Anomali Politik Jelang Pilkada

Manuver politik sebelum pilkada biasanya sangat riuh. Segenap tim sukses dan calon pemimpin tampak getol melakukan promosi dan sosialisasi programnya. Tentu, safari politik ini bertendensi mendongkrak kurva elektabilitas di hadapan publik. Daya tawar politik jelang pemilu selalu menghadirkan energi yang menggairahkan banyak orang. Masyarakat akar rumput yang sering mendapat ‘lawatan’ para politikus. Sudah pasti mereka jadi target kepentingan murahan.
Menurut F. Budi Hardiman (2014:89), “Demokrasi sesungguhnya adalah sebuah permainan dan seharusnya dianggap sebagai permainan. Tetapi, permainan bukanlah untuk main-main, melainkan untuk bermain sungguh-sungguh agar orang tidak dipermainkan mainanya”. Namun, sejauh ini demokrasi semacam tidak dimainkan secara sungguh-sungguh oleh para politisi kita. Mereka hanya bermain untuk mencari popularitas, dan merebut kekuasaan demi kepentingan pribadi, kelompok atau partai politik. Alhasil, pemilu hanya sebagai ladang bertarung untuk semata-mata merebut kekuasaan. Tidak heran, banyak janji para politisi itu tidak direalisasikan dengan baik, bahkan janji itu dikubur begitu saja tanpa ada pertimbangan rasional.
Hal ini bisa dilihat para calon yang sibuk kampanye politik menjelang pilkada. Acara demi acara kerap digelar untuk membentuk ‘kerumunan’ pendukung atau sekedar memancing simpati massa. Ada kampanye yang dikemas secara ilmiah, tapi tak sedikit juga yang sifatnya massal dan murah-meriah: kampanye bagi kaus oblong, nasi bungkus, supermie, atau minuman ale-ale yang biasa direbut anak-anak. Para politikus terlihat demikian ramah, murah hati, dan sok akrab dengan orang-orang kecil. Mereka ‘bersolek ria’ agar bisa memikat hati banyak orang.
Anomali Kekuasaan
Salah satu hal yang sentral dalam diskursus demokrasi adalah efektivitas kekuasaan dalam trias politica menurut Montesquieu. Kekuasaan menjadi agen perubahan bak energi, pendorong dan mesin pengerak demokrasi. Makna kekuasaan secara umum berupa ‘potensi bagi perubahan’ yaitu kemampuan mencapai tujuan bersama baik pada tingkat lokal maupun nasional. Di sini kekuasaan dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk mengubah potensi menjadi kenyataan (Boulding, 1989).
Nyatanya para politikus kita, berlomba-lomba untuk membagi sembako dan ‘kaos oblong’ pada saat menjelang pilkada. Politikus menjelma menjadi tukang bagi-bagi hadiah. Taktik dan jurus ini, sedang ramai dipamerkan politisi kebanyakan jelang pilkada. Di tengah mereka, politik mengalami pendangkalan, lantaran ketenaran figure menjadi tolok ukur. Politik menjadi ladang untuk merebut kekuasaan yang tak bermartabat, dan involusi jadi pencitraan. Apa yang substansial tenggelam pada rupa artifisial yang dibuat sedemikian rupa dan elok. Maka, iklan jadi media penumpukan citra: baliho, kartu nama, iklan di media cetak dan elektronik. Semuanya menghiasi ruang publik.
Pada saat yang sama, orang jarang sekali mendiskusikan persoalan-persoalan politik yang jauh lebih mendasar: masalah urgen apa yang sedang dituntut warga, lalu strategi macam apa yang dirancang untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. Kemudian baru bisa menetapkan sejumlah kriteria yang bisa dituntut dari politikus atau parpol tertentu untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Inilah anomali politik jelang pilkada.
Namun, anomali itu justru menawarkan daya magnetis luar biasa. Lebih-lebih bagi masyarakat akar rumput. Mereka jadi objek permainan elit yang sedang berjuang mendongkrak citra dan elektabilitas. Keseringan mengunjungi rakyat yang dibalut dengan kebiasaan menghabur-hambur bantuan pada gilirannya membaptis rakyat secara mendadak sebagai orang penting. Rakyat disebut-sebut sebagai orang yang paling penting untuk menentukan masa depan daerah atau bangsa ini. Padahal, politikus yang sama jelas-jelas telah mengkianati pilihan politis mereka selama periode politik sebelumnya lantaran banyak janji politik yang tidak terpenuhi, dan banyaknya penyimpangan korupsi yang telah dilakoni.
Apa yang terjadi politk seperti itu tak lain dari indoktirnasi kesadaran palsu dalam skenario elite. Rakyat merasa bahwa merekalah yang berdaulat. Nyatanya, tidak! Apa yang terjadi pasca pilkada itu jauh harapan dari kenyataan. Rakyat tak lebih dari budak catur politik elite. Ini profil dari demokrasi ‘kaus oblong’. Demokrasi bagi-bagi kaos jelang pemilu. ‘kaus oblong’ politik membuat terlena dari realitas politik harian sendiri.
Moralitas Politik
Diskursus moralitas dalam ambruknya politik di tingkat lokal maupun tingkat nasional kita saat ini tentunya sesuatu yang absurd. Suatu usaha yang menyiksakan kekosongan substansi. Moralitas hanya menjadi jargon semu tak pernah diaplikasikan dalam tataran politik praktis. Ada disparitas antara politik dan moralitas. Skeptisisme ini mendasar mengingat konsistensi pemimpin akan kebijakan moral, esensi kejujuran dan dedikasi pada amanah rakyat menunjukkan kurva degradasi. Moralitas pemimpin kita tampil ‘tuna moralitas multidimensi’ (Rio Nanto, 2020: 51).
Hingga saat ini, suasana politik kita akhir-akhir ini diwarnai oleh politik tanpa kebijakan dan kecerdasan, tanpa ketertiban dan kedewasaan, tanpa nurani dan kebenaran. Saya kira itulah yang menyebabkan politik demokrasi sejauh ini tak sanggup mengakhiri berbagai persoalan bersama, sebaliknya dimanfaatkan untuk memperkeruh kontradiksi sosial-politik yang sudah ada. Kegaduhan politik lokal maupun nasional belakangan ini bukan melulu persoalan hukum tapi jauh lebih mendasar adalah refleksi atas merosotnya kecerdasan berpikir, sehingga politk menjadi arena pertarungan hasrat kemakmuran tanpa panduan etika dan rasionalitas. Akibatnya, kondisi politik tidak pernah berubah, hanya mendaur ulang kegagalan masa lalu dan mereproduksi kejahatan politik sebelumnya.
Saat ini negara membutuhkan pemerintahan yang kuat dan masyarakat pendukung (civil society) yang cerdas untuk mengembalikan cita-cita demokrasi pada kiblat yang sejati. Demokrasi bisa menjanjikan kemakmuran jika semua elemen pendukungnya memiliki kewarasan, kecerdasan moral, kehormatan dan nurani yang jernih. Sumbangan pemikiran kritis dari berbagai kaum intelektual dan cendikiawan, akademisi, tokoh intelektual, dan pengamat sungguh-sungguh dibutuhkan untuk menyelamatkan demokrasi kita dari predator.
Namun, kegalauan ini tidak membuat kita menarik diri dari konstelasi politik. Sebab pada galibnya esensi politik itu luhur yang mengabdi pada bonum commune. Yang menjadi persoalannya adalah eksistensi pemimpin yang menjadikan politik sebagai instrument destruktif dengan mengabaikan sisi moralitas. Sebenarnya politik dan moralitas adalah satu kesatuan dan dapat bersanding berkelindan, bisa menyatu menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian dan tindakan politik.
Oleh karena itu, demokrasi akan selalu baik jika dari setiap kalangan selalu dikontrol terhadap jalannya demokrasi. Tentu ini penting, sikap para politisi yang selalu lupa akan tugas dan fungsi mereka, maka suara-suara kritis itu penting supaya mereka tidak terlena dan nyaman dalam kursi kekuasaan. Jika pemberian ‘kaus oblong’ atau apapun namanya ‘sembako’ politik itu patut diterima dengan senang hati. Kalau dihitung-hitung, sebetulnya itu hak politik yang baru disalurkan menjelang pilkada atau pilgub. Sebagai hak politik, maka tidak benar jika rakyat harus merasa berutang budi kepada caleg tertentu yang telah memberikan sejumlah ‘kado’ lantas kemudian harus bayar melalui surat suara saat pilkada atau pilgub.
Saat pilkada maupun pilgub kita akan menentukan sikap berdasarkan keputusan yang cerdas, yakni memilih caleg yang rekam jejaknya dan etikabilitasnya baik (berhasil), tahu betul masalah warganya, dan bisa menjamin penyelesaian masalah-masalah bersama. Kita memilih politikus yang memiliki visi bagi prospek masa depan daerah atau provinsi rakyatnya, bukan politikus yang suka bagai-bagi ‘kado’ jelang pilgub dan pilkada. Karena itu, memilih tentu harus mempertimbangkan secara rasional dan objektif. Demokrasi akan baik-baik saja jika pemimpin selalu membuka ruang untuk menerima segala aspirasi dari rakyat bukan memilih pemimpin yang anti kritik dan otoriter, apa lagi etikabilitas dan rekam jejaknya tidak jelas.
Artikel Lainnya
-
39424/10/2023
-
149127/01/2022
-
103730/05/2022
-
Local Lockdown Solusi Perangi Pandemi?
401930/03/2020 -
89319/08/2022
-
24010/05/2024