Pasar Literatur: Membajak Praktik Pembajakan Buku

Pelajar di Yogyakarta
Pasar Literatur: Membajak Praktik Pembajakan Buku 02/03/2020 1542 view Opini Mingguan flickr.com

Jujur saja, sebenarnya kita segan membicarakan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia hingga mengkambing-hitamkan produk buku bajakan.

Pasalnya, dalam beberapa kali kunjungan saya ke pusat dagang buku di Yogyakarta, penjual dan pembeli buku-buku bajakan sangat melimpah-ruah. Buku bajakan begitu digemari.

Beberapa di antara para penjual itu, saya akui, adalah teman-teman saya—yang memerlukan uang tambahan buat mencukupi hidup di perantauan. Mulanya saya maklum. Pernah suatu ketika saya iseng bertanya, “Laris nggak menjual buku bajakan?”

“Ya lumayan sih. Sehari minimal ngirim 3 paket buku.” Begitu santai dia menjawab.

“Wah, itu jumlah yang tidak sedikit,” saya mulai menyindir, “Keuntungan dari penjualan sehari itu, jelas cukup dong buat makan 3 hari?”, ia tak membalas, hanya terkekeh lalu memalingkan muka.

Rata-rata mereka memanfaatkan platform digital seperti: Instagram dan marketplace lain untuk memajang secara telanjang produk buku repro itu.

Sampai artikel ini ditulis, di sini saya mulai merasa tidak bisa memaklumi, teman-teman saya itu ada yang masih berjualan bahkan ketika dia sudah menikah dan selebihnya memilih hijrah: menjual buku-buku original. Ini menarik, sebab peralihan dari menjual buku bajakan ke buku original diawali oleh motif mereka yang sudah cukup modal. Tapi, saya menyarankan supaya hijrah itu juga dibarengi dengan penebusan dosa.

Sebenarnya saya tidak terlalu mempermasalahkan ketika mengetahui mereka menjual buku bajakan. Sebab belas-kasihan derita di perantauan telah menghijab kemarahan. Akan tetapi, ketika kebetulan saya terlibat dalam pembicaraan mengenai buku-buku, buku bajakan termasuk sebagai barang yang menyalahi norma. Meskipun di lingkar kampus sendiri, civitas akademika secara tidak langsung melegalkan usaha pengkopian buku. Meskipun itu buku-buku lama dan dicetak secara terbatas. Dan sudah bukan rahasia umum, apabila usaha fotokopi di dekat kampus-kampus di Yogyakarta juga melayani jasa pengkopian buku secara utuh.

Dari sini, terdapat dua kemafsadatan dari praktik pembajakan buku yang kemudian membuatku mempermasalahkannya. Pertama, kalaupun pembajakan buku tidak dilakukan secara massal, apabila tetap dibiarkan, ia tetap akan menimbulkan tradisi baru yang menyalahi norma sosial (pencurian) dan hak cipta (penerbit).

Kedua, secara kasat mata, ternyata menjual buku bajakan sangat menguntungkan, akan tetapi bagaimana para penjual merasakan menanggung pilu penulis yang karyanya secara terang-terangan diproduksi ulang secara massal dengan cara yang tidak dapat dibenarkan?. Kedua kemafsadatan itu, menurut saya, sementara ini bisa dijadikan sebagai dalih guna menghentikan praktik jual beli buku bajakan.

__

“Membaca buku bajakan merupakan bentuk perjuangan demokratisasi akses pengetahuan.”

Ungkapan ini begitu familiar di kancah dunia perbukuan. Ungkapan itu sering dipakai dalih oleh para aktivis penikmat buku bajakan. Heroistik memang. Namun ada yang masygul dari ungkapan itu. Pertama, kaidah itu meyakini bahwa keberadaan hantu kapitalisasi pengetahuan masih bergentayangan. Seberapa jauh sih, jangkauan tempat tinggal Anda terhadap akses buku dan atau perpustakaan?

Menukil taktik Tan Malaka, “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.” Ini taktik perlawanan. Terutama perlawanan ini ditujukan kepada praktik budaya konsumerisme yang menjangkiti masyarakat terpelajar. Idealisme kalangan terdidik luntur terseka oleh dominasi-dominasi simbolik dari produk pasar.

Kedua, dalam isu pembajakan buku, pandangan tersebut sangat dangkal. ‘Buku Repro’ orang biasa menyebutnya, merupakan bagian dari mega-industri. Ia memenjarakan banyak kaki tangan pihak-pihak yang bermental pedagang buku offline maupun online. Adapun kini, mereka begitu telanjang memajang bentuk fisik buku-buku haram itu di toko online masing-masing.

Tapi, cukup sudah. Jangan menebar pandangan sempit yang sesat dan menyesatkan seperti ungkapan di teras tulisan ini.

Isu pembajakan masih mendiami diri sebagai isu kriminalitas biasa. Semestinya, ia merupakan bagian dari problem besar kebudayaan. Pertama-tama kita perlu menyingkirkan anggapan yang menyebut bahwa, “Beli buku bajakan gapapa, kan yang penting ilmu yang termuat di dalamnya.”

Tapi tunggu dulu, terlalu pagi jika kita lagi-lagi mengamini sebuah perkataan eufemisme tersebut tanpa mengamati kerugian yang didera oleh penulis apabila bukunya dibajak. Membajak buku, kalau tidak boleh dikatakan dengan mencuri, memotong royalti penulis sebesar 10 %. Buku seharga 60 ribu misalnya, berarti pembajak mencuri 6 ribu rupiah dari royalti penulis.

Selain itu, proses pembentukan buku bukan perkara mudah. Ia melewati banyak prosedural teknis maupun non-teknis. Mulai dari pra-produksi yakni keterlibatan tim penulis, editor, layouter, desainer sampul, penata sampul, sampai produksi dan pos produksi. Ketiga proses panjang dan melelahkan itu melibatkan banyak manusia-manusia yang kadang juga menjadi tulang punggung keluarga. Karena itu, mengkonsumsi ‘buku-buku haram’ sama artinya dengan Anda melakukan pembiaran terhadap ratusan jiwa yang terzalimi beserta segenap keluarga mereka.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya