Mengurangi Over Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan
Beberapa hari yang lalu kita mendengar musibah kebakaran di lapas kelas I Tangerang. Berdasarkan informasi Kepala Instalasi Hukum Publikasi dan Informasi RSUD Kabupaten Tangerang, Hilwani, sampai dengan hari Minggu (12/9/2021) pukul 21.25 WIB, total korban meninggal ada 46 orang.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per tanggal 09 September 2021 jumlah tahanan dan narapidana di Indonesia berjumlah 266.663 orang dengan kapasitas lapas/rutan seharusnya berjumlah 132.107 orang. Dengan kata lain telah terjadi over kapasitas sebanyak 134.556 orang atau sekitar 201%. Sementara dikutip dari data Sistem Database Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), per tanggal 7 September, jumlah penghuni Lapas Kelas 1 Tangerang mencapai 2.072 orang. Sementara, kapasitasnya hanya untuk 600 orang. .
Tentu dengan kondisi lapas/rutan yang mengalami over kapasitas, semakin meningkat pula potensi resiko dan juga pemberian pelayananan narapidana. Di mana seharusnya lapas/rutan dapat memberikan pelayanan yang prima dan manusiawi, tetapi karena dihadapkan pada over kapasitas membuat pelayanan menjadi kurang maksimal. Tak terkecuali terkait dengan pelayanan mitigasi bencana di lapas/rutan. Di mana peristiwa di lapas kelas I Tangerang merupakan salah satu contoh kejadian bagaimana pentingnya mitigasi bencana di tengah situasi over kapasitas di dalam lapas/rutan itu sendiri.
Menurut saya ada beberapa cara yang dapat ditempuh guna mengurangi atau minimal menjaga tingkat over kapasitas lapas/rutan tetap rendah. Yang pertama memaksimalkan penerapan restorative justice. Paradigma restorative justice menawarkan solusi yang berbeda, proses penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui mekanisme yang melibatkan kedua belah pihak, yaitu pelaku, korban bahkan masyarakat. Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan kata kunci implementasi paradigma restorative justice. Pola penyelesaian perkara dengan model mediasi menjadikan para pihak lebih banyak berperan untuk mengatasi persoalannya sendiri. Sedangkan Pengadilan berperan sebagai fasilitator dan mediator terhadap perkara pidana yang mengandung konflik dengan tujuan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Putusan Pengadilan dapat berupa kesepakatan damai, pemberian ganti rugi kepada korban, dan penghukuman kepada pelaku berupa kerja sosial dan lainnya. Dengan demikian tujuan penegakan hukum bukan semata-mata pemidanaan tetapi juga pemulihan hubungan antara pelaku dan korban agar kembali harmonis.
Yang kedua adalah memaksimalkan rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba. Kasus tahanan dan narapidana yang berada di lapas/rutan sebagian besar merupakan tindak pidana narkoba. Jumlahnya bahkan lebih dari 50% dari total tahanan dan narapidana. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyakatan jumlah narapidana tindak pidana narkoba berjumlah 136.030 orang. Salah satu penyebab tingginya narapiadana kasus tindak pidana narkoba di dalam lapas/rutan adalah banyaknya kasus penyalahguna narkoba yang berakhir pidana. Padahal penyalahgunaan narkoba yang mendapatkan vonis pidana penjara akan malah berdampak negatif terhadap narapidana itu sendiri. Karena seorang penyalahguna narkoba yang seharusnya memerlukan pendekatan dari segi kesehatan atau rehabilitasi untuk menghilangkan ketergantungan terhadap narkoba itu sendiri dan bukan dilakukan pemidanaan. Sehingga penjatuhan pidana penjara, bukanlah solusi bagi para penyalahguna narkoba itu sendiri.
Program rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial bagi pengguna narkoba sudah terdapat aturannya di dalam Undang-undang. Namun penerapannya dalam proses hukum di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Banyak pecandu atau pengguna narkoba yang berakhir pidana penjara sehingga mengakibatkan over kapasitas lapas/rutan. Seharusnya instansi penegak hukum yang menangani kasus penyalahgunaan narkoba harus lebih proaktif untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba dengan melakukan asesmen terhadap tersangka atau terdakwa penyalahgunaan narkoba selama proses persidangan untuk menentukan apakah tersangka atau terdakwa tersebut termasuk ke dalam pengguna narkoba yang harusnya dilakukan rehabilitasi atau pengedar dan bandar yang harus di pidana di dalam lapas/rutan.
Untuk mengurangi over kapasitas di lapas/rutan yang ketiga adalah dengan memaksimalkan penerapan pidana bersyarat. Di mana tujuan pemidanaan pidana bersyarat ini lebih ditujukan pada resosialisasi terhadap pelaku tindak pidana daripada pembalasan terhadap perbuatannya. Oleh karena tujuan dari penjatuhan sanksi bukan karena orang telah melakukan kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Berdasarkan hal tersebut pada umumnya pidana bersyarat ini lebih dikenal dengan hukuman percobaan yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap Terdakwa.
Sebenarnya pilihan pidana bersyarat bukanlah hal baru. Di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pada Pasal 14a hingga 14f KUHP menyusun aturan mengenai pidana bersyarat yang dapat diberlakukan terhadap terpidana yang dikenakan pidana pokok berupa pidana penjara dengan mempertimbangkan syarat formal dan syarat materiil. Artinya dengan dasar hukum tersebut, dan dengan lebih memaksimalkan penerapan pidana bersyarat tentu akan berdampak pula terhadap pengurangan over kapasitas di lapas/rutan. Karena ada alternatif pemidanaan bagi terdakwa, tidak hanya pidana penjara saja.
Situasi over kapasitas penghuni di hampir seluruh lapas/rutan di Indonesia, tidak dapat lepas karena tidak sebandingnya narapidana yang bebas atau keluar dengan lebih banyaknya tahanan atau narapidana yang masuk ke dalam lapas/rutan. Jika situasi seperti ini terus dibiarkan, permasalahan over kapasitas ini akan terus menjadi masalah klasik. Untuk itu dengan beragam cara yang ditempuh untuk mengurangi over kapasitas di lapas/rutan ini, diharapkan lapas/rutan tidak akan mengalamai over kapasitas kembali. Sehingga dengan jumlah narapidana yang sesuai dengan kapasitas hunian akan lebih memudahkan petugas lapas/rutan di dalam memberikan pelayanan yang maksimal, berkualitas serta memberikan situasi keamanan dan ketertiban yang kondusif kepada para narapidana, sesuai dengan hak-hak narapidana yang semestinya.
Artikel Lainnya
-
67325/11/2023
-
114712/10/2021
-
106317/08/2022
-
Pak Ribut dan Dilema Pendidikan Seksual pada Anak
96505/04/2022 -
Jaminan Rasa Aman di Tengah Wabah Korona
129421/04/2020 -
New Normal dan Kita Yang Belum Siap
87731/05/2020