Militer dan Jabatan Sipil: Analisis Historis Problematis dalam Pengesahan RUU TNI
“Jadilah seseorang yang percaya bahwa selalu ada kemungkinan dalam segala hal. Tidak peduli betapa gelap tampaknya hal-hal yang terjadi di sekelilingmu, angkat wajahmu dan lihatlah kemungkinan yang ada-carilah selalu, karena kemungkinan itu selalu ada.”
(Norman Vincent Peale)
Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai militer dan jabatan sipil yang saat ini masih hangat untuk diperbincangkan, saya akan mencoba menarik kembali ke dalam sejarah masa Orde Lama, yang bagi saya menarik untuk dibahas. Bila kita mengamati melalui pendekatan politik dan sejarah, ada dua isu sebenarnya yang sedang diangkat, pertama yaitu tentang politik pemilihan dan yang kedua adalah politik kelembagaan. Jika kita melihat pada masa pemerintahan Orde Lama (1945 sampai 1966), banyak pejabat pada masa pemerintah orde lama menginginkan lembaga Polri ditempatkan di dalam sistem pemerintahan eksekutif. Itu merupakan isu politik dalam ruang lingkup kelembagaan.
Kemudian isu yang kedua adalah mengenai isu politik pemilihan. Jika melihat pergerakan poliitik dari tahun 1945 hingga 1960, setidaknya kurang lebih ada tiga partai yang telah dibubarkan oleh pemerintah, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), Masyumi, dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dimana untuk partai Masyumi dan PSI dibubarkan oleh pemerintah karena dianggap berupaya melakukan pemberontakan bersama PRRI dan Permesta. Hingga pada tanggal 17 Agustus 1960 melalui Keppres tahun 1960 kedua partai tersebut dibubarkan secara resmi.
Kemudian, permasalahan yang ketiga adalah banyak sekali elit dari partai politik yang terlalu mengintervensi kepentingan mengenai tugas dan pokok Angkatan Bersenjata (ABRI). Sehingga pada tanggal 17 Oktober 1952, ribuan tentara dan pendukungnya melakukan demonstrasi besar-besaran di depan Istana Merdeka, Jakarta. Para anggota militer membawa tank dan senjata berat yang dibawa oleh Ahmad Kemal Idris dan menuntut agar Presiden Soekarno untuk membubarkan parlemen yang dinilai terlalu mencampuri urusan militer. Selain itu, mereka juga mendesak agar Presiden mendukung pembentukan Dewan Perancang Nasional dan restrukturisasi TNI.
‘Jalan Tengah’ A.H Nasution
Seiring dengan berkembangnya konflik di kalangan militer dan politisi yang belum selesai pada masa itu, tentu saja membuat jalan pemerintahan menjadi tidak stabil dan mengalami penyusutan yang signifikan. Hingga pada bulan November tahun 1958, Jenderal Abdul Haris Nasution berpidato di Magelang mengenai konsep 'Jalan Tengah'. Hingga kemudian istilah ini berkembang dan beralih menjadi istilah 'dwifungsi', yang juga kemudian dibentuk oleh Presiden Soekarno.
Pada proses implkasinya, konsep “Jalan Tengah” ini kemudian menjadi landasan ideologis bagi munculnya doktrin “Dwi Fungsi ABRI” (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) pada masa Orde Baru, di mana militer tidak hanya menjalankan fungsi pertahanan-keamanan, tetapi juga fungsi sosial-politik, termasuk keterlibatan dalam pemerintahan dan birokrasi. Namun, implementasi “Dwi Fungsi” sering dianggap menyimpang dari gagasan awal Nasution karena militer menjadi terlalu dominan dalam politik praktis, terutama di bawah pemerintahan Soeharto.
Konsep ‘Jalan Tengah’ yang dibentuk oleh Nasution ini merupakan langkah agar ketegangan di kalangan militer dan sipil bisa mereda. Konsep ini juga merupakan gagasan politik dan ketatanegaraan pada masa demokrasi parlementer yang berlangsung pada tahun 1945-1959. Abdul Haris Nasution yang ketika itu menjabat sebagai KASAD memperkenalkan konsep ini untuk memberikan peran sosial dan politik kepada militer di luar tugas dan fungsi mereka sebagai penjaga keamanan Negara. Banyaknya konflik di daerah yang akhirnya berujung pada pemberontakan telah memberikan kesempatan bagi militer untuk unjuk gigi di hadapan masyarakat.
Nasution berdalih bahwa konsep 'Jalan Tengah' ini merupakan sebuah upaya untuk bisa memanfaatkan tenaga berlebihan yang berasal dari kalangan militer, untuk bisa dimanfaatkan dalam kepentingan Negara. Nasution berdalih bahwa konsep 'Jalan Tengah' merupakan sebuah upaya untuk bisa memanfaatkan tenaga berlebihan yang berasal dari kalangan militer, untuk bisa dimanfaatkan dalam kepentingan Negara. Walaupun banyak pikiran dari para pengamat yang memandang bahwa ikut sertanya organisasi militer ini ke dalam institusi sipil merupakan sesuatu hal yang tidak dibenarkan. Inilah yang menurut saya menjadi hal sifatnya problematis, karena terburu-buru menyimpulkan bahwa TNI (militer) dapat menyelesaikan problematika yang ada.
Banyak respon dari kalangan militer yang mendukung gagasan ini, terutama dari Angkatan Darat. Mereka merasa konsep ini memberikan legitimasi atas peran aktif militer dalam politik dan pembangunan nasional, terutama di tengah instabilitas politik dan ancaman separatisme saat itu. Namun sebaliknya, banyak dari kalangan elit politik yang menolak keras gagasan ini. Tokoh-tokoh Partai di kalangan PNI, Masyumi, dan PSI khawatir bahwa militer bisa menjadi kekuatan politik baru yang tidak melalui mekanisme demokratis, dan bisa mengancam kebebasan politik.
Kembalinya Dwifungsi dalam Pengesahan RUU TNI?
Inilah saat ini yang dirasakan oleh masyarakat dan para pengamat politik-hukum yang menolak pengesahan RUU TNI. Karena terdapat tiga pasal yang dinilai berat dan kontroversial dalam revisi UU TNI. Salah satu yang menjadi kontroversinya adalah bahwa perwira TNI aktif dapat menjabat di 16 kementerian/lembaga yang sebelumnya tidak boleh kecuali telah mengundurkan diri atau pensiun sebagai perwira TNI aktif.
Tentu saja hal ini menimbulkan banyak spekulasi bahwa Revisi UU TNI yang telah disahkan ini adalah bentuk regenerasi dari dwifungsi TNI. Hal ini membuka peluang bagi banyak prajurit militer untuk terlibat dalam ranah sipil, situasi ini pernah terjadi pada masa Orde Baru sekitar 32 tahun yang lalu. Selain itu, pengesahan dinilai akan membuka jalan bagi kembalinya peran ganda militer atau dwifungsi ABRI di Indonesia. Ini merupakan sebuah bentuk ekskalasi yang dijalankan oleh pemerintah untuk memberikan peranan kepada militer agar juga bisa menempati posisi-posisi yang ada di dalam pemerintahan.
Tentu saja, sebagai seorang pengamat yang prihatin terhadap kondisi negara Indonesia saat ini, saya justru sangat menyayangkan jika pemerintah memberikan ruang kepada militer di dalam pemerintahan sipil. Karena itu akan menyalahi sebuah konstitusi yang telah dibentuk oleh Negara. Kalau dilihat dilihat di dalam sebuah konstitusi tugas dan fungsi utama militer adalah untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa dan negara dari ancaman. Namun disini juga saya sebagai seorang yang baru di dalam dunia politik, saya belum bisa berspekulasi dan menyimpulkan bahwa RUU TNI adalah bentuk kedua dari Dwifungsi di zaman Seokarno dulu.
Oleh karena itulah, sebagai seorang warga negara yang menjunjung tinggi prinsip supremasi sipil dan negara hukum, saya pribadi menolak RUU TNI karena berpotensi mengaburkan batas antara otoritas militer dan kekuasaan sipil. Dalam perspektif filsafat politik klasik, kekuasaan militer seyogianya berada di bawah kontrol demokratis guna mencegah kecenderungan otoritarianisme. Selain itu, secara normatif dan konstitusional, penguatan peran TNI dalam ranah sipil bertentangan dengan semangat reformasi yang menjamin profesionalisme militer serta perlindungan hak-hak sipil. RUU ini bukan hanya memundurkan agenda reformasi sektor keamanan, tetapi juga mengancam tatanan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah.
Artikel Lainnya
-
191918/11/2020
-
243901/03/2021
-
46420/11/2024
-
Agama: Laboratorium atau Museum?
159507/08/2020 -
Transparansi Kesehatan Reproduksi Remaja
108216/12/2021 -
Janji Politik Bukan Janji Tuhan
41024/12/2024
