Jangan Malu Jadi Anak Desa

freelance
Jangan Malu Jadi Anak Desa 08/07/2020 5289 view Budaya kabarmediacitra.com

Lahir dan hidup di desa, tak semua orang membanggakannya. Terbukti, banyak yang tidak suka kalau disebut anak desa atau wong ndeso. Mereka ini biasanya malu mengaku diri sebagai orang desa. Kalau bertemu sesama dari desa, mereka cenderung menghindar atau pura-pura tidak mengenal. Padahal mereka sendiri, lahir dan dibesarkan di desa.

Saya justru sebaliknya. Saya bangga jadi anak desa. Dengan segala kesederhanaan, keramahan, ketulusan dan juga panorama alam yang jarang dialami oleh orang kota. Lebih lagi, tinggal di desa itu, surganya dunia ini. Segala yang kita cari dan rindukan ada di desa. Mau makan jagung, ubi, nasi, buah-buahan, semua ada di sana. Lebih lagi, kedamaian dan ketentraman hidup sangat terasa di desa.

Terkesan akan pengalaman masa kecilnya di desa, Andrea del Verocchio seniman kebangsaan Italia pernah menulis begini, “Aku bangga tempatku dilahirkan. Di desa nan sunyi, yang mengalirkan beribu inspirasi. Dan ketika, aku melangkah, berjuta harapan lahir dalam kesahajaan dan kesederhanaan.” Ini sebuah ungkapan hati. Juga sebuah rasa syukur yang tidak berhingga. Bahwa tempat kita lahir dan dibesarkan, adalah rumah hati kita yang akan selalu dikenang dan dirindukan.

Desa itu Sejarah dan Budaya

Desa itu adalah rumah dan ia mewakili sejarah hidup. Melalang buana di negeri orang tidak berarti melupakan, “apa yang di belakang.” Ungkapan fondung father kita, Sukarno kiranya penting untuk selalu dikenang. “Jasmerah,” Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sebab, sejarah bisa terulang (history is repetead). Atau kata-kata indah yang pernah ditulis oleh filosof eksistensialis asal Denmark, Soren Kierkegaard, “Hidup hanya akan dimengerti ke belakang, tetapi harus dijalankan ke depan.”

Goresan singkat ini lahir berkat perjumpaan dengan seorang teman lama, beberapa waktu lalu. Kami berasal dari daerah yang sama. Berteman cukup lama. Saat bertemu di kota, ia berpura-pura baru mengenalku. Di hadapan teman-temannya, ia bersikap cuek. Denganku ia menggunakan bahasa Jawa dan menyembunyikan logatnya sebagai orang desa.

Aku hanya tersenyum dengan hati kesal. Bagiku ia tidak hanya melupakan sejarahnya, tetapi melupakan budaya. “Manusia adalah budayanya,” kata antropolog Australi Colin Groves. Bagi Groves di dalam budaya, manusia itu menjadi manusia. Melupakan budaya, berarti melupakan asal usul, demikian katanya.

Saya tidak sedang, menyebut teman itu kebablasan. Sebab antropolog Australi itu menyebut juga bahwa, perasaan gengsi, malu, dan merasa paling adalah sikap yang sering ditunjukkan oleh orang yang tidak mengenal diri dan budaya dengan baik dan benar. Hal itu dapat diterima, mengingat manusia itu mahkluk bermuka dua. Di satu sisi menampilkan wajah kasih, tetapi di sisi lain menampakkan wajah yang kurang ramah.

Merawat Hati

Perkara hidup manusia ialah tentang merawat hati. Sering terdengar ungkapan demikian, manusia adalah hatinya. Pernyataan ini benar adanya. Hati adalah keseluruhan diri manusia. Segala perkara manusia selalu dikaitkan dengan hati. Ketika terjadi kesalahan atau kekeliruan misalnya, orang tidak menyebut di mana kakimu, tetapi di mana hatimu. Maka, kalau hati jadi membatu, ia perlu lunakkan.

Perkara merawat hati hemat saya ialah tentang proses untuk menerima diri dan menjadi diri sendiri. Sepanjang hidup, kita selalu bergulat dengan proses perkara menerima diri. Kadang muncul pertanyaan, apa pentingnya menerima diri, saya lebih nyaman menjadi seperti orang lain. Saya teringat, seorang kudus yang mengatakan, “Menjadi bahagia itu ialah menjadi diri sendiri. Tidak ada yang lebih membuat orang merasa puas, bersyukur, dan nyaman dengan segala perkara hidup ini kalau belum sungguh-sungguh menerima diri apa adanya.” Menerima diri membuat orang mampu menerima orang lain. Tak hanya itu, penerimaan diri memungkinkan orang bangga dengan asal usul, budaya, sejarah hidupnya.

Di sudut sebuah kota di pulau bunga, seorang guru muda, selalu ke ladang sehabis mengajar. Gaji bulanan yang diterimanya sebenarnya sudah sangat cukup menghidupkan keluarga kecilnya. Tetapi saat ditanya, mengapa masih terus ke ladang, ia menjawab, “Aku anak petani. Ladangku adalah hidupku. Dari penghasilan ladang ini, aku bisa sekolah hingga sarjana. Aku tidak akan melupakannya.” Demikian katanya sambil tersenyum.

Ia bangga dengan statusnya sebagai anak petani dan orang desa. Sebab di sanalah ia lahir dan dibesarkan. Baginya melupakan desa, sama dengan tidak dilahirkan di dunia ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya