Respon Indonesia Pasca PBB Melegalkan Ganja

Mahasiswa
Respon Indonesia Pasca PBB Melegalkan Ganja 07/12/2020 1314 view Opini Mingguan tempo.co

Akhir-akhir ini saya menemukan berita resmi dari UN News (2/12/2020) terkait pelegalan ganja. Poin penting berita tersebut ialah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil menggolkan aturan legalisasi ganja. Keputusan ini diambil setelah melewati proses voting yang ketat dan perdebatan sengit di antara banyak negara. Dengan demikian, peredaran ganja taraf internasional resmi legal kendati sebagian negara menolak keputusan tersebut.

Suasana debat atas isu tersebut semakin seru. Ada negara yang pro dan ada juga negara yang kontra saling berargumen dan menanggapi. Beberapa negara mengizinkan peredaran ganja, seperti Ekuador dan Uruguay. Ekuador juga mendesak bahwa pemanfaatan ganja boleh dipakai hanya untuk tujuan damai, seperti kepentingan penelitian.

Sementara Uruguay, negara pertama di dunia melegalkan ganja, sudah menetapkan undang-undang perizinan produksi, distribusi, dan konsumsi ganja secara resmi. Artinya, masyarakat bebas membeli, menikmati, dan menanam ganja tanpa harus berurusan dengan kepolisian. Bahkan di setiap apotik ganja mudah ditemui dan harganya terjangkau. Namun, pengguna harus melapor kepada pemerintah, melalui kantor pos, untuk memastikan konsumsi mereka tidak boleh lebih dari 40 gram per bulan (dilansir dari CNN Indonesia 03/05/2017).

Namun, sebagian negara bersikukuh menolak pelegalan ganja, seperti Chile dan Jepang. Chile berargumen bahwa pengunaan ganja berisiko memicu masalah psikologi, seperti depresi akut, penurunan daya kognitif, kecemasan, sindrom gangguan jiwa. Pernyataan Chile juga dibenarkan oleh Jepang. Jepang menegaskan bahwa pemanfaatan ganja selain tujuan medis berisiko besar terhadap masalah kesehatan dan sosial, khususnya para remaja.

Berita legalisasi ganja dalam forum PBB menjadi berita utama dalam media internasional. Harian The New York Times (02/12/2020) menerangkan beberapa peneliti percaya bahwa cannabidol atau CBD (kandungan ganja) mampu melindungi sistem saraf dan menyembuhkan dari kejang, rasa sakit, kecemasan, dan pembengkakan. Adapun produk dari CBD dapat diolah menjadi krim, serum, air soda, dan jus sesuai kebutuhan pasar.

Meskipun PBB telah melegalkan ganja, bukan berarti kontrol internasional atas peredaran ganja turut longgar. Tidak semua negara yang duduk dalam forum PBB menyetujui keputusan tersebut. Hal ini disebabkan negara memiliki otoritas tertinggi dan berhak menetapkan apakah ganja layak beredar atau tidak. Menurut hemat kami, setiap negara berhak atau tidak meratifikasi keputusan forum internasional sesuai masalah negara yang sedang dihadapi.

Reaksi Indonesia tentang Legalisasi Ganja

Sedari awal, isu pelegalan ganja di Indonesia selalu menjadi perdebatan baik dalam ranah diskusi publik maupun ilmiah. Hukum Indonesia menerangkan ganja termasuk kelompok narkotika dan dilarang beredar. Hukuman mati, kurungan penjara dan denda yang pedih menjadi ‘hadiah’ bagi orang yang nekat melakukannya. Demikian juga, panti rehabilitasi kian ramai karena dihuni oleh pecandu ganja (narkoba) yang sedang menjalani pengobatan.

Sementara, Badan Narkotika Nasional (BNN) tetap bersikukuh menyanggah pernyataan ganja sebagai tanaman obat bukan obat berbahya. Bahkan, Indonesia menolak rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang rencana legalisasi ganja. Hal ini cukup masuk akal bahwa ganja Indonesia berbeda dengan ganja di negara lain karena sangat mudah tumbuh di hutan dan pegunungan.

Dilansir dari beritasatu.com (27/6/2020), Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskim Brigjen Krisno Halomoan Siregar menyampaikan tanggapan atas legalisasi ganja. Krisno berkomentar bahwa menurut hasil penelitian, ganja di Indonesia bersifat psikoaktif karena memiliki kandungan THC yang tinggi sebesar 18 % dan CBD yang rendah sebesar 1%. Tingginya kandungan THC berdampak buruk pada kesehatan. Seharusnya tingginya kandungan CBD dalam ganja bermanfaat untuk pengobatan medis.

Menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja termasuk dalam kategori narkotika golongan I. Tanaman ini sejajar dengan sabu, kokain, heroin, dan opium. Penggunaan narkotika golongan I hanya diizinkan dalam keperluan tertentu, seperti penelitian dan medis. Artinya masyarakat dilarang mengkonsumsi ganja dan barang haram golongan I lainnya selain tujuan tersebut.

Belajar dari pengalaman, pemerintah Indonesia senantiasa berkomitmen melawan ancaman narkoba. Adanya UU No. 35 Tahun 2009 diharapkan mencegah akibat buruk dari penyalahgunaan ganja. Andaikan pemerintah Indonesia melegalkan ganja, tentu akan memberikan mudharat lebih besar ketimbang melarangnya.

Sebagai tanda solidaritas, BNN juga membahas permasalahan narkotika dalam forum ASEAN. Mengutip artikel BNN yang bertajuk “BNN RI Bahas Permasalahan Narkotika di Asean”, kawasan Asia Tenggara memiliki wilayah segitiga emas yang meliputi Laos, Myanmar, dan Thailand. Artinya, kawasan ini merupakan daerah penghasil narkotika berupa candu, heroin, dan opium. Kawasan ini sangat rentan dengan penyelundupan narkotika yang bisa menjangkiti negara di sekitarnya.

Di tengah kondisi dunia serba carut-marut, sikap konsisten Indonesia menolak rekomendasi WHO atas legalisasi ganja perlu diacungi jempol. Seperti yang kita amati dan dengarkan, kebanyakan orang Indonesia memanfaatkan ganja hanya untuk kesenangan semu. Cara memperoleh kesenangan seperti ini membahayakan terhadap diri sendiri dan orang lain. Alih-alih ingin dibilang keren dan gaul, malah tubuh dan jiwa yang remuk duluan sebelum mendapat pengakuan dari manusia palsu.

Sikap ini bisa menjadi refleksi diri kita sebagai manusia. Kita boleh menerima budaya dari luar selagi tidak menyinggung prinsip. Kita hidup bukan tujuan menyenangkan semua orang. Oleh karena itu, kita menolak tegas ajakan teman mengkonsumsi narkotika dan berbuat kejahatan apapun kendati mereka terus mengancam dan membencinya. Lebih baik dibenci daripada kehilangan jati diri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya