Novel, Militer dan Reformasi

RUU TNI telah disahkan. Beberapa jalan kota republik pepat dengan demonstrasi. Mereka membentangkan spanduk agar tak melupakan sejarah. Tak lupa ruang-ruang yang basah akan ide dibentuk, di kantin kampus, angkringan hingga pergumulan kecil selepas makan siang. Mereka memperbincangkan reformasi, militer dan seloroh ‘kampung’ yang membikin gigt jari.
Militer lekat dengan kedisiplinan, taktik hingga ketegasan. Dada yang tegap, senapan laras panjang yang dicangking dengan mencorong mengarah ke muka dan sorot mata tajam seperti harimau, mengimajinasikan militer. Syahdan, setiap kepala pun punya hak untuk mengimajinasikannya.
Penggambaran militer, tentara, ataupun serdadu terselip di pelbagai medium. Di senarai arsip visual kita sering disuguhkan video bagaimana yang silam mengundang takjub dan getir seorang bersenjata. Mereka bertaruh nyawa untuk sebuah jati diri atas nama nasionalisme.
Dalam karya sastra kita juga disuguhkan kelompok bersenjata itu lekat dalam pertaruhan. Nugroho Notosusanto, menggambarkan pengalaman pentingnya kala mencecap pahit manis seorang serdadu dalam Hujan Kepagian. Novel itu lekat dengan heroisme, bagaimana perjuangan merebut ‘merdeka’ tak didapatkan gratis. Tangisan, gemetar, susah tidur, hingga mencecap sakitnya kehilangan mewarnai hari-hari seorang yang kebagian senjata untuk bertempur.
Kemudian, Toha Mohtar menuliskan dalam novelet Antara Wilis dan Gunung Kelud (Djambatan, 1989) di mana menggambarkan era revolusi yang lekat dengan genjatan senjata. Novelet berlatar waktu demokrasi parlementer itu, Republik Indonesia Serikat sempat menjadi persitiwa penting menelisik singgungan antara militer dan politisi.
Pada medio itu, militer dan republikien bersatu padu menghadang NICA yang ingin tetap mencengkramkan kuasanya di tanah republik. Toha Mohtar berhasil, menggambarkan peleton militer bersemayam di daerah-daerah tertentu untuk mempertahankan kuasa. Kelompok sipil bukan hanya dipaksa menjadi seorang penenteng senjata bertempur digaris depan, namun dalam novelet itu menggambarkan seorang yang menicintai republiknya melalui bergulat di ladang propaganda juga memiliki resiko yang sama. Adalah resiko direngguhnya nyawa di medan pertempuran.
Herbert Feith mengajak kita untuk berimajinasi, namun bukan imaji yang awam. Dalam buku Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin (Sinar Harapan, 1995), kita diajak melawat merenungkan sejenak sepak terjang militer dalam perpolitikan republik era demokrasi terpimpin. Buku setebal 188 halaman itu membicarakan bagaimana militer dan politisi sempat berseteru memantik polemik.
Mulanya pada Bulan Maret 1957, mencuat Undang-Undang Keadaan Bahaya (SOB). Jenderal Nasution didaku sebagai panglima perang yang membawahi pasukan tempur di setiap kota yang berada di Indonesia dengan nama komandan resimen. Pada waktu itu, ABRI memiliki landasan untuk ikut campur urusan sipil.
Keberadaan SOB itu tak lain atas desakan militer ketika menilai bahwa konsep politik parlementer tak menuai hasil. Kabinet berganti setiap saat meninggalkan catatan merah. Kemal Idris bersama serdadu lainnya melakukan kritik dengan menghadapkan moncong tank ke arah istana sambil menyampaikan tuntutan membubarkan parlemen.
Pasukan tempur yang terdiri dari sipil militer itu, berupaya mengatasi gerak-gerak separatisme yang pada medio itu cukup ramai menyeruak. Kelompok-kelompok itu antara lain DI/TII, PRRI, Permesta dan beberapa wilayah yang ingin memisahkan diri. Mulut mereka menggegat tak tinggal diam atas kecamuk yang silih berganti.
Situasi demikian, menyebabkan militer mengambil alih kekuasaan penting pemerintahan dan administrasi sampai ke taraf desa untuk menjaga keamanan. Syahdan, langkah itu menuai letupan dengan kelompok sipil. Agenda-agenda sipil yang ingin menautkan gagasan melalui aksi masa dan simposium gagasan, riskan sekali dilipat dengan dalih ‘darurat’ militer.
Mafhum sejak itulah, ABRI berkembang pesat. Institusi itu bukan hanya menguasai birokrasi akan tetapi menguasai sektor ekonomi. Soekarno merevisi SOB dengan mendaku dirinya sendiri sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Perperti). Maka dengan aturan itu, panglima daerah mujur di bawah kendali Soekarno. Inisiatif Soekarno tak lama bercokol. Ia kadung runtuh terguling bersama Nasakomnya.
Soeharto mempertebal dominasi militer dan politik. Kelompok militer terciprat kelir kuningisasi (baca; Golkar). Mereka mantap agar militer menapakan kaki di rimba politik. Meski demikian, gagasan Soeharto sempat bersitegang dengan beberapa tokoh penting militer. Adalah T.B Simatupang, A.H. Nasution ataupun Jenderal M. Yusuf. Majalah Prisma No. 12, Desember 1980, Tahun IX, TB Simatupang menyuguhkan gagasan menyoal militer yang ikut urusan sipil. Dalam Menelaah Kembali Peranan TNI: Refleksi Kesejarahan dan Perspektif Masa Depan, TB Simatupang mengusulkan mempercayakan keberjalanan republik kepada sipil untuk mengurangi dominasi militer.
Simatupang menuliskannya saat bercokol kuasa Orde Baru. Ia memulainya dengan ungkapan membuka dan mempercayakan. Kuasa militer yang sempat bercokol di masa Seokarno telah rampung. Setelah itu, kita harus mempercayakannya kepada kelompok sipil untuk memegang kendali sebagai cermin supremasi sipil.
Kemudian kita disuguhkan menilik realits sosial dan politik setelah reformasi dijunjung. Dalam Majalah Tempo, 28 Desember 1998 tersirat potret ketika orde baru digantikan reformasi. Rakyat berkumandang memilih nasibnya sendiri. Menjadikan kedaulatan ada di tangan rakyat benar-benar ada dalam genggamannya, termasuk menyuluh untuk mencabut dwifungsi ABRI.
Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia –Syamsudin Haris ikut nimbrung menyuguhkan kolom berjudul Ketika Sejarah Menggugat ABRI (Tempo, 28 Desember 1998). Menurutnya militer harus melangkah sebagai alat negara yang tunduk pada asas supremasi rakyat. Realitas historis yang acap kali menyuguhkan gilang-gemilang kuasanya tidak bisa dijadikan aspek kasuistik untuk merengguh hak sipil.
Sejak, berhasil di revisi. TNI resmi dapat masuk ke empat belas lembaga salah satunya ialah Kejaksaan Republik Indonesia. Aturan itu dinilai merambah ke wilayah sipil. Gelagat nampak di hadapan kita, bahwa semangat reformasi sewaktu-waktu dapat tergerus dengan dalih ‘bersama rakyat’. Jika memang TNI bersama rakyat seyogiyanya mereka bekerja di ranahnya, bukan mengambil kendali sipil dan menegakkan dadanya dengan berseloroh ‘otak kampungan’. Sekian,
Artikel Lainnya
-
134010/02/2020
-
189503/06/2021
-
108707/05/2022
-
Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi
100518/12/2022 -
Sapa Penulis #5 dr. Dicky Budiman M.Sc.PH, PhD : Intermediate Writer Bidang Kesehatan
551908/07/2020 -
Konten Komunikasi Buruk Merusak Karakter
131112/06/2021