PHK Mengintai di Garis Depan, Menandai Runtuhnya Makna Budaya

Antropolog; Dosen PMI Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi
PHK Mengintai di Garis Depan, Menandai Runtuhnya Makna Budaya 24/05/2025 123 view Budaya legalnow.co.id

Pagi itu, di pinggiran kota, sebelum truk perusahaan datang menjemput, para buruh pabrik sudah diliputi kecemasan. Tak ada tawa, hanya bisik-bisik soal kabar buruk yang semakin sering terdengar.

Mereka duduk di bangku kayu, menatap kosong ke jalan. Di pangkuan, tergeletak bekal yang dibawa hari itu. Di kepala, beban rumah tangga terus menekan: kebutuhan yang semakin menumpuk dan biaya sekolah yang terus membengkak.

Buruh-buruh itu tak punya kontrak tetap, hanya lulusan SD. Mereka adalah pekerja lepas: datang pagi, pulang malam. Kadang mereka lembur, tapi tanpa upah tambahan.

Yang mereka cemaskan hanyalah satu kata: PHK.

Tahun 2025 bagai mimpi buruk. Gelombang pemutusan hubungan kerja datang bertubi-tubi, bukan hanya di satu pabrik, tapi hampir di semua sektor. Hotel, media, pabrik garmen, percetakan, hingga perusahaan rintisan. Satu per satu mengumumkan “efisiensi”—kata yang terdengar sopan, tapi menghantam keras.

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat angka yang mencengangkan: 18.610 kasus PHK hanya dalam dua bulan pertama. Jawa Tengah menjadi episentrum, menyumbang lebih dari separuh kasus nasional, yakni 10.677 kasus atau 57 persen.

Lalu, bagaimana kita menyikapi semua ini?

PHK dalam Sudut Pandang Kebudayaan

Membaca kebudayaan bukan hanya soal tari, pakaian adat, atau upacara. Ia hadir dalam keseharian—cara kita bekerja, berbagi, dan saling menjaga.

Di banyak masyarakat, kerja bukan sekadar cara bertahan hidup, tetapi juga jalan bagi manusia untuk bermakna di tengah orang lain.

Sosiolog Émile Durkheim dalam bukunya Division of Labour in Society (1893) menyebut kerja sebagai perekat solidaritas sosial. Ia menjelaskan bahwa pembagian kerja menciptakan ketergantungan antarindividu. Ketika kerja runtuh, solidaritas—terutama solidaritas organik—ikut terguncang.

PHK massal, dalam perspektif ini, bukan hanya tentang kehilangan nafkah, melainkan juga tentang hancurnya jaringan sosial dan rasa saling membutuhkan antarpekerja.

Jika kerja hanya dipandang sebagai transaksi antara upah dan tenaga, maka kita kehilangan sisi kemanusiaan dari pekerjaan itu sendiri.

Dalam konteks Indonesia—masyarakat yang secara kultural menjunjung tinggi nilai kerja sebagai bentuk pengabdian, martabat, dan keterhubungan sosial—PHK menjadi luka kolektif.

Akibatnya, bukan hanya ekonomi rumah tangga yang terdampak, tetapi juga stabilitas sosial, harga diri, hingga ikatan kultural antar individu.

Ini menambah ketegangan dalam komunitas, mengikis rasa solidaritas, dan mengancam kebersamaan yang telah lama terbentuk. Pada akhirnya, kesejahteraan tidak hanya diukur dari materi, tetapi juga dari relasi sosial yang saling mendukung.

PHK dan Perubahan Sosial

Gelombang PHK massal tahun 2025 mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas. Ia bukan sekadar keruntuhan ekonomi, melainkan juga pergeseran dalam struktur dan kebudayaan masyarakat.

Dalam perspektif sosiologis, perubahan sosial kerap dipicu oleh krisis—baik akibat teknologi, ekonomi global, maupun kebijakan negara. Namun, seperti diingatkan oleh Anthony Giddens, krisis tidak hanya membawa disrupsi, tetapi juga membuka ruang refleksi atas struktur sosial yang telah usang.

PHK menjadi penanda bahwa sistem ekonomi kita terlalu rapuh menghadapi guncangan global. Ia juga mencerminkan ketimpangan relasi kuasa antara pemilik modal dan tenaga kerja.

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap?

Pertama, secara kebudayaan, kita perlu menegaskan bahwa kerja bukan satu-satunya cara untuk bermakna. Komunitas harus menghidupkan kembali nilai gotong royong, solidaritas, dan kolektivitas, agar mereka yang kehilangan pekerjaan tetap merasa terhubung dan dihargai.

Kedua, dari sisi kebijakan sosial, negara harus hadir dengan skema transisi kerja yang bukan sekadar jaring pengaman, tetapi juga jembatan pembelajaran. Pelatihan ulang, kerja berbasis komunitas, serta dukungan terhadap ekonomi lokal harus diperkuat.

Ketiga, di level individu dan keluarga, kita perlu mendidik generasi baru dengan cara pandang yang lebih fleksibel tentang kerja—bahwa kerja tidak hanya ada di pabrik atau kantor, tetapi juga melalui kreativitas, kewirausahaan, serta kerja berbasis nilai dan komunitas.

Walhasil, PHK bukan semata ujian ekonomi, melainkan juga ujian kebudayaan.

Kemudian, pertanyaan pentingnya: Mampukah kita membangun kembali solidaritas di tengah ketidakpastian ekonomi ini?

Jika kita berhasil, kita tak sekadar bertahan, melainkan tumbuh menjadi masyarakat yang lebih kuat, berdaya, dan saling mendukung—dengan semangat gotong royong demi kesejahteraan bersama.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya