Menyoroti Revisi UU TNI: Kembali ke Bayangan Dwifungsi ABRI?

Penulis / Columnist
Menyoroti Revisi UU TNI: Kembali ke Bayangan Dwifungsi ABRI? 19/06/2024 780 view Politik Dokumen Pribadi

Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) belakangan ini tengah ramai didiskusikan. Perubahan ini menjadi polemik karena adanya pasal kontroversial yang akan diubah dalam undang-undang tersebut. Pada 28 Mei 2024, DPR RI menyetujui revisi UU TNI sebagai "RUU usul inisiatif DPR RI". Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna DPR RI ke-18 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.

Salah satu kontroversi terbesar dalam revisi UU TNI ini terletak pada pasal 47 ayat 2 yang menyatakan bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden. Hal ini menimbulkan kontroversi karena dianggap bertentangan dengan salah satu tujuan utama reformasi, yakni memisahkan peran militer dari ranah sipil dan politik.

Keterlibatan TNI dalam dunia sosial dan politik menimbulkan kekhawatiran bahwa ini bisa membuka jalan bagi dominasi militer terhadap sipil, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Isu ini membawa ingatan masyarakat kembali ke masa Orde Baru, di mana konsep dwifungsi ABRI sangat dikenal. Dwifungsi ABRI menempatkan militer tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial politik.

Pada masa Orde Baru, ABRI memiliki peran ganda yang menempatkan mereka dalam lembaga, instansi, badan, atau organisasi di luar militer, termasuk kursi di lembaga legislatif yang diperoleh melalui penjatahan, bukan melalui pemilihan umum. Penempatan militer di luar instansi militer serta keterlibatan dalam urusan politik dan sosial telah menyebabkan perubahan pola hubungan antara sipil dan militer dari yang semula setara menjadi dominasi militer atas sipil. Ini juga menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan antara institusi sipil dan militer.

Dominasi militer dalam urusan sosial dan politik pada masa Orde Baru memiliki berbagai dampak negatif, termasuk pengorbanan prioritas pertahanan dan keamanan demi kepentingan politik. Keterlibatan militer dalam politik juga menimbulkan pertanyaan serius tentang netralitas dan profesionalisme militer. Secara prinsip, Tentara harus tetap netral dalam kehidupan bernegara. Sebagai institusi kenegaraan, angkatan bersenjata harus sepenuhnya netral. Meskipun wajar jika personel tentara memiliki ambisi politik, sebagai alat negara, mereka harus menahan diri agar tidak terjerumus ke dalam situasi yang sama seperti di masa lalu.

Mengutip dari Tirto.id, terdapat zaman di mana angkatan berenjata Indonesia, khususnya Angkatan Darat, dikenal sebagai penumpas pemberontak dan juga sebagai "pemain" politik pada zaman Sukarno, kemudian menjadi alat politik penguasa Orde Baru. Sejarah mencatat Angkatan Darat di masa Sukarno terseret ke dalam politik, sehingga pada 17 Agustus 1953, Sukarno menegaskan dalam pidatonya bahwa angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik.

"Padahal angkatan perang! Tidak boleh ikut-ikut politik tidak boleh diombang- ambingkan oleh sesuatu politik angkatan perang harus berjiwa, ya berjiwa, berapi-api berjiwa , berkobar-kobar berjiwa tetapi ia tidak boleh ikut-ikut politik." Kata Bung Karno.

Ketika militer suatu negara aktif dalam dunia politik, hal itu bisa memiliki berbagai dampak. Secara umum, militer yang terlibat dalam politik dapat mempengaruhi stabilitas dan tata kelola negara. Dalam beberapa kasus, ini bisa mengarah pada pemerintahan yang lebih otoriter atau bahkan kudeta militer.

Di sisi lain, ada situasi di mana militer dapat berperan dalam transisi ke demokrasi atau dalam menjaga keamanan selama periode tidak stabil. Namun, keterlibatan militer dalam politik sering kali dilihat sebagai pelanggaran terhadap prinsip sipil atas militer yang merupakan ciri khas demokrasi modern.

Teori politik klasik dan modern sering menyoroti pentingnya pemisahan antara militer dan politik. Samuel P. Huntington dalam bukunya "The Soldier and the State" (1957) menekankan pentingnya profesionalisme militer dan netralitas politik militer untuk menjaga stabilitas dan tata kelola negara yang sehat. Menurut Huntington, militer yang profesional harus memiliki loyalitas utama kepada negara, bukan kepada partai politik atau kelompok kepentingan tertentu. Hal ini untuk mencegah adanya bias politik yang dapat merusak integritas dan efektivitas militer dalam menjalankan tugas utamanya, yaitu mempertahankan keamanan nasional.

Keterlibatan militer dalam politik dapat berdampak negatif terhadap stabilitas politik dan tata kelola negara. Salah satu dampak yang paling nyata adalah peningkatan risiko pemerintahan otoriter. Militer yang memiliki kekuasaan politik sering kali menggunakan kekuatan mereka untuk menekan oposisi politik dan masyarakat sipil, mengarah pada pemerintahan yang lebih represif dan kurang responsif terhadap kebutuhan rakyat. Contoh yang sering dikutip adalah kudeta militer yang terjadi di berbagai negara seperti Mesir, Myanmar, dan Thailand, di mana militer mengambil alih kekuasaan dan memberlakukan pemerintahan yang otoriter.

Selain itu, militer yang terlibat dalam politik dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan antara cabang-cabang pemerintahan. Prinsip dasar demokrasi modern adalah adanya pemisahan kekuasaan (separation of powers) antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Keterlibatan militer dalam politik dapat mengacaukan keseimbangan ini, memberikan militer kekuasaan yang tidak seharusnya mereka miliki dalam pengambilan keputusan politik. Hal ini dapat mengurangi akuntabilitas pemerintah dan meningkatkan potensi korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan.

Revisi pasal 47 ayat 2 UU TNI ini harus dilihat dengan kritis. Dalam sistem demokrasi modern, pemisahan antara militer dan sipil adalah prinsip dasar yang harus dijaga. Hal ini penting untuk memastikan bahwa militer tidak memiliki pengaruh yang berlebihan dalam urusan politik dan pemerintahan. Dengan demikian, netralitas dan profesionalisme TNI dapat tetap terjaga.

Selain itu, adanya potensi keterlibatan militer dalam urusan sipil dan politik bisa mengganggu keseimbangan kekuasaan antara institusi-institusi di negara. Ini juga dapat menciptakan ketidakpastian dan ketidakstabilan dalam tata kelola pemerintahan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk belajar dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya