NTT, Masalah EKologis, dan Harapan Pilkada

NTT memiliki citra yang paradoks. Di satu sisi, NTT dikenal sebagai provinsi yang tidak hanya kaya dari segi sumber daya alam, tetapi juga dari segi budaya, religiusitas, dan pariwisata. Kekayaan-kekayaan tersebut bahkan tidak hanya dikenal oleh masyarakat di dalam negeri tetapi juga oleh masyarakat di dunia internasional. Karena itu tidak heran jika setiap hari banyak wisatawan asing yang datang mengunjungi wilayah NTT.
Namun di sisi lain, NTT juga merupakan provinsi yang rumit karena selain menyimpan begitu banyak kekayaan, ia juga memiliki seribu satu macam persoalan, misalnya, persoalan kesehatan (masalah stunting yang sampai hari ini belum berakhir), pendidikan (persoalan iliterasi yang hari-hari ini sedang hangat dibicarakan), hukum (pelanggaran HAM), dan terutama persoalan ekologis yang menjadi topik utama ulasan ini.
NTT dan Masalah Ekologis
Seperti daerah-daerah lain di Indonesia, NTT sedang mengalami krisis yang sangat serius yakni krisis ekologi. Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi membenarkan hal ini. Kepada Mongabay Indonesia, Rabu (22/4/2020) ia membeberkan berbagai krisis yang terjadi di NTT akibat eksploitasi sumber daya alam dan pengabaian kearifan lokal di NTT. Krisis-krisis tersebut hematnya adalah: pertama, krisis konsumsi dan produksi yang di dalamnya mencakup krisis pangan lokal, krisis air minum dan air untuk produksi pertanian dan krisis agraria. Kedua, krisis sumber daya alam yang mencakup krisis hutan, krisis kemaritiman dan krisis perlindungan ekosistem. Dan ketiga, krisis kemanusiaan, keadilan, dan kesehatan (https://www.mongabay.co.id/2020/05/18/walhi-ntt-hadapi-tiga-krisis-besar-apa-saja/, diakses pada 12 November, 2024).
Masalah-masalah ekologis di NTT, hemat saya tidak terlepas dari kepongahan penguasa serta geliat pembangunan yang mereka glorakan hari-hari ini.
Pembangunan ini memang pada dasarnya baik karena tanpa pembangunan kemajuan dan kesejahteraan hanya akan menjadi mimpi yang tak akan pernah terealisasi. Namun yang menjadi soal ialah menyangkut tipe pemimpin dan paradigma yang menjiwai dan menggerakkan pembangunan itu sendiri.
Lantas, pemimpin seperti apa dan paradigma apa yang menjiwai jagat pembangunan di NTT?
Secara singkat, menurut tilikan penulis, pemimpin-pemimpin lokal di NTT sering kali didominasi oleh para pemburu profit dan karena itu, paradigma yang berlaku dalam jagat pembangunan adalah paradigma pasar atau neoliberalisme. Apa itu neoliberalisme?
Neoliberalisme merupakan sistem ekonomi yang paling gigantik dan paling hegemonik dewasa ini. Sistem ini dibentuk oleh negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris pasca keruntuhan Uni Soviet tahun 1989 (Aleksander Jebadu, 2020: 287).
Sistem ini sejatinya merupakan bentuk baru dari sistem ekonomi kapitalis liberal klasik adam Smith. Bentuk baru yang dimaksud ialah kembalinya kekuasaan pasar (fundamentalisme pasar) dalam gelanggang kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Tujuannya ialah untuk menggenjot perekonomian suatu bangsa dan menciptakan taraf hidup yang labih layak, maju, adil, dan beradab.
Di Indonesia, infiltrasi neoliberalisme dimulai sejak masa Orde Baru tepatnya saat Presiden Soeharto melakukan serangkaian reformasi termasuk deregulasi dan upaya untuk membuka sektor strategis bagi investor asing.
Memang, pada masa-masa awal, neoliberalisme memberikan kemudahan bagi bangsa Indonesia yang masih berumur muda, misalnya menyediakan bala bantuan dan pinjaman untuk pembangunan. Namun semuanya itu bukan tanpa motif. Dan motif utamanya ialah supaya logika neoliberal menjadi lokomotif yang menggerakkan kehidupan dan pembangunan di Indonesia.
Namun yang menjadi pertanyaanya ialah apakah cita-cita neoliberalisme terealisasi? Inilah yang menjadi soal sebab alih-alih mengejar ketertinggalan, memberantas kemiskinan dan kebodohan, mengakselerasi pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan umum, namun dalam realitasnya, ia menimbulkan keresahan bagi sebagian besar masyarakat dunia termasuk NTT.
Di NTT, seperti yang diutarakan sebelumnya, implikasi nyata dari pembangunan yang bercorak neoliberal adalah terjadinya krisis ekologi. Krisis ini terjadi karena pembanguanan ala neoliberal tidak memperhitungkan masa depan masyarakat lokal dan bumi tempat mereka hidup. Atas nama pembangunan misalnya, masyarakat adat serta kekayaan khazanah budaya dan alamnya dicaplok. Pohon-pohon di tebang, hutan-hutan dibakar, ekosistem laut dihancurkan, serta sumber-sumber daya alam dikeruk. Dan mirisnya lagi, masyarakat adat seringkali direpresi dan dibungkam dengan kekuatan militer saat mereka mencoba membela dan mempertahankan hak ulayat mereka.
Serangkaian upaya merepresi dan membungkam suara-suara kritis dan resistensi masyarakat adat sejatinya merupakan bentuk arogansi dan kelicikan para pemimpin lokal di NTT. Bukannya melayani kepentingan masyarakat adat dan melindungi alam tempat di mana mereka hidup dan mencari nafkah, mereka malah melayani kepentingan para pengusaha-pengusaha besar yang saban hari membantu melayani kepentingan politik mereka. Akibatnya, industri ekstraktif dari negara-negara adidaya tidak hanya mengisap dan mengeruk kekayaan alam NTT tetapi juga menindas hak-hak dan martabat masyarakat adat serta nilai-nilai budaya lokal yang telah membentuk jati diri mereka.
Krisis Ekologi dan Harapan Pilkada
Salah satu harapan terbesar masyarakat NTT terhadap Pilkada serentak yang akan dilangsungkan pada 27 November mendatang adalah bahwa ia benar-benar menjadi pesta demos dan bukan pesta para oligark. Ini penting karena pesta demokrasi lokal di NTT seringkali berbalik menjadi pesta para oligark dan para politisi pengejar profit. Ini harus diwaspadai karena bagaimana pun, masa depan NTT bergantung pada proses dan komitmen politik dari para pemimpin.
Oleh karena itu, pilkada yang sudah di depan mata ini harus benar-benar menjadi momentum untuk menentukan pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual dan sosial tetapi juga yang memiliki komitmen terhadap masa depan NTT yang mencakup kesejahteraan dan kedamaian kehidupan masyarakat adat dan khazanah budayanya serta keutuhan alam yang menjadi satu-satunya sandaran hidup mereka.
Memang hal itu tidak mudah karena jagat logika pembangunan hari-hari ini masih didominasi oleh logika neoliberal yang sangat hegemonik. Dan hal itu juga diperparah oleh minimnya isu ekologis dalam meja debat pilkada yang dilangsungkan hari-hari ini. Namun demikian, terlepas dari itu semua, adalah sesuatu yang urgen bagi siapa pun yang keluar sebagai pemenang dalam pilkada pada 27 November mendatang untuk mereafirmasi atau menegaskan kembali paradigma Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa.
Pancasila, sebagaimana yang diyakini oleh para pendiri republik ini memiliki peran yang sangat krusial. Sebagai dasar misalnya, ia berfungsi sebagai fondasi bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian sebagai Pandangan hidup bangsa, ia berfungsi sebagai kompas atau petunjuk arah bagi bangsa Indonesia dalam menjalani aktivitasnya di setiap dimensi kehidupan, baik sosial, politik, budaya maupun ekonomi.
Peran krusial Pancasila ini, dengan demikian, harus diakomodasi. Dalam jagat pembangunan misalnya, Pancasila mesti menjadi lokomotif yang menggerakkan logika pembangunan dari para pemimpin. Ini merupakan sesuatu yang mutlak, karena jika tidak, sampai kapan pun, NTT akan terus menghadapi krisis yang sama yang tidak hanya berbahaya dalam kehidupan sekarang tetapi juga kehidupan generasi yang akan datang.
Artikel Lainnya
-
115703/01/2023
-
29215/03/2025
-
90601/05/2023
-
Senjata Doxing dan Keterancaman Nalar Kritis
207222/02/2020 -
148130/05/2021
-
Platform Digital Menjadi Alternatif Literasi Bagi Masyarakat Indonesia, Apa benar?
334531/08/2020