Tuduhan Pinjol, Identitas yang Direbut, dan Beban yang Dipindahkan

Pengamat Pop Culture, Orang Muda dan Pendidikan
Tuduhan Pinjol, Identitas yang Direbut, dan Beban yang Dipindahkan 11/08/2025 894 view Budaya sukoharjokab.go.id

Beberapa waktu lalu, di kolom komentar media sosial saya tiba-tiba muncul pesan dari akun abal-abal. Mereka membanjiri unggahan dengan kalimat menyudutkan: menyuruh saya “bertanggung jawab” dan “menyelesaikan kewajiban.” Awalnya, saya mengira ini hanyalah spam biasa, lalu memblokir akun tersebut.

Namun, beberapa hari kemudian, komentar serupa kembali muncul—kali ini dari akun berbeda, tetapi dengan nada yang sama. Saya mulai curiga ada yang tidak beres. Akun media sosial pun saya privat. Sayangnya, itu justru memicu serangan baru: pesan langsung (DM) dari akun-akun bodong yang berisi bahasa kasar, ancaman, dan tuduhan bahwa saya berutang di pinjaman online (pinjol).

Perasaan takut dan marah bercampur, menguras energi. Saya tahu persis tidak pernah memiliki utang kepada pihak mana pun, apalagi meminjam melalui pinjol. Akhirnya, saya memberanikan diri membalas pesan-pesan itu satu per satu. Setiap ada tuduhan, saya menanyakan: “Dari perusahaan mana? Data lengkap peminjam siapa?” Saya jelaskan bahwa saya tidak pernah meminjam, sambil menjaga kerahasiaan identitas pribadi.

Sebagian pesan tidak pernah dibalas. Ada juga yang membalas dengan ancaman akan menyebarkan data pribadi saya. Bahkan, salah satu mengirimkan nama dan data peminjam yang jelas-jelas tidak sesuai dengan identitas saya. Meski sudah saya jelaskan, mereka tetap mengabaikan fakta itu dan terus menebar ancaman.

Dari penelusuran saya, prosedur pendaftaran di banyak pinjol meminta biodata KTP, akun media sosial, dan data lain. Saya menduga akun media sosial dapat disalahgunakan—baik karena peminjam asli keliru atau sengaja mencantumkan akun orang lain sebagai “teman/referensi” tanpa izin. Tidak tertutup kemungkinan ini bagian dari modus penipuan.

Ketika saya membagikan cerita di Instagram Story, respons dari teman-teman bermunculan. Ternyata banyak yang pernah mendengar atau mengalami kasus serupa. Saya pun mengumpulkan bukti: tangkapan layar percakapan, komentar, dan ancaman yang masuk. Laporan saya kirim ke OJK, termasuk ke alamat satgaspasti@ojk.go.id. Namun, balasan yang saya terima meminta nama perusahaan pinjol yang menuduh—informasi yang jelas tidak saya miliki karena saya memang tidak pernah meminjam. Di sinilah saya mulai merasakan sebuah pola: beban pembuktian sepenuhnya dipindahkan ke saya sebagai korban.

Tantangan Individualisasi di Era Digital

Nick Stevenson, dalam Cultural Citizenship, menyebut fenomena ini sebagai tantangan individualisasi. Dalam masyarakat modern, tanggung jawab mengelola risiko dan membuktikan kebenaran sering dipindahkan dari institusi ke individu.

Dulu, perlindungan warga adalah tanggung jawab kolektif—dijalankan negara melalui hukum, kebijakan, dan sistem keamanan. Kini, individu dituntut menjadi penyelidik, pengacara, sekaligus pembela dirinya sendiri di ruang digital. Korban tidak lagi otomatis diposisikan sebagai pihak yang harus dilindungi, tetapi sebagai pihak yang harus aktif membuktikan ketidakbersalahannya.

Perubahan ini semakin terasa di era media sosial, di mana kecepatan arus informasi mengalahkan proses verifikasi. Opini publik dapat terbentuk hanya dari satu unggahan—tanpa bukti, tanpa konteks.

Panggung Digital dan Kekuasaan Simbolik

Douglas Kellner menjelaskan bahwa media bukan sekadar hiburan atau informasi, tetapi perangkat pedagogis yang mengajarkan masyarakat bagaimana memahami realitas. Media membentuk persepsi tentang siapa “pahlawan” dan siapa “penjahat”, siapa yang patut didengar dan siapa yang layak dibungkam.

Ketika akun-akun bodong menyerang saya dengan tuduhan pinjol, mereka memanfaatkan logika panggung media ini. Mereka membangun narasi bahwa saya bersalah, mengulang-ulang tuduhan, dan menempatkannya di ruang yang tepat—linimasa media sosial—untuk membentuk persepsi publik.

Di dunia nyata, reputasi dibangun dari tindakan nyata dan hubungan langsung. Namun di era digital, semua itu dapat diabaikan begitu saja ketika muncul narasi lain yang lebih dramatis dan emosional. Identitas saya direbut, dikemas ulang, lalu dipasarkan di hadapan audiens yang tidak mengenal saya secara pribadi. Di mata publik, saya adalah “peminjam bermasalah” yang didefinisikan oleh narasi lawan, bukan oleh fakta. Kellner menyebut ini sebagai kekuasaan simbolik media: kemampuan untuk mendikte siapa seseorang itu di mata publik, terlepas dari kenyataan sebenarnya. Narasi yang diulang dengan konsistensi emosional bisa mengalahkan kebenaran faktual.

Identitas yang Direbut, Beban yang Dipindahkan

Kasus yang saya alami memperlihatkan dua fenomena yang saling terkait dan sama-sama merugikan. Pertama adalah perebutan identitas di ruang publik digital, di mana citra dan reputasi saya tidak lagi dikendalikan oleh diri sendiri, melainkan direbut oleh narasi yang dibangun pihak lain—narasi yang keliru, merugikan, dan sengaja disebarkan untuk menimbulkan stigma. Identitas digital yang semula saya bentuk dari interaksi personal, kontribusi di media sosial, dan rekam jejak nyata, tiba-tiba digantikan oleh citra “peminjam bermasalah” yang menghindari kewajiban.

Kedua adalah pergeseran beban pembuktian dari institusi kepada individu. Meski saya jelas-jelas korban fitnah, saya tetap harus menanggung pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab sistem: mengarsipkan setiap komentar dan pesan ancaman, menelusuri detail data peminjam yang jelas tidak sesuai dengan identitas saya, serta menghubungi lembaga resmi yang pada akhirnya tetap meminta informasi yang mustahil saya miliki—nama perusahaan pinjol yang menuduh saya.

Ironisnya, dalam proses ini saya tidak hanya menjadi korban serangan simbolik, tetapi juga berubah menjadi “penyelidik” kasus saya sendiri. Saya harus mengumpulkan bukti, merangkai kronologi, dan menyusun narasi tandingan untuk mempertahankan hak saya atas identitas yang benar. Pihak penyerang, sebaliknya, tidak pernah diminta untuk menunjukkan bukti yang setara atau mempertanggungjawabkan tuduhan yang mereka sebarkan. Ketimpangan ini menegaskan adanya kegagalan struktural: sistem yang seharusnya melindungi warganya justru melepaskan tanggung jawabnya, membiarkan korban bertarung sendirian di medan digital.

Nick Stevenson melihat fenomena ini sebagai konsekuensi dari tantangan individualisasi dalam masyarakat modern, di mana beban mengelola risiko dan membuktikan kebenaran semakin dialihkan kepada individu, sementara institusi publik mengambil peran yang semakin pasif. Dalam konteks ini, saya sebagai korban bukan hanya kehilangan kendali atas citra publik saya, tetapi juga harus menanggung beban administratif yang melelahkan demi membuktikan ketidakbersalahan saya. Di saat yang sama, Douglas Kellner menggambarkan bagaimana era post-truth memperburuk situasi ini: serangan simbolik di media sosial—berupa tuduhan, ancaman, dan narasi yang diulang terus-menerus—lebih cepat membentuk opini publik dibanding proses verifikasi fakta. Akibatnya, korban seperti saya terpojok dari dua sisi: diserang secara simbolik di ruang publik, dan dibebani secara administratif oleh sistem yang seharusnya menjadi pelindung.

Mempertahankan Identitas di Era Digital

Mempertahankan identitas di era digital adalah perjuangan yang jauh melampaui sekadar menjaga nama baik atau reputasi. Di tengah derasnya arus informasi dan opini yang beredar tanpa henti, mempertahankan identitas berarti melawan narasi palsu dengan kesabaran dan konsistensi, mengelola bukti-bukti yang relevan, serta membangun suara tandingan yang dapat dipercaya. Namun, ironinya, semua itu kini semakin menjadi beban pribadi, sementara sistem perlindungan publik—baik negara, lembaga hukum, maupun platform digital—cenderung melepaskan tanggung jawabnya atau bergerak terlalu lambat untuk menanggapi ancaman yang bersifat instan dan masif.

Refleksi dari pengalaman ini memperlihatkan adanya perubahan paradigma: dari perlindungan kolektif menuju individualisasi risiko, di mana warga dipaksa menjadi penyelidik, advokat, dan pelindung dirinya sendiri di tengah ekosistem digital yang rawan manipulasi. Ketika beban pembuktian dipindahkan sepenuhnya kepada korban, dan narasi emosional dapat mengalahkan fakta yang terverifikasi, maka ruang publik digital berisiko menjadi arena di mana kebenaran hanyalah salah satu suara di antara kebisingan—bukan standar yang menentukan.

Jika tren ini terus berlanjut, setiap orang, tanpa terkecuali, berpotensi menjadi target narasi palsu. Satu kesalahan, satu kemiripan nama, atau bahkan satu tindakan yang disalahartikan dapat memicu gelombang stigma yang menyebar lebih cepat daripada upaya klarifikasi. Dan di ruang publik digital, narasi yang salah sering kali lebih kuat daripada fakta, karena ia dibungkus dengan daya tarik emosional dan diulang hingga terasa seperti kebenaran. Tantangannya kini bukan hanya bagaimana membuktikan kebenaran, tetapi juga bagaimana membangun sistem dan budaya digital yang mampu melindungi warga dari perebutan identitas.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya