Pemilu 2024: Momen Sakral Bangsa Indonesia

Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang
Pemilu 2024: Momen Sakral Bangsa Indonesia 01/08/2023 535 view Politik rokanhulu.bawaslu.go.id

Perhelatan pesta demokrasi pemilu 2024 sudah semakin dekat. Secara serentak akan dilaksanakan pemilihan umum (pemilu) di semua daerah di Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2024-2029. Hal ini mengakibatkan atmosfer ruang publik masyarakat Indonesia akhir-akhir ini berangsur-angsur menjadi riuh dan memanas karena dijejali pelbagai isu seputar pemilu.

Dari hari ke hari, pelbagai media elektronik, cetak, dan online di Indonesia mulai beramai-ramai memperbincangkan topik sekitar pemilu 2024, terutama tentang calon pemimpin yang akan berkompetisi pada pemilu mendatang. Pelbagai survei pun dijalankan, baik perihal tingkat elektabilitas setiap calon pemimpin maupun perihal pribadi pemimpin seperti apakah yang amat diharapkan masyarakat Indonesia.

Sejalan dengan itu, tampak bahwa para politikus mulai sibuk mengontak koneksi di pelbagai tempat, memasang iklan dan baliho atau spanduk pemilu di mana-mana, mengunjungi rakyat kecil dan yang terkena musibah, serta tak lupa memohon restu dari tokoh-tokoh agama.

Di sisi lain, pelbagai partai politik mulai membangun koalisi dengan nama yang khas, kendatipun itu sifatnya temporal saja. Serentak kondisi berubah dari sebelumnya; dari teman biasa menjadi teman luar biasa, dari lawan menjadi kawan terkemuka. Maka, konsolidasi pun digelar berulang kali dengan beraneka macam maksud, baik demi kekompakan dan kesolidan tim, demi menelurkan konsensus perihal siapakah yang akan diusung untuk maju menjadi pasangan capres-cawapres, strategi yang apik supaya bisa menang pada pemilu mendatang, maupun sederet litani kepentingan lainnya yang masih menjadi rahasia dan enigma.

Sakralitas Pemilu 2024

Di tengah ingar-bingar persiapan pemilu yang akan datang, hal esensial-fundamental yang mutlak perlu diingat oleh segenap masyarakat Indonesia ialah: pemilu 2024 adalah momen sakral. Sakralitas pemilu ini terletak pada orientasinya yang luhur, yakni: demi bonum commune (kebaikan/kesejahteraan bersama) segenap masyarakat Indonesia. Jangan sampai sakralitas perhelatan pemilu 2024 dicemari oleh pelbagai patologi politik yang menyebabkan disorientasi pemilu, di mana bukan lagi kepentingan segenap masyarakat Indonesia yang diprioritaskan, tetapi demi kepentingan para politikus atau segelintir kaum elite semata yang haus akan harta, takhta dan kuasa. Apabila terjadi demikian, pemilu tak ubahnya pasar atau lahan bisnis para politikus dan tak lebih dari sekadar ritus prosedural yang minus isi.

Sejarah menunjukkan dimensi sakralitas pemilu seringkali memudar dan bahkan hilang dari lanskap perpolitikan di banyak negara, khususnya di Indonesia. Sebab, realitasnya bahwa pemilu seringkali direduksi sebagai imperium bisnis semata oleh para politikus demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan atau laba yang sebesar-besarnya. Demi mewujudkan hal itu, pelbagai cara pun dijalankan oleh para politikus pada saat seputar dan menjelang pemilu berlangsung, entah cara yang halal atau haram, entah yang benar atau salah.

Fenomena yang sering tampak ialah janji-janji utopis amat gencar ditebarkan, suara rakyat dibeli, para artis cantik dan seksi dijadikan figur iklan pemilu, karya amal diekspos di pelbagai media massa, orang-orang terkenal ‘diborong’, hoaks disebarkan, agama dipolitisasi, rival politik dikambinghitamkan, dan sederet tindakan sejenis lainnya. Semuanya itu dilakukan semata-mata demi meningkatkan citra diri dan mendongkrak perolehan suara dalam pemilu.

Implikasi dari praktik marketing pemilu itu ialah kebenaran, kejujuran, kesetaraan, keadilan dan solidaritas tidak lagi menjadi ‘ratu’ yang patut dijunjung tinggi, tetapi malah diinjak-injak seperti ‘budak’. Pada gilirannya pelbagai praktik kotor-dusta-muslihat-jahanam pun sudah menjadi hal yang lumrah-biasa dan tak dapat dipelak dalam lanskap perpolitikan.

Gara-gara hal itu, hati nurani pun berangsur-angsur menjadi tumpul sehingga semua deviasi itu tidak dilihat dan dirasa lagi sebagai kejahatan. Semua praktik miring itu seolah-olah wajar atau normal saja terjadi dalam dunia politik dan bahkan telah menjadi semacam budaya yang dipelihara terus-menerus. Tidak dapat dipungkiri apabila pernyataan ‘politik itu kotor’ berseliweran di mana-mana dan bahkan telah menjadi semacam adagium yang telah dibakukan. Padahal, makna otentik dari politik ialah segala usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum (bonum commune).

Berkaca pada realitas miring perpolitikan ini, pertanyaan penting yang patut diajukan sekarang ialah: quo vadis pemilu 2024? Jawabannya tidak bisa tidak ialah pemilu 2024 tetap berorientasi pada kesejahteraan umum. Demi tujuan luhur ini, praksis politik di Indonesia dalam menyongsong pemilu 2024 mutlak perlu didasarkan pada etika politik yang tepat. Alasannya, etikalah yang mengarahkan bagaimana politik itu harus dijalankan. Dalam hal ini, etika politik yang tepat akan mengarahkan pemilu menjadi berdaulat dan berkualitas. Lantas, etika politik seperti apakah yang tepat dalam menyongsong perhelatan pemilu 2024?

Politik Profetik-Inspiratif dan Politik Humanis-Emansipatif

Diskursus tentang etika politik dalam menyongsong pemilu 2024 adalah hal yang urgen. Tentu saja etika politik yang diterapkan harus sesuai dengan konteks sosio-kultural bangsa Indonesia sendiri yang majemuk dari segi agama, budaya, bahasa, dan seterusnya. Dimensi kemajemukan ini adalah kekhasan, keniscayaan sekaligus kekayaan bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian, etika politik yang diterapkan harus mengayomi dan menjamin keutuhan dimensi ini. Sehubungan dengan itu, etika politik yang saya tawarkan ada dua, yakni etika politik profetik-inspiratif dan humanis-emansipatif.

Pertama, politik profetik-inspiratif. Etika politik ini diejawantahkan melalui pelbagai seruan, himbauan atau ajaran yang mengarah kepada kebenaran, keadilan dan kesejahteraan umum. Beberapa hal konkret yang dapat dilakukan ialah: menyerukan atau menghimbau masyarakat untuk menjalankan pemilu yang berdaulat, yakni dengan memilih calon pemimpin yang memiliki kapabilitas dalam memimpin dan memperhatikan rakyat; tidak melakukan tindakan destruktif seperti golput, menyebar hoaks di media sosial, menerima uang suap, mempolitisasi isu SARA, menstigma atau mendiskreditkan rival politik dan sebagainya.

Kedua, politik humanis-emansipatif. Etika politik ini diejawantahkan melalui tindakan riil yang positif-konstruktif, sehingga asas keadilan, kebenaran, kebebasan, kesetaraan dan solidaritas benar-benar terwujud dalam pemilu. Beberapa hal konkret yang dapat dilakukan ialah: menjalankan pemilu yang jujur, transparan dan akuntabel; menjalin hubungan yang fair antara aktor politik; menentukan dan memilih wakil rakyat berdasarkan sikap, kinerja dan integritas; menghentikan praktik intimidasi, politik uang, politisasi isu SARA, dan penyebaran kebencian, hoaks dan fitnah menjelang pemilu dan sebagainya.

Pengimplementasian dua jenis etika politik yang ditawarkan ini, hemat saya, menjadi tugas dari segenap pihak, mulai dari anggota KPU, Bawaslu, anggota dan petinggi partai politik, para pengamat politik, para aktivis, para dosen/guru, para mahasiswa, para tokoh agama, tim pers dan seterusnya hingga kelas masyarakat akar rumput.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilu 2024 adalah momen sakral bangsa Indonesia. Orientasi atau tujuan otentik dari pemilu ini ialah kesejahteraan umum segenap masyarakat. Demi mewujudkan hal itu, perhelatan pemilu ini harus didasarkan pada etika politik yang tepat, di antaranya etika politik profetik-inspiratif dan humanis-emansipatif. Dengan cara itu, pemilu ini akan menjadi berkualitas, menghasilkan wakil rakyat yang berintegritas, dan bukan sekadar ajang mencari kekuasaan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya