Iman dan Nalar Konsumtif

Penulis Lepas
Iman dan Nalar Konsumtif 18/04/2024 182 view Budaya Kompas.com

Di bulan Ramadhan bulan yang penuh perenungan, diwajibkan bagi seluruh umat muslim untuk menunaikan ibadah puasa. Kurang lebih empat belas jam, masyarakat muslim di Indonesia kudu menahan lapar, dahaga, dan mengunci nafsu. Tak hanya mengunci nafsu, menahan lapar juga dahaga, mereka juga dihadapakan kepada klausul-klausul interpersonal yang menekan mereka untuk being to be elegant.

Akses teknologi yang mulus, persebaran komoditas yang menggiurkan, memberi tantangan ekstra bagi umat muslim. Puasa memberi pembelajaran. Lapar dahaga selama empat belas jam akan dibayar dengan secangkir teh manis dan beberapa butir kurma yang membuat sesak isi perut. Lebur sudah keinginan membalas dendam untuk menyicip hidangan ini dan itu yang terbesit di waktu siang.

Mafhum, kenikmatan dunia itu singkat. Lantunan Quran berucap agar bijak memaknai dunia agar tak terjerembab pada hubuddunya (cinta dunia) yang membuat hati dan rasionalitas menjadi berdebu. Puasa bukanlah ritus temporer, setelah itu bisa bertindak sesuka hati. Puasa adalah candradimuka untuk asah-asuh batin untuk mengerti dirinya sendiri kala ditunjuk sebagai khalifatullah fil ardhi.

Bertemu dengan Ramadhan, kita pasti diketemukan oleh puasa. Ramadhan dalam Imam Baghawi dalam Shahehnya; Sesungguhnya nama bulan Ramadhan berasal dari kata ‘Romadlo-a’ yaitu batu yang amat dipanaskan. Beberapa pakar tafsir memahaminya sebagai kunci penghapus dosa, ada juga yang memahami bulan itu dinamakan sesuai dengan kondisinya di saat waktu (baca; bulan) yang sedang amat gerah-gerahnya.

Di akhir Ramadhan adalah waktu yang krusial bagi seorang muslim. Mereka disibukan dengan necessity yang mengarah kepada pesta dan perayaan. Mafhum, perayaan hari raya idul fitri di Indonesia sangat berbeda dengan idul fitri di belahan dunia manapun. Hari raya idul fitri di Indonesia selalu meriah disibukan dengan pesta kecil hingga besar kemudian melancong ke tempat orang-orang yang dikasihi.

Pesta dan perayaan dicatat dengan rapi oleh Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurung Niaga 1450-1680 (Yayasan Obor Indonesia, 2002). Antony Reid mencatat bagaimana Asia Tenggara tak pernah luput dari riuh pesta dan perayaan. Pertunjukan ataupun pesta yang sering dihelat alhasil memunculkan beberapa corak pakaian, manik-manik, kelir dengan guratan berestetika tinggi di tengah-tengah pesta.

Anthony Reid memandang kausalitas antara perayaan dan pakaian pada telaahnya mengenai ‘kebudayaan material’. Alunan alat musik yang bertalu, riuh orang-orang yang berjoget sembari memakai pakaian yang dibalut dengan sutra dan emas. Pakaian yang dikenakan dalam pesta memberikan tanda status sosial bagi yang memakainya.

Kemudian, dalam Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid II (Gramedia Pustaka, 2005), membeberkan pesta dan pencapaian oleh pendakwah Islam dalam silang-sengkarut budaya Jawa. Di sela-sela tugas suci untuk menyampaikan dakwah, dihelat sebuah pertunjukan dan pesta yang dibalut dengan nilai-nilai religiositas. Tindakan tersebut semakin besar perayaannya ketika menjemput hari-hari besar seperti Idul Adha dan Fitri.

Hari raya identik dengan perayaan ataupun pesta. Kiwari, perayaan ataupun pesta tak pernah luput dengan mengenakan pakaian yang baru,
mewah bahkan ada yang berani menggunakan sistem angsur (baca; kredit). Syahdan, idul fitri yang sarat dengan mengelola hawa nafsu, berubah menjadi jor-joran dalam hal sandang dan pengakuan.

Abad ke XXI lazim dengan pasar dan produk-produk. Sejak diketemukan mesin pemintal dan kemudahan akses melalui piranti teknologi, masyarakat kiwari semakin terbiasa dibanjiri oleh merk-merk. Syahdan komoditas yang terpampang begitu menggiurkan, membuat siapapun tertarik.

Bagi Baudrillard tubuh itu bagian inheren dari masyarakat konsumsi. Kendati demikian tubuh manusia jadi target guna dihiasi oleh pelbagai merk, melalui pertunjukan iklan yang menggiurkan. Masyarakat konsumsi diajak untuk mempercantik, merawat, dan membalut tubuh mereka dengan merk yang menunjang status sosial mereka.

Globalisasi seperti yang disinggung Anthony Giddens, melebur struktur sosial melalui akses yang dibuka cukup lebar. Tak hanya kaum priyayi saja yang dapat membicarakan gaya berbusana. Walakin, siapapun yang terpikat oleh merk yang sengaja dibuat, maka mereka akan terjerembab mengikutinya. Kendati demikian, bagi Adorno akan memantik ketertarikan total pada merk. Bila tak memakai merk tertentu, maka dirasa kurang lengkap, alhasil timbulah kesadaran merk (Brand Consiusness).

Merk muncul dari papan-papan iklan hingga seni videografis yang menggugah hati. Beberapa produk menggandeng tokoh-tokoh penting sesuai kondisi waktu. Sebelum gilang-gemilang hari raya Idul Fitri, terpampang beberapa tokoh-tokoh agama yang menyigi ajakan untuk membeli merk tertentu. Selendang gamis, sorban, sampai minyak wangi bermuara dalam satu wadah, calon pembeli diajak untuk menjelajah pasar dengan harap menyisihkan uangnya untuk membelinya.

Hermawan Kertajaya acap kita kenal sebagai pakar pemasaran, memandang kondisi tersebut sebagai spiritual connection (ikatan spiritual). Untuk merebut hati pembeli, kuranglah cukup dengan kesadaran merk, perlu juga melibatkan brand identity (Identitas Merk). Di Indonesia identitas begitu heterogen. Kondisi demikian sangat basah untuk memancing kesadaran merk melalui brand identity agar konsumen girang membeli.

Idul Fitri yang dipahami sebagai hari kemenangan bisa melahirkan paradoksal. Apakah dengan kemenangan itu kita bisa jor-joran membeli ini itu dan mengesampingkan kembali kesederhanaan dan pengendalian hawa nafsu? Syahdan, Qur’an mengingatkannya. Janganlah kamu berlebih-lebihan!

Selanjutnya, menjemput hari nan suci yang identik dengan kemenangan, menarik untuk membaca dan merenungkan kembali khotbah sang seniman –Danarto. Dalam Cahaya Rasul (Dian Rakyat, 1999), kemenangan adalah mampu membantu yang papa. Dzalim kiranya, berjingkrak ria di hari kemenangan dengan mengenakan pakaian mewah nan mentereng namun tetangga sekitar dalam hal ini yang papa, masih kesulitan dan terjerembab di dalam lubang sengsara.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya