Mendongkrak Literasi Indonesia

Menjamurnya lembaga bimbingan belajar yang mengajar anak-anak usia dini membaca boleh jadi menjadi angin segar bagi para orang tua, baik itu di perkotaan bahkan sampai ke pedesaan. Di satu sisi, banyak orang tua yang merasa terbantu dengan adanya lembaga tersebut sebab mereka berpikir bahwa satu beban mengajar membaca telah beralih dari pundak mereka ke lembaga baca tersebut. Tetapi di sisi yang lain menurut saya mengungkapkan satu realitas kegamangan orang tua dalam mengajarkan dan membentuk minat anak yang menyenangi membaca buku.
Orang tua dan keluarga adalah kunci untuk membentuk anak mencintai membaca buku. Bayangkan saja, ketika anak-anak tersebut selesai dengan program membaca cepat itu, mereka akan keluar menjadi pembaca kata-kata dan kalimat dalam buku tetapi bukan sebagai pribadi yang mencintai makna sebuah karya literasi. Sebab, materi yang diajarkan adalah cara cepat membaca bukan pada penekanan makna. Sehingga di sekolah-sekolah nanti yang terjadi adalah siswa-siswi yang mahir membaca tetapi hanya yang tertulis bukan yang tersirat apalagi menganalisis makna.
PISA (Programme for International Student Assessment) adalah penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiga tahunan untuk menguji performa akademis anak sekolah yang berusia 15 tahun. Data yang dirilis tahun 2019 tersebut hanya menempatkan Indonesia pada posisi ke 72 dari 77 negara dalam soal literasi atau dengan kata lain telah mengalami stagnasi selama 15 tahun terakhir. Berita ini sesungguhnya adalah bencana nasional berat bagi bangsa kita karena sama sekali tidak ada perbaikan dalam kualitas pendidikan di negara kita.
Lima Strategi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk merespon peringkat buruk PISA tersebut antara lain: Kepala sekolah dipilih dari guru-guru terbaik, mencetak generasi guru baru, menyederhanakan kurikulum, AKM sebagai pengganti Ujian Nasional dan platform teknologi pendidikan berbasis mobile terdengar sangat prestisius dan tinggi tetapi dengan segala hormat saya menanggapi dengan cukup pesimis.
Terkesan menteri Nadiem Makariem menganggap masalah literasi berkaitan dngan sistem sekolah atau kurikulum. Sehingga mengatur ulang sistem atau mengganti suku cadang akan dapat menyelesaikan masalahnya. Tetapi yang menjadi masalah inti literasi Indonesia menurut saya sangat sederhana yaitu orang tua Indonesia sendiri tidak menjadikan membaca buku sebuah keharusan dan budaya. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya orang tua yang memilih menyekolahkan anak hanya supaya cepat bisa membaca padahal tanggung jawab mengajar anak membaca ada pada pundak mereka masing-masing.
Kalau kita berjalan-jalan di pusat perbelanjaan atau tempat-tempat umum misalnya, yang menjadi pemandangan umum adalah anak-anak usia pra sekolah atau sekolah dasar memegang dan memelototi gawai, baik itu bermain gawai ataupun menonton YouTube. Dari mana mereka mendapatkan budaya tersebut? Tentu saja dari orang tuanya yang memberi contoh di mana pun berada selalu memegang gawai dari pada buku dan selalu mengajak anak ke mall dari pada ke perpustakaan atau toko buku.
Sekali lagi lima strategi Nadiem akan menjadi sia-sia kalau pemerintah tidak menggalakan satu program yang lebih realistis dan murah serta berbasis kearifan lokal serta budaya. Sebagai saran, pemerintah dapat mewajibkan gerakan membacakan dongeng kepada anak sebelum tidur. Gerakan mewajibkan membaca buku satu minggu sekali dengan penugasan dan laporan kepada guru. Acara-acara TV yang berasal dari luar negeri tidak dialihbahasakan melainkan diberi subtitle sehingga anak dapat membaca teks tersebut untuk memahami arti bahasanya. Pemerintah dareah sampai level RW dapat membangun perpustakaan RW yang buku-bukunya berasal dari sumbangan warga, LSM (Lembaga Sosial Masyarakat), lembaga keagamaan bahkan partai politik.
Kita tahu bahwa Finlandia adalah salah satu negara paling sukses dalam membangun sistem pendidikan sekaligus negara paling melek literasi karena data tahun 2018 tercatat ada 84.5 juta bahan bacaan termasuk buku yang dipinjam oleh warganya. Artinya tingkat kunjungan dan ketersediaan perpustakaan sangat besar. Hal itu tidak kita dapati di Indonesia karena atensi pemerintah baik pusat maupun daerah akan ketersediaan sarana publik berupa perpustakaan sangatlah minim jika dibandingkan keseriusan dalam membangun infrastruktur lain seperti jalan tol, bandara ataupun pusat perbelanjaan. Jika hal ini diubah bersamaan dengan kebijakan sederhana di atas, saya yakin kita dapat melihat paling tidak perbaikan peringkat PISA.
Artikel Lainnya
-
58019/04/2022
-
78030/11/2021
-
47006/10/2021
-
Bemedia sosial Secara Bebas dan Santun
70515/09/2021 -
Orang Tua Sebagai Konsultan Pendidikan Seks Anak Sejak Dini
10212/02/2023 -
Menyegarkan Kembali Kualitas Demokrasi
7918/01/2023