Dilematis Orientasi Pesantren

Mahasiswa
Dilematis Orientasi Pesantren 06/05/2020 1086 view Pendidikan wikimedia.org

Sebagai seorang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam ekosistem pesantren, tentu Gus Dur memberikan sumbangsih besar terhadap dunia pesantren, termasuk tulisan-tulisannya.

Gus Dur mengibaratkan pesantren dengan kisah perang Mahabrata, bukan versi India namun versi Jawa. Dalam Mahabrata versi India, Pandawa memposisikan sebagai golongan putih, sedangkan Kurawa golongan hitam, vis à vis antara hitam dan putih--benar dan salah.

Mahabrata yang diibaratkan Gus Dur tidak seperti itu, menurut beliau Pandawa adalah manusia-manusia yang sudah puncak, sedangkan Kurawa adalah mereka yang berproses menuju puncak, jadi, Kurawa tak selamanya jadi Kurawa, mereka berpotensi menjadi Pandawa.

Kyai adalah Pandawa--manusia yang telah mencapai puncak. Santri adalah Kurawa--manusia yang sedang berproses menuju puncak. Kyai bertugas membantu para Kurawa bertransformasi menjadi Pandawa.

Gus Dur melihat posisi Kyai memiliki peranan yang sentral untuk mempandawakan santri-santrinya, Pandawa menentukan masa depan Kurawa.

Dari analogi tersebut saya ingin menyampaikan bahwa Kyai sebagai sosok yang otoritatif dalam iklim pesantren menentukan arah dan masa depan pesantren. Bahkan, Cliffod Geertz, Indonesianis asal AS menyebut Kyai menggunakan istilah cultural broker (makelar budaya). Cakupannya lebih luas, bukan hanya memiliki otoritas terhadap santrinya tapi juga dari sosok sentral Kyai tersebut mewarnai percaturan dinamika perubahan sosial dan budaya.

Seperti yang ditulis Gus Dur dalam paragraf awal di dalam buku Prisma Pemikiran Gusdur bab 8 (Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis?), hemat saya Kyai yang menentukan kompas arah pesantren, sebab Kyailah yang berkelibat dalam formulasi dan orientasi sistem pendidikan di pesantren.

Dilematis Orientasi; Populis atau Elitis

Di Banten misal, setiap tahun ajaran baru tiba para orang tua berlomba-lomba memasukkan anak-anaknya ke pesantren favorit yang berwawasan modern, dari tingkatan dasar sampai tingkatan atas. Biaya yang mahal tak masalah, terpenting mereka berhasil menghantarkan anaknya masuk dan dididik oleh sistem yang ada di pesantren tersebut.

Atau upaya selektif pesantren dalam memilih bakal calon santrinya, dan peratuan-peraturan yang ketat yang dikembangkan dalam ekosistem pesantren sehingga banyak santri yang dikeluarkan sebab melanggar. Menurut Gus Dur dalam bukunya, Prisma Pemikiran Gusdur, benih-benih elitisme dalam pesantren sudah tumbuh dari hal-hal tersebut.

Atau kasus lain misal, pesantren-pesantren yang terkonsentrasi di kampung, mereka menerima bakal calon santrinya tanpa proses seleksi yang luar biasa dan cost yang melangit.

Di kampung-kampung di Pandeglang sebagai contoh, mereka bakal calon santri punya kemauan untuk nyantren (mesantren, red) saja sudah merupakan syarat masuknya, bahkan di titik lain pesantren-pesantren di kampung menjadi semacam tempat 'penitipan' bagi orang tua yang bisa dikata “pasrah” sebab keadaan ekonomi untuk menyekolahkan anaknya,--pesantren menjadi pilihan. Dari alam-alam seperti inilah, secara ringkas watak populis dikonstruksi.

Semacam sebuah dilematis orientasi, populis di satu titik dan elitis di titik lain. Tapi, Gus Dur mengatakan bahwa wawasan elitis dan populis dalam pesantren itu dinamis, cenderung berubah-ubah, tergantung pemahaman tiap-tiap pribadinya.

Daya Adaptasi Pesantren

Secara historikal pesantren adalah wujud asli Indonesia (indigenous), dan pendidikan alternatif atau model antitesa pendidikan atas pendidikan Belanda yang cenderung diskriminatif karena adanya pemilhan strata sosial.

Selain sebagai medium manifestasi tafaqquh fid din, pesantren memiliki sejarah yang amat panjang mengkontruks masyarakat terkhusus muslim di Indonesia, memahamkan apa yang menjadi permasalahan di masyarakat, semacam meleburkan diri.

Ada dua hal yang menjadi sorotan Gus Dur dalam paragaf terakhir dalam buku Prisma Pemikiran Gusdur bab 8 ini. Pertama, model kelembagaan pesantren yang hierarkis. Kedua, semacam daya tahan adaptasi pesantren.

Mafhum kita ketahui jika dalam iklim pesantren, porsi pemimpin akan bersifat turun-temurun, saya menyebutnya dengan model yang nepotis--dalam artian sebab peralihan kepemimpinan dalam pesantren cenderung turun pada anak, menantu atau kerabat dekat (hierarkis).

Sehingga, timbul persepsi bahwa pesantren itu merupakan pancaran Kyai pendirinya atau semacam usaha individu (individual enterprise), maka pesantren berpotensi akan mati beroperasi jika anak, menantu, atau kerabat dekatnya tidak mempunyai konsentrasi keilmuan yang sama.

Sebagai lembaga pendidikan yang sudah mempunyai entitas dalam komunitas masyarakat jauh sebelum kemerdekaan, daya tahan adaptasi pesantren menjadi sorotan Gus Dur yang kedua.

Saya menyebutnya sebagai 3K (Kampung, Komunitas dan Kyai). Kampung atau wilayah menjadi tempat pesantren mengembangkan ekosistemnya, komunitas (masyarakat) bisa terdiri dari beberapa unsur, sosok filantropis (dermawan), stake holder masyarakat (ketua dusun, dsb) adalah akselerator pengembangan ekosistem, dan yang terakhir Kyai sebagai aktor dan kreator ekosistem.

Dari 3K tersebut semacam ada patronase, Kyai mendirikan pesantren di tengah-tengah kampung dan komunitas masyarakat turut mengembangkan ekosistem pesantren, dengan varian rupa, misal, dermawan yang membantu pembiayaan pesantren atau komunitas yang menitipkan anak-anaknya ke pesantren.

Patronase yang demikianlah yang menurut Gus Dur sukar untuk ditemui di masa sekarang, dan daya tahan adaptasi pesantren diuji di fase ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya