Pembatalan FIFA : Buah Kelindan Sepak Bola dan Politik?

Penulis, Peneliti, dan Pembelajar
Pembatalan FIFA : Buah Kelindan Sepak Bola dan Politik? 01/04/2023 530 view Politik klikdinamika.com

Baru-baru ini masyarakat Indonesia dikejutkan dengan adanya berita pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah ajang piala dunia U-20 oleh FIFA. Beragam respon mewarnai jagat maya, mulai dari sedih, kecewa hingga kesal karena banyak pihak yang mengaitkan pembatalan tersebut disebabkan penolakan sebagian masyarakat terhadap partisipasi timnas Israel dalam ajang sepak bola. Namun, ada juga yang justru legowo dan lega, karena menganggap hal ini bukti komitmen bangsa melawan penjajahan dunia, toh tidak apa batal menjadi tuan rumah, sekaligus menjadi teguran keras setelah peristiwa Kanjuruhan yang masih menoreh luka.

Berbagai persiapan sudah dilakukan oleh Indonesia sebagai calon tuan rumah ajang ini. Mulai dari latihan timnas U-20 yang ekstra, pembangunan berbagai infrastruktur olahraga hingga menjalin hubungan harmonis dengan FIFA selaku penyelenggara utama. Seiring dengan persiapan itu, muncul juga aksi protes menolak kehadiran timnas Israel ke tanah air. Aksi protes dilatarbelakangi okupasi Israel yang masih terus berlangsung kepada Palestina. Pembukaan UUD 1945 pun menjadi dasar kuat aksi ini dilakukan warga, karena sejatinya memang bangsa ini bersikeras bahwa segala bentuk penjajahan di dunia harus dihapuskan, tak terkecuali di West Bank sana.

Banyak yang menyimpulkan, bahwa pembatalan oleh FIFA ini disebabkan aksi protes menolak Israel. Masih sedikit pihak yang mau melihat gambaran secara menyeluruh dan menoleh ke belakang, pada apa yang terjadi di Kanjuruhan. Jika menilik pada website resmi FIFA di situ disebutkan, bahwa alasan FIFA melakukan pembatalan ini adalah karena kerusuhan Kanjuruhan yang begitu parah. Ratusan korban jiwa yang hingga kini terabaikan tanpa diurus. Pengusutan yang hingga kini masih saja blunder menyumbang duka yang begitu mendalam di keluarga korban. Malang masih menunggu keadilan.

Jika ingin berlogika, bisa saja disebut FIFA membatalkan karena respon keras masyarakat terhadap keikutsertaan Israel. Namun perlu diingat, FIFA juga pasti menghighlight reaksi masyarakat terhadap ajang sepak bola. Menolak lupa : apa yang terjadi di Kanjuruhan juga merupakan reaksi masyarakat terhadap gas air mata yang ditembakkan sembarangan ke tribun penonton. Maka bagaimana FIFA bisa tenang memberikan amanah tuan rumah kepada Indonesia, yang sebagian rakyatnya bereaksi keras terhadap keterlibatan salah satu negara zhalim. Pasti ada sebab akibat yang menjadi pertimbangan tersendiri yang kemudian menyebabkan FIFA mengetuk palu untuk mencabut titel "tuan rumah" bagi Indonesia. Lalu, apa daya, ujungnya Indonesia hanya bisa menerima keputusan FIFA. Negeri ini belum punya bargaining position yang menjanjikan, hanya tersisa sejarah kelam persepakbolaan Kanjuruhan.

Lalu banyak pula yang berkoar, mengapa semuanya disangkutkan kepada politik? Ini hanya sepak bola, olahraga untuk senang-senang, hiburan rakyat, motivasi timnas Indonesia agar berlaga di ajang dunia, katanya. Mengutip ucapan Najwa Shihab dalam salah satu podcastnya, "Sejak kapan sepak bola steril dari isu politik?" Sejarah mencatat sepak bola selalu berkelindan dengan politik. Terkadang penggiringan bola di lapangan hijau itu sarat akan politis, ideologi, kepentingan, nilai-nilai dan masih banyak lagi. Pendirian PSSI pun sarat dengan alasan politis. PSSI didirikan untuk membakar semangat nasionalisme pemuda bangsa melawan kolonialisme. Bahkan ada yang menyebut sepak bola adalah wujud gerakan sumpah pemuda di rumput hijau.

Melihat ke luar negara, kita juga akan melihat sepak bola menjadi representasi spirit perlawanan bangsa Catalan (Barcelona FC) untuk merdeka dari Spanyol (Real Madrid). Lalu ada Red Star yang menjadi simbol perjuangan warga Serbia untuk martabat negaranya, dengan meneriakkan yel : Serbia, bukan Yugoslavia! Yang terbaru, kita lihat bagaimana bendera Palestina (yang tidak ikut sebagai peserta) dikibarkan  dalam ajang piala dunia Qatar sebagai wujud dukungan terhadap kemerdekaan Palestina atas penjajahan oleh Israel.

Suka tidak suka, mau tidak mau, ya, sepak bola berkelindan dengan politik. Sepak bola memang tidak pernah hanya tentang sepak bola. Maka, jika pembatalan FIFA dianggap sebagai buah sepak bola yang dipolitisasi, mungkin memang iya jawabannya. Hanya saja juga perlu diingat, ini bisa jadi reminder keras sepak bola tanah air untuk segera berbenah dan membayar konsekuensi sejarah kelam yang terlanjur tertoreh.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya