Pabrik Semen Di Matim-NTT : Kesejahteraan Itu Impian Belaka

Adu argumen kubu pro dan kontra soal rencana pabrik semen di Lengko Lolok-Luwuk, Manggarai Timur (Matim), NTT masih terus berlanjut. Di tengah kian “memanasnya perang” tersebut, pelaku usaha (investor) tetap melaju kencang menuntaskan segala persyaratan administrasi yang diperlukan.
Semua dokumen penting hampir pasti telah dikantongi. Terbukti dari sudah terbitnya izin prinsip yakni Izin Eksplorasi Pertambangan Tambang Batu Gamping oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemerintah Provinsi NTT, Jusuf A. Adoe (Kastra.co mengutip HarianNTT.com, 22/5). Kemungkinan hanya Izin Lingkungan Hidup (ILH) yang belum dimiliki investor.
Hal ini diperkuat pernyataan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Manggarai Timur (Matim), Donatus Datur kepada Vox NTT, Kamis (14/05), yang mengungkapkan bahwa karena pabrik semen di Lengko Lolok-Luwuk itu berskala besar maka pihak investor wajib menyusun AMDAL yang pada saatnya nanti akan diajukan ke DLHD Matim untuk dinilai.
Soal ILH ini, nampaknya akan berjalan mulus. Hanya menanti waktu saja untuk diterbitkan. Sebab dokumen utama dan izin prinsip sudah terbit. Dokumen paling fundamental, Persetujuan Masyarakat Terdampak, sudah diteken bahkan sebagian isinya telah dieksekusi.
Satu-satunya hal yang bisa menggagalkan pabrik semen itu ialah bila nanti hasil penilaian Komisi Penilai AMDAL (KPA) DLHD Matim terhadap dokumen AMDAL yang diajukan investor menyimpulkan bahwa rencana usaha pabrik semen itu tidak layak lingkungan hidup.
Rasa-rasanya susah mendapatkan kesimpulan seperti ini. Investor pasti berjuang mati-matian untuk menyuksekskan studi AMDAL yang dilaksanakannya. Tim penyusun tentu merupakan pakar handal berpengalaman. Kajian mereka pasti menghasilkan dokumen AMDAL berkualitas, baik secara akademis maupun secara proseral administratif. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa pabrik semen di Matim akan segera mulai beroperasi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Seperti yang digembar-gemborkan oleh kubu pro, bahwa kehadiran pabrik semen itu nanti akan berujung pada peroleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Matim sebesar Rp.48 M lebih per tahun. Batu-batu itu akan berubah menjadi roti hidup. Warga terdampak pun hidup makmur sejahtera.
Apakah benar akan demikian? Apakah kubu pro sudah membaca dan mencermati isi perjanjian antara investor dengan warga terdampak? Apakah kubu pro mengetahui siapakah gerangan investor yang menandatangani kesepakatan dengan warga terdampak?
Memang saya tidak mendapatkan dokumen aslinya. Tetapi saya meyakini bila kopian dokumen yang saya peroleh niscaya tidak berbeda dengan aslinya. Oh, tega nian. Perjanjian itu justru sama sekali tidak menunjukkan niat baik investor untuk mensejahterakan warga terdampak yang merupakan “tuan tanah” kekayaan alam Lengko Lolok.
Pada saatnya “tuan tanah” akan menjadi macan ompong, penonton setia menatap keperkasaan “sang tamu” melumat dan menikmati habis jantung hati Lengko Lolok. Bahkan bukan tidak mungkin bisa menjadi korban keperkasaan “sang tamu”. “Sang tamu” menjadi penguasa sejati atas kekayaan alam Lengko Lolok, sulit ditaklukan.
Menyakitkan dan menyedihkan. Mungkin inilah kata yang pas untuk mengungkapkan keperkasaan “sang tamu” vs keloyoan “tuan tanah” saat perjanjian itu dibuat. Dimanakah peran pemerintah pada saat itu? Apakah pada saat itu tidak ada seorang pun wakil pemerintah atau warga setempat yang berusaha mengkaji lebih jauh tentang dampak perjanjian itu?
Apakah pada saat itu warga dibiarkan maju sendiri menghadapi kecanggihan nalar “sang tamu “ yang datang dari nun jauh sana? Ah, warga Lengko Lolok, nasibmu kini dan kelak!
Dari muatan perjanjian itu, beberapa catatan yang menjadi indikasi betapa “sang tamu” tidak memiliki itikad baik untuk kemakmuran dan kesejahteraan “tuan tanah” antara lain:
Pertama, Damianus Demas yang mewakili masyarakat adat Lengko Lolok yang dalam perjanjian itu sebagai PIHAK KEDUA. Identitasnya dinyatakan dengan jelas yakni warga Negara Indonesia pemegang KTP nomor 5319030101500001.
Sedangkan PIHAK PERTAMA masing-masing atas nama Tju Bm Kuan mewakili PT. Istindo Mitra Manggarai (IMM) dan Zhao Jiang Hao mewakili PT. Semen Singa Merah NTT (SSM), identitas pribadi mereka sama sekali tidak dinyatakan secara jelas.
Keduannya hanya disebutkan bahwa mereka mewakili perusahaanya masing-masing dimana kedua perusahaan itu sama-sama beralamat di JI. Pelabuhan Kedindi Km 1, Desa Reo, Kec Reok, Manggara1 Tengah-NTT. Kenapa identitas kedua investor ini tidak dinyatakan dengan jelas?
Kedua, perjanjian tanpa batasan waktu kapan berakhirnya, padahal pabrik semen itu nanti akan beroperasi selama 62 tahun. Setelah 62 tahun kemudian, lahan seluas 505 hektar lebih yang dikuasai kedua perushaan di atas, akan menjadi miliki siapa? Apakah akan dikembalikan hak penguasaannya kepada warga terdampak atau pemerintah? Ataukah tetap menjadi milik perusahaan ?
Mencermati fakta lapangan yang terjadi saat ini dimana “jual beli” tanah sedang berlangsung yang pada saatnya diikuti dengan penerbitan sertifikat, sepertinya tidak mungkin lahan tersebut akan dikembalikan ke warga terdampak, tetapi menjadi milik perusahaan.
Ketiga, perjanjian itu sebenarnya tidak lain ialah perjanjian jual beli tanah yang dikemas dengan gaya bahasa normatif “pembebasan lahan” (membeli) dan “kompensasi” (menjual) sebab pada bagian lain dari kesepakatan itu menyebutkan bahwa kedua belah pihak bersedia melibatkan atau melakukan koordinasi dengan segenap perangkat atau instansi pemerintah daerah yang berwenang termasuk kantor pertanahan.
Melibatkan kantor pertanahan tentu tidak lain berkaitan dengan sertifikasi tanah. Ketika sertifikat tanah sudah dipegang oleh “sang tamu”, dengan sendirinya hak penguasaan tanah beralih ke “sang tamu” yang identitasnya tidak jelas dan sang “tuan tanah” tinggal menatapnya kelak dari nun jauh sana.
Saat ini, AMDAL pasti dalam proses. ILH belum terbit. Waktu masih ada. Alangkah bijaknya bila kubu pro ikut nimbrung menyempurnakan perjanjian antara “sang tamu” dan “tuan tanah”. Biar kelak kemakmuran dan kesejahteraan yang diperjuangkan itu bukan impian belaka.
“Tuan tanah” tidak boleh menjadi penonton tetapi harus menjadi pemain untuk mengeruk dan menikmati harta kekayaan alamnya yang selama ini dikuasainya. Caranya tidak sulit-sulit amat, “tuan tanah” harus menjadi pemegang saham.
Uang kompensasi tanah dialihkan menjadi nilai saham warga atas pabrik semen itu. Artinya tanah tidak perlu dijual (dibebaskan). Tanah tetap menjadi milik “tuan tanah” selama pabrik beroperasi. Setelah 62 tahun kemudian, tanah sepenuhnya kembali dikuasai “tuan tanah”.
Dalam hal ini, kompensasi lain sebagaimana tertuang dalam perjanjian tetap dipenuhi, kecuali soal tanah. Tidak perlu diberikan uang tunai, tetapi berupa sertifikat saham pabrik semen itu.
Bila warga menjadi pemegang saham atas pabrik itu, otomatis “tuan tanah” memiliki hak mengendalikan perusahaan, bukan menjadi penonton. Yang paling penting lagi, “tuan tanah” pasti mendapat jatah “roti hidup” alias deviden tiap tahun selama 62 tahun perusahaan beroperasi. Waktu yang tepat untuk merubah perjanjian itu disampaikan dan dibahas pada rapat penilaian AMDAL di DLHD Matim nanti.
Selamat berjuang.
Artikel Lainnya
-
84327/09/2022
-
20504/04/2025
-
58525/11/2023
-
Penampilan Tanpa Merusak Bumi dan Sesama
33612/05/2024 -
29308/11/2023
-
47321/01/2024