Peran Masyarakat Warga dalam Pilkada

MAHASISWA STFK LEDALERO
Peran Masyarakat Warga dalam Pilkada 03/12/2020 1882 view Politik maxmanroe.com

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak sudah ada di depan mata. Para kandidat sudah menyiapkan segala sesuatu. Mereka juga sudah berkampanye dan berdebat sejak beberapa bulan lalu. Narasi-narasi yang bagus dan menarik sudah disampaikan. Visi-misi dan slogan-slogan politis sudah dipoles sedemikian rupa agar sesuai dengan harapan rakyat.

Akan tetapi, narasi, visi-misi, dan slogan-slogan yang disampaikan terkadang hanya berisikan kata-kata kosong. Para kandidat hanya berusaha memenangkan hati rakyat untuk memilih mereka. Dalam pikiran mereka, rakyat hanya berperan sebagai “voters” yang berfungsi untuk memberi suara dalam pilkada. Maka, tidak dapat dimungkiri bahwa sebagian besar kata-kata mereka berisi tipuan-tipuan belaka.

Oleh karena itu, dalam pilkada kali ini, penulis mengajak semua masyarakat Indonesia untuk mengkritisi setiap narasi, visi-misi, dan slogan-slogan yang sudah digaungkan oleh para kandidat.

Kita memberanikan diri untuk melihat, memahami, menilai, meninjau dan menganalisis setiap narasi, visi-misi, dan slogan-slogan yang mereka sampaikan.

Bila perlu, kita mengkritik setiap narasi, visi-misi dan slogan-slogan yang tidak masuk akal, tidak beres atau yang tidak sesuai dengan harapan rakyat. Sebab, dengan sikap-sikap semacam itu, kita sudah dan sedang menjadikan diri sebagai masyarakat warga yang sejati di dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi.

Masyarakat Warga

Dalam rangka menjelaskan konsep tentang preferensi demokrasi, F. Budi Hardiman mengutip pemetaan yang telah dibuat oleh filsuf kontemporer Amerika, Michael Walzer. Walzer memetakan lima preferensi dalam demokrasi, di antaranya komunitas politis (republikanisme), ekonomi kooperatif (Marxisme), pasar (kapitalisme), kebangsaan (nasionalisme) dan masyarakat warga (asosiasionalisme kritis) (F. Budi Hardiman, 2013: 11). Setiap preferensi demokrasi itu memiliki substansi dan keunikan masing-masing.

Tanpa mengabaikan keempat preferensi lainnya, penulis tertarik untuk mengulas lebih jauh salah satu preferensi demokrasi yang dinilai cocok dengan konteks Indonesia, yaitu masyarakat warga (asosiasionalisme kritis).

Masyarakat warga itu adalah “infrastruktur sosial” ruang-ruang publik (public spheres) yang menjadi tempat asal keputusan kolektif dan legitimitas demokrasi. Aktivis gerakan, produsen, konsumen, pengusaha, umat beragama, patriotis, dan berbagai peran lainnya dalam berbagai derajat adalah para pelaku asosiasi masyarakat warga (F. Budi Hardiman, 2013: 19). Pada titik ini, masyarakat warga adalah elemen-elemen masyarakat yang ada di dalam sebuah negara. Mereka menjadi dasar atau basis yang kokoh bagi demokrasi.

Lebih lanjut, Jürgen Habermas dalam bukunya “Faktizität und Geltung” (Fakta dan Kesahihan), sebagaimana yang dikutip F. Budi Hardiman dalam buku “Dalam Moncong Oligarki: Skandal Demokrasi di Indonesia”, mengatakan bahwa masyarakat warga terdiri atas perhimpunan-perhimpunan, organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan yang kurang lebih bersifat spontan yang menyimak, memadatkan dan secara nyaring meneruskan resonansi keadaan persoalan kemasyarakatan di dalam wilayah-wilayah privat ke dalam ruang publik politis (F. Budi Hardiman, 2013: 20).

Pada titik ini, Habermas menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat warga tidak hanya eksis pada keberadaan mereka sebagai elemen-elemen di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mereka juga adalah elemen-elemen masyarakat yang berperan aktif dan kritis dalam melihat dan mencermati situasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, entah itu kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera maupun kehidupan yang “chaos” dan penuh dengan kebobrokan. Dengan kata lain, mereka sangat memahami situasi sosial-politik di dalam kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, eksistensi masyarakat warga di dalam sebuah negara demokrasi itu sangat penting. Sebab, mereka berperan untuk memastikan atau “melanggengkan” situasi dan kondisi kehidupan yang demokratis. Dalam hal ini, mereka menjadi penjaga dan pemelihara ulung nilai-nilai demokrasi, sehingga nilai-nilai demokrasi itu dapat sungguh-sungguh terwujud di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada titik ini, peran masyarakat warga sangat relevan dalam segala sesuatu yang menunjukkan ciri-ciri atau karakteristik negara demokrasi, termasuk dalam pesta-pesta demokrasi seperti pemilu dan pilkada.

Mengedepankan Sikap Kritis

Dalam konteks pilkada, sebagai elemen-elemen masyarakat yang paham politik, partisipatif dan kritis, masyarakat warga mesti mengedepankan sikap kritis dalam menentukan pilihan politik terhadap para kandidat yang “bertarung” memperebutkan kursi panas kekuasaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Masyarakat warga mesti berperan dan berani melihat, menilai, memahami, meninjau, dan menganalisis atribut-atribut politis yang dimiliki oleh para kandidat, termasuk narasi politik, visi-misi, dan slogan-slogan politis dari para kandidat.

Bila perlu, hasil analisis dan tinjauan itu disebarkan dan dijelaskan kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat luas dapat mengetahui dan memahami percaturan politik yang sedang terjadi. Dalam konteks ini, masyarakat warga berperan dan bertanggung jawab untuk menghasilkan pemimpin yang cerdas, berintegritas, peduli dan revolusioner dalam membangun daerah yang dipimpinnya. Agar dengan demikian, pemimpin yang terpilih dapat mengarahkan hati dan pikirannya kepada kepentingan rakyat, bukan kepentingan diri sendiri atau golongan.

Selain itu, sikap kritis masyarakat warga juga dapat membantu para pemilih untuk menanggalkan pilihan yang bernuansa primordialistik. Dalam hal ini, sikap kritis membebaskan para pemilih dari pilihan yang berlandaskan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Sebab, tak dapat dimungkiri bahwa politik identitas itu selalu ada dan menjadi isu yang sangat riskan di dalam setiap pesta demokrasi. Maka, di dalam masyarakat yang kuat dipengaruhi agama dan etnisitas seperti Indonesia, gerakan masyarakat warga - karena merupakan kategori yang lebih luas dari pada agama dan etnisitas – dapat menjadi sarana untuk memoderasi sentimen-sentimen primordial (F. Budi Hardiman, 2013: 21).

Lebih dari itu, sikap kritis masyarakat warga juga dapat berperan dalam membantu sesama yang tidak terlalu paham dengan permainan politik dari para kandidat.

Masyarakat warga dapat memberdayakan mereka dengan analisis dan tinjauan kritis seputar pilkada, sehingga mereka paham dan mengerti rayuan, tipuan, kelicikan dan kelihaian para kandidat. Agar dengan demikian, setiap pemilih yang berasal dari masyarakat akar rumput (grass root) sampai kalangan atas dapat memilih dan menentukan pilihan yang baik, tepat dan benar di dalam pilkada kali ini. Semuanya itu bertujuan untuk menghasilkan pemimpin yang sungguh-sungguh berjuang atas nama rakyat, bukan atas nama pribadi maupun golongan.

Konkretnya, masyarakat warga berperan untuk menghasilkan pemimpin yang tidak otoriter, tidak koruptif, tidak suka menerima suap, tidak nepotis, tidak menjajal tanah rakyat kepada investor dengan sesuka hati, dan yang lainnya. Sebab, kita sendiri sudah bosan dengan model pemimpin yang hanya memikirkan kehidupan pribadi dan golongan, tanpa mempedulikan jeritan dan rintihan rakyat yang sengsara dan menderita. Maka, momen pilkada semacam ini menjadi salah satu kesempatan bagi kita untuk menggantikan pemimpin yang tidak becus dengan pemimpin yang handal, jujur, bersih dan sungguh peduli pada wong cilik.

Akhirnya, penulis mengucapkan selamat memasuki momen-momen terakhir sebelum pilkada serentak yang akan terjadi pada tanggal 09 Desember 2020. Semoga pilkada kali ini dapat membawa berkah dan anugerah tersendiri bagi setiap daerah yang mengadakan pilkada. Salam demokrasi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya