Menghadirkan Kembali Islam Sebagai Agama Pembela Kaum Mustadh'afin

Mahasantri
Menghadirkan Kembali Islam Sebagai Agama Pembela Kaum Mustadh'afin 19/11/2020 2198 view Agama Pixabay.com

Banyak orang mengira bahwa tugas dakwah sudah berakhir setelah khutbah di masjid, setelah menyuruh orang berbuat baik dan melarang orang untuk berbuat munkar. Selama ini, pengajian-pengajian sudah dianggap berhasil kalau masjid sudah penuh dengan pengunjung dan jamaah sudah bertebaran ke seluruh pelosok-pelosok kampung.

Padahal, pada saat yang sama, di gubuk-gubuk reyot, gelandangan merintih, mengerang kesakitan sambil memegang perut menantikan sesuap nasi setelah sabar menunggu beberapa hari.

Di tempat lain, banyak saudara-saudara kita yang tidak bisa melanjutkan sekolah lantaran tidak memiliki biaya, sementara tidak sedikit wanita yang terpaksa mengorbankan kehormatannya demi memelihara “selembar nyawa” yang dimilikinya. Mereka adalah orang-orang yang lemah atau dilemahkan, al-Qur’an menyebutnya dengan istilah “mustadh’afin”.

Dalam surah al-Ma’un dijelaskan bahwa pengingkar Tuhan bisa datang dari mereka orang-orang yang beribadah namun tidak memiliki kepekaan sosial. Sebagaimana Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya mengatakan, bahwa pengingkar Tuhan adalah orang-orang yang rajin beribadah tetapi riya. Penanda keriyaannya itu adalah bukti ketidak peduliannya terhadap kaum mustadh’afin.

Senada dengan itu, menurut Prof. Nasaruddin Umar, bahwa dalam al-Qur’an surah al-Ma’un ini, sangat tegas menyatakan bahwa orang-orang yang beragama secara palsu atau kamuflase ialah mereka yang tidak care dengan anak-anak yatim dan fakir miskin. Bahkan sekalipun ahli shalat tetap diancam neraka jika shalatnya suka lalai (tidak fokus), didominasi sikap riya, dan tidak peduli terhadap obyek-obyek yang membutuhkan perhatian. (Detik.com. 20/10/2020).

Padahal al-Qur’an sendiri dengan sangat jelas memberikan definisi tentang kabajikan (al-birri). Dalam al-Qur’an disebutkan, bahwa kebajikan adalah keterpaduan antara keimanan dengan praksis gerakan kemanusiaan secara menyeluruh. (Lihat QS. al-Baqarah/2:177). Sehingga al-Qur’an dengan sangat tegas dan lugas melakukan kritik terhadap praktek ritual yang individualistik. Ritual ibadah menjadi tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan aksi nyata untuk kemanusiaan.

Kita mesti pahami bersama, bahwa Islam bukan hanya masalah kalkulasi dosa dan pahala, Islam juga bukan hanya sekadar mengiming-imingkan manusia dengan surga lalu menakut-nakutinya dengan neraka. Tapi lebih dari itu, Islam adalah ‘liberating force’, yakni suatu kekuatan pembebas umat manusia. Artinya, ajaran Islam adalah cara Tuhan untuk melakukan transformasi dari zaman penindasan menuju zaman pembelaan atau pembebasan.

Dengan demikian, umat Islam sesungguhnya adalah agen yang diperintahkan Tuhan untuk membawa misi tersebut. Bahkan dari jauh, al-Qur’an mengabarkan bahwa para Nabi dalam misi utusannya adalah pembela kaum mustadh’afin.

Jika agama hanya dipahami sebagai hubungan mesra antara seorang hamba dan Tuhan-Nya, maka tidaklah berlebihan kiranya adanya tuduhan bahwa agama hanyalah “candu”. Agama hanya membuat manusia terlena dengan kenikmatan ritual tanpa peduli dengan konteks realitas di sekelilingnya.

Bagaimana mungkin di negara yang warganya mayoritas muslim ini ternyata budaya korupsi, budaya suap, dan perilaku munkar lainnya menjalar seperti jamur di musim hujan? Bagaimana mungkin jumlah angka kemiskinan terus meningkat di tengah makin bertambahnya jumlah jamaah haji dari Indonesia tiap tahunnya? Ini membuktikan bahwa kehidupan umat Islam di Indonesia saat ini ternyata masih jauh dari nilai-nilai luhur yang telah diperjuangkan oleh para Nabi, yakni kemanusiaan.

Agama yang seharusnya menjadi titik pijak yang cukup penting dalam keterlibatannya mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, setara dan sejahtera, harus dikembalikan pada tujuan awal penurunannya. Hal ini menjadi penting, pada saat negara yang seharusnya berperan lebih terhadap masyarakat, ternyata tidak mampu memerankan peranan pembangunannya dan mengantarkan transformasi sosial-ekonomi masyarakat yang masih terjerat garis kemiskinan.

Sebab itu, usaha dalam mengubah masyarakat tidak akan berarti tanpa adanya perubahan pemahaman agama di tingkat yang lebih praksis. Artinya, usaha perubahan harus dimulai dengan pencerahan, yakni mengubah pemahaman masyarakat terlebih dahulu. Perubahan pemahaman ini dapat dilakukan dengan berpijak pada dua hal.

Pertama, kesadaran baru mengenai sisi historis dari kelahiran agama, bahwa sebuah agama hadir untuk merespon penderitaan dan kesengsaraan yang mencekam kehidupan umat manusia akibat penindasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh komunitas sosial maupun individual yang dominan. Di sini, agama lahir sebagai bentuk keprihatinan atas realitas sosial yang timpang. Untuk itu, kehadiran agama merupakan upaya kritik dan pembelaan atas upaya-upaya dehumanisasi, penistaan terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua, dari sisi doktrinal-normatif agama, teks-teks kitab suci agama yang bersifat normatif sangat perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai substansial agama dapat ditangkap secara keseluruhan. Dalam banyak hal, ayat-ayat al-Qur’an dapat kita temukan penjelasan bahwa agama mengandaikan keseimbangan antara dua kepentingan, yakni antara Tuhan dan manusia. Bahkan, problem kemanusiaan terkadang lebih penting untuk dikedepankan. Dalam surah al-Ma’un misalnya, di sana ditegaskan bahwa para pendusta agama adalah mereka yang hanya menikmati shalat, puasa dan ibadah-ibadah ritual formal lainnya, tapi lupa akan nasib orang-orang yang tereliminasi dan menderita secara sosial-ekonomi.

Artinya, tanpa mengadakan adanya pembaruan pemikiran dan pemahaman keagamaan dan etos kepedulian sosial yang tidak mengacu pada misi utama Islam sebagai agama pembela, maka akan sangat sulit menghadirkan kembali Islam untuk berperan dalam perkembangan masyarakat pada konteks realitas dewasa ini.

Karena itu, pembaruan pemikiran dan pemahaman keagamaan kiranya masih perlu diusahakan secara terus-menerus agar agama Islam dapat mengulang kembali perannya sebagai agama pembela kaum mustadh’afin, pencipta masyarakat yang adil, makmur, setara, dan sejahtera.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya