Perkawinan Anak, Upaya Terbebas dari Kemiskinan (?)

UNICEF beberapa waktu lalu telah merilis sebuah laporan terkait perkawinan anak. Laporan yang disusun dengan kolaborasi bersama BPS, BAPENNAS dan PUSKAPA ini menggambarkan bagaiamana tren perkawinan anak yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan laporan yang bertajuk “Pencegahan Perkawinan Anak, Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda”, UNICEF menjelaskan mengenai tren perkawinan anak terkini dimana praktik perkawinan anak sebenarnya tidak hanya terjadi pada anak perempuan, tetapi juga pada anak laki-laki.
Kemudian yang mengejutkan adalah, ketika prevalensi perkawinan anak perempuan cenderung mengalami penurunan pada kurun waktu 2015-2018, ternyata prevalensi perkawinan anak-laki-laki pada rentang waktu yang sama justru menunjukkan tren yang cenderung statis.
Perkawinan anak sendiri sebenarnya bukan merupakan isu baru di negara kita. Walaupun pemerintah telah melarang praktik perkawinan anak sejak dahulu, namun hingga kini masih saja banyak kasus-kasus serupa terulang.
Maraknya perkawainan anak dikarenakan proses pernikahan masih bisa dilaksanakan meski si calon pengantin belum memenuhi syarat usia yang ditentukan. Hal itu bisa ditempuh dengan mengajukan permohonan ke pengadilan agama bagi yang beragama Islam dan pengadilan negeri bagi pemeluk agama lain. Tentu saja tidak semua yang mengajukan permohonan akan dipenuhi permintaannya. Pengadilan berhak memberi pengecualian jika dirasa perlu.
Lalu kenapa pemerintah menerbitkan aturan tentang pembatasan usia menikah namun tetap memberikan dispensasi melalui pengadilan?
Tentu saja negara melalui pengadilan memiliki pertimbangan khusus dalam memberikan dispensasi bagi para pemohon, yang pada dasarnya melihat unsur kemaslahatan (manfaat) yang lebih besar dari mudarat (kerugian).
Jika menimbang dari pesan moral dan tujuan utama pernikahan memang akan ada beberapa manfaat dari menyegerakan pernikahan yaitu anak terbebas dari perilaku seks bebas. Namun kerugian yang ditimbulkan juga jelas tidak ringan, dilihat dari aspek kesehatan organ reproduksi anak belum sepenuhnya siap untuk proses kehamilan. Secara psikologis pernikahan anak dapat menimbulkan tekanan, stress dan trauma berkepanjangan bagi anak, kemudian secara sosiologis pola berfikir yang belum matang juga akan mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga.
Perkawinan Anak dan Faktor Ekonomi
Jika kita telusuri lebih dalam terkait faktor pemicu kasus pernikahan anak dari berbagai macam sumber, maka kata kunci yang paling sering muncul adalah faktor ekonomi dan kemiskinan. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa penelitian oleh UNICEF & UNFPA (2018) yang menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan pendorong utama perkawinan anak pada perempuan di negara berkembang.
Ada sebuah fenomena unik yang terjadi di mana orang tua beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa anak perempuan masih dianggap sebagai beban ekonomi dan perkawinan adalah jalan keluar untuk terlepas dari permasalahan tersebut.
Ini akan terdengar sedikit menggelikan jika kita hubungkan dengan anggapan lain dari masyarakat kita, yaitu “banyak anak banyak rejeki”.
Akan menjadi sangat gawat ketika mereka adalah kelompok yang sama di mana ketika di awal masa pernikahannya mereka percaya bahwa memiliki banyak anak akan mendatangkan banyak rezeki, namun ketika dihadapkan persoalan ekonomi lalu anak-anak yang sudah dilahirkan kemudian dianggap sebagai beban ekonomi keluarga.
Solusi instan yang kemudian dipilih adalah dengan menikahkan anak-anak mereka di usia yang harusnya mereka habiskan di bangku sekolah. Terdengar sangat memilukan bahkan hanya dengan membayangkan saja. Lalu adakah kelompok masyarakat yang benar-benar seekstrim itu? Bukan tidak mungkin jika mengingat bahwa dua anggapan tadi merupakan hal yang umum di kalangan masyarakat kita terutama yang kondisi ekonominya berada di posisi menengah ke bawah.
Perkawinan anak yang dianggap oleh sebagian orangtua sebagai jalan keluar dari masalah ekonomi ini sebenarnya justru membuka pintu-pintu permasalahan lain, terutama bagi si anak yang sebenarnya belum siap secara psikologi maupun sistem reproduksinya. Dampak yang akan diterima anak sangat banyak, mulai dari terputusnya pendidikan, resiko stres yang tinggi karena belum siap secara mental, hingga ke berbagai permasalahan kesehatan karena belum matangnya sistem reproduksinya.
Tentu secara gamblang saya pribadi berani menyimpulkan bahwa perkawinan anak bukanlah jalan keluar dari permasalahan ekonomi. Terlebih saat ini kita sedang berada di masa pandemi yang belum terlihat ujungnya. Kondisi ekonomi kian terguncang bahkan negara-negara maju sekalipun sulit untuk menghindarinya. Semoga kasus perkawinan anak ini jangan sampai terus terulang mengingat masa depan bangsa ini berada di tangan mereka.
Artikel Lainnya
-
27718/04/2024
-
158710/08/2021
-
44307/12/2023
-
Story vs Feed: Privatisasi Diri di Era Media Sosial
7922/05/2025 -
108001/08/2020
-
Sekolah Unggul Garuda: Solusi atau Kebijakan Elitis yang Diskriminatif?
46818/01/2025