswa memilih untuk berpegang pada satu aliran tertentu, dan mengapa mereka mudah beralih dari satu pemahaman ke pemahaman lainnya? Persoalan ini penting untuk dibahas, terutama karena bisa berimplikasi pada dinamika sosial dalam masyarakat.

Salah satu aliran yang sering dibahas adalah konservatisme, yang menekankan pada pemeliharaan tradisi dan penafsiran teks-teks suci secara literal. Mahasiswa yang terpengaruh oleh aliran ini cenderung memiliki pandangan yang kuat tentang ketaatan pada syariat dan norma-norma yang telah ada. Mereka sering kali merasa bahwa mengikuti tradisi adalah cara terbaik untuk menjalankan ajaran agama.

Di sisi lain, ada liberalisme, yang mendorong reinterpretasi teks-teks suci dan menekankan pentingnya konteks sosial dan sejarah dalam memahami ajaran Islam. Pendukung aliran ini percaya bahwa ajaran Islam harus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan menekankan nilai-nilai universal seperti keadilan, hak asasi manusia, dan toleransi. Beberapa mahasiswa mungkin menganggapnya sebagai satu-satunya cara memahami agama, sehingga mengabaikan pandangan lain dan menghambat pemahaman yang lebih luas.

Aliran salafisme juga tidak kalah menarik untuk diperhatikan. Aliran ini berfokus pada kembali kepada pemahaman awal Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh generasi pertama umat Islam. Mahasiswa yang terpengaruh oleh aliran ini mungkin menolak pemikiran-pemikiran yang dianggap inovatif atau bertentangan dengan ajaran yang murni. Mereka menganggap bahwa untuk benar-benar memahami Islam, seseorang harus merujuk pada ajaran dan praktik generasi awal.

Sementara itu, sufisme menawarkan pendekatan yang berbeda dengan menekankan aspek spiritual dan pengalaman personal dalam beragama. Mahasiswa yang tertarik dengan sufisme mungkin lebih fokus pada pencarian kedamaian batin dan hubungan langsung dengan Tuhan. Namun, terkadang ketertarikan ini dapat menyebabkan mereka mengabaikan aspek hukum dalam Islam, yang juga merupakan bagian penting dari ajaran.

Terakhir, aliran modernisme Islam berusaha menggabungkan prinsip-prinsip Islam dengan nilai-nilai modernitas. Mahasiswa yang menganut aliran ini berusaha untuk mengaplikasikan ajaran Islam dalam konteks kehidupan modern, tetapi mereka juga bisa menjadi target kritik dari aliran konservatif yang melihatnya sebagai pengabaian terhadap tradisi.

Dalam perjalanan pencarian identitas keagamaan, banyak mahasiswa menemukan diri mereka terikat pada satu aliran. Keputusan ini sering kali didasari oleh berbagai faktor, seperti pengaruh lingkungan, pemikiran dari guru atau dosen, dan bahkan pengalaman pribadi. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa setelah memilih satu aliran, beberapa dari mereka kemudian beralih kembali ketika mempelajari aliran lain? Sikap ini cenderung menciptakan kesan bahwa mereka tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip yang mereka anut.

Polarisasi ini dapat menciptakan siklus perdebatan yang tidak produktif. Ketika mahasiswa menganggap satu aliran sebagai yang paling benar, mereka berisiko mengabaikan keberagaman pandangan yang ada. Dalam konteks ini, sangat penting untuk mengingat bahwa setiap aliran memiliki kontribusi unik dalam memahami ajaran Islam.

Salah satu penyebab utama polarisasi ini adalah ketidakpahaman terhadap ajaran masing-masing aliran. Banyak mahasiswa yang mungkin hanya memahami aliran tertentu dari perspektif yang sempit, tanpa benar-benar menggali dasar-dasar pemikiran dan praktik yang dianut. Selain itu, pengaruh media sosial yang sering kali menyajikan informasi dengan cara yang provokatif dapat memperburuk situasi ini. Mahasiswa menjadi lebih terpolarisasi oleh narasi yang ekstrem, tanpa kesempatan untuk mendalami perspektif lain.

Selain itu, adanya tekanan dari lingkungan sekitar, baik dari teman, keluarga, atau masyarakat, dapat memperkuat kecenderungan untuk memilih satu aliran dan menolak yang lainnya. Dalam banyak kasus, orang-orang yang terlibat dalam polemik ini merasa bahwa mereka harus memilih “kelompok” untuk mendapatkan dukungan sosial. Hal ini sering kali mengarah pada penciptaan “ruang aman” di mana pandangan yang berbeda dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai kesempatan untuk belajar.

Di tengah polarisasi yang kian menguat, penting bagi mahasiswa untuk menghindari pendekatan “setengah-setengah” dalam mempelajari aliran-aliran dalam Islam. Salah satu solusi yang efektif adalah mendorong mahasiswa untuk mengkaji setiap aliran secara lebih jelas, dengan memahami dasar pemikiran, konteks sejarah, dan praktik yang dianut tanpa terjebak pada bias atau kepentingan pribadi. Cara ini akan membantu mereka mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.

Selain itu, menyadari bahwa setiap aliran mungkin memiliki relevansi tertentu dalam bidang kajian tertentu menjadi bagian yang penting. Misalnya, pendekatan konservatif yang banyak dijumpai di pesantren sering kali memiliki metodologi hafalan yang kuat, yang bermanfaat dalam memahami bahasa Arab dan teks-teks klasik. Metode ini dapat memberikan fondasi yang kokoh bagi mahasiswa yang ingin mendalami aspek linguistik atau syariat Islam.

Di sisi lain, perspektif liberal dapat menawarkan pemikiran kritis yang relevan dalam konteks kajian sosial dan politik. Aliran ini menekankan pentingnya konteks sosial dalam memahami ajaran Islam, yang sangat relevan dalam kajian-kajian tentang keadilan sosial, hak asasi manusia, dan integrasi nilai-nilai modern dalam praktik keagamaan. Dengan demikian, mahasiswa yang mengadopsi perspektif ini dapat memberikan kontribusi signifikan dalam diskusi tentang bagaimana Islam dapat beradaptasi dengan tantangan zaman.

Selanjutnya adalah membangun budaya pembelajaran yang kritis, di mana mahasiswa tidak hanya dituntut untuk memahami aliran yang mereka anut tetapi juga berusaha untuk memahami dan menghargai aliran lain, menjadi kunci. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membaca literatur dari berbagai perspektif, mengikuti kuliah dan diskusi yang mencakup beragam pandangan, serta berdiskusi dengan orang-orang dari aliran yang berbeda.

Dengan cara ini, mahasiswa dapat mengembangkan sikap terbuka dan rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap keberagaman dalam Islam. Dengan memahami setiap aliran secara menyeluruh, mahasiswa dapat menghindari penilaian yang terburu-buru dan memperkaya wawasan mereka. Mereka akan menyadari bahwa pencarian kebenaran dalam Islam adalah perjalanan yang kompleks dan beragam.

Meskipun sebenarnya polarisasi dalam aliran Islam tidak terhindarkan, penting untuk mendekatinya dengan cara yang reflektif. Upaya harus dilakukan untuk menggali identitas keagamaan secara autentik, bukan sekadar mengikuti tren atau arus musiman. Dengan pemahaman yang bijaksana, setiap individu dapat membangun keyakinan yang kokoh, sekaligus menghargai keberagaman pandangan dalam Islam.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya