Mewujudkan Keadilan Kelistrikan Nusantara

Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Mewujudkan Keadilan Kelistrikan Nusantara 25/02/2021 1450 view Lainnya portonews.com

“You can’t realize your dreams unless you have one to begin with”, begitu kata Thomas Alva Edison, ilmuwan asal Amerika yang telah mengantongi 1.093 hak paten. Salah satu penemuannya yang masih dinikmati hingga sekarang adalah lampu pijar. Berkat penemuannya itu umat manusia dapat menikmati malam dengan cahaya. Pun dapat menyinari gelap ruangan tertutup di siang harinya. Dengan wasilah penemuan itu pula, mengantarkan nama Edison abadi dalam buku dan ingatan manusia.

Lampu pijar sendiri terinvensi pada 1879 di Amerika Serikat. Dengan kata lain, sudah 141 tahun benda bercahaya itu hadir dan dimanfaatkan manusia. Meski sudah hampir satu setengah abad benda itu direka cipta, namun masih banyak orang yang belum menikmati secara penuh, terkhusus masyarakat daerah terpencil di Indonesia. Rasio elektrifikasi pada masyarakat daerah terisolir sungguh memprihatinkan. Padahal kita tahu, hadirnya suatu pemerintahan tidak lain untuk menjaga asbab keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Dilansir dari Katadata.co.id (2020) bahwa di Indonesia masih terdapat 433 desa yang belum teraliri listrik. Dengan kata lain, terdapat sejumlah 0,52 persen masyarakat Indonesia yang belum menikmati keadilan energi. Itu pun karena elektrifikasi didefinisikan hanya sebagai jumlah rumah yang telah teraliri listrik, tanpa acuh dengan kualitasnya. Adapun rincian desa yang belum dialiri listrik terletak di daerah Papua Barat (102 desa), Papua (325 desa), Nusa Tenggara Timur (5 Desa), dan sisanya berada di daerah Maluku.

Ada beberapa alasan mengapa masyarakat terisolir belum dapat menikmati keadilan energi. Salah satu yang sering didengungkan adalah ihwal terbatasnya kemampuan PLN untuk menjangkau daerah terisolir dan terpencil. Hal ini karena kondisi geografis yang sulit diakses serta data yang tidak singkron dengan pemetaan di lapangan. Selain itu, upaya elektrifikasi melalui jaringan mini dan mikro (mini-micro grid) seperti diesel cukup mahal karena memerlukan biaya logistik pada bahan bakar yang signifikan (IESR, 2019).

Berbagai upaya juga telah ditempuh untuk mengatasi ketimpangan energi ini. Satu diantaranya melalui kolaborasi dengan pihak komersil. Tujuannya, untuk merealisasikan program kelistrikan PLT EBT off grid di daerah terisolir. Sebagaimana diatur Permen ESDM No. 50/2017, Permen ESDM No. 53/2018 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Pula pada Permen ESDM No. 38 tahun 2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan Belum Berkembang, Terpencil, Perbatasan, dan Pulau Kecil Berpenduduk melalui Pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Skala Kecil.

Meskipun demikian, program kelistrikan tersebut tidak cukup menarik pihak swasta. Apa pasal? rendahnya permintaan listrik sehingga tidak menguntungkan investor. Sementara, beberapa pihak menilai bahwa kerja sama dengan pihak swasta demi terbangunnya PLT EBT merupakan pilihan yang lebih tepat ketimbang perluasan jaringan PLN (IESR, 2019). Melihat itu, maka para pemegang kebijakan perlu melakukan re-evaluasi serta memperbaiki kebijakan terkait program kelistrikan tersebut sehingga memenuhi kelayakan bisnis dan pihak swasta dapat terlibat.

Sejenak kita lihat strategi Amerika. Pada 1930, keadaan negeri Paman Sam ini sama seperti Indonesia, bahkan hanya 10 persen desa yang dialiri listrik. Maka dibentuklah Rural Electrification Administration (REA) sebagai lembaga penyedia pinjaman lunak pada pihak swasta yang hendak berkontribusi. Pinjaman yang diberikan bertenor panjang (35 tahun) dan berbunga kecil (2 persen). Selain itu, REA mendorong masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi listrik. Konsumsi listrik masyarakat juga didorong dengan memaksimalkan penggunaan alat pertanian berlistrik. Adapun energi yang dimanfaatkan adalah biomassa dan surya (IESR, 2019).

Strategi tersebut tentu dapat kita contoh. Akan tetapi sayangnya, tidak hanya masalah itu yang dihadapi Indonesia. Beberapa daerah bahkan telah teraliri listrik dengan hadirnya PLT EBT (seperti PLTS, PLTMH dll). Namun tidak sedikit dari pembangkit listrik yang terbangun justru terbengkalai dan tak terurus. Misalnya, PLTS di Dusun Rejosari Gunung Kidul. PLTS ini hanya mampu beroperasi selama 3 tahun (2013 - 2016) karena adanya kerusakan sistem: energi limiter hingga inverter yang bermasalah. Anehnya, meski sudah dilaporkan dan dikunjungi pihak berwenang, PLTS ini belum juga dapat beroperasi (Enerbi, 2017).

Berbeda dengan yang terjadi pada pembangkit listrik di Desa Mauhalek Kecamatan Lasiolat Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di daerah ini dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) sejak 2015 dan sejenak berhenti pada 2019. Saat itu, pembangkit listriknya mengalami kerusakan pada turbin karena tersumbat sampah. Apa sebab? Pemerintah tidak menyediakan tenaga ahli untuk merawat dan memastikan operasional pembangkit listrik tetap berjalan normal (Media Indonesia, 2019).

Lain lagi dengan yang terjadi di Toraja Utara. Di daerah ini terdapat PLTMH yang sudah tidak beroperasi sejak 2012. PLTMH yang terbangun oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan Mandiri Pedesaan (PNPM-LMP) itu tak beroperasi akibat hadirnya PLN (Enerbi, 2013). Maka dari itu jelas terlihat bahwa terdapat ketidaksejalanan alias ketidaksinkronan kebijakan antara instansi pemerintah yang berwenang. Akibatnya, proyek yang bernilai puluhan juta terbengkalai begitu saja

Dari beberapa pemaparan diatas telah ditemukan benang merah permasalahannya, yakni, sustainability (keberlanjutan). Untuk mengatasi pelbagai problem itu, hal pertama yang dapat dilakukan tentu dengan sinkronisasi kebijakan. Jika daerah tersebut telah direncanakan hendak dimasuki PLN maka cukup dengan diberikan pra-elektrifikasi (seperti Lampu Tenaga Surya Hemat Energi [LTSHE]) terlebih dulu. Harapannya, hal yang terjadi di Toraja Utara tidak terulang kembali.

Yang kedua, dengan meningkatkan sense of belonging (rasa memiliki) masyarakat. Sebagaimana masyarakat Mauhalek. Di daerah ini, rasa memiliki masyarakat sungguh besar pada PLTMH yang terbangun. Penduduknya rela ber-iuran untuk membayar teknisi agar pembangkit listrik tetap berjalan normal. Alhasil, PLTMH-nya pun terawat dengan baik. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sense of belonging ialah dengan melibatkan masyarakat dalam proses pembangunannya.

Yang ketiga, mencetak sarjana ketenagalistrikan dari setiap daerah terisolir. Dengan menyekolahkan kaum muda daerah terisolir menjadi insinyur tak hanya mewujudkan keadilan pendidikan namun juga keberlanjutan sumber energi. Setelah lulus, para sarjana dapat menjadi agen perubahan di setiap daerahnya masing-masing. Mereka dapat terus merawat sumber energi yang terbangun dan memperbaikinya saat terjadi kerusakan. Utamanya, masyarakat tidak perlu bersusah payah memanggil teknisi ke luar daerah untuk memperbaiki pembangkit listrik jika terjadi kerusakan.

Setiap elemen masyarakat tidak dapat tidak beroleh keadilan energi di era digital kini. Betapa pun sulit dan jauh medan yang ditempuh masyarakat harus tetap menikmati aliran listrik. Akan tetapi, tidak hanya aliran listrik yang wajib dihadirkan untuk masyarakat. Masyarakat juga patut mendapat kualitas elektrifikasi yang memadai dan mumpuni. Namun yang perlu diperhatikan pula, sumber energi yang telah direka cipta harus tetap terawat dan terbaiki keadaannya.

REFERENSI:
Amalo, P. (9 Desember 2019). Media Indonesia.
Bayu, D. D. (2020, April 3). Katadata.co.id.
Tim Enerbi. (2017, Desember 10). Enerbi.
Tim IESR. (2019). Akses Energi yang Berkelanjutan untuk Masyarakat Desa: Status, Tantangan dan Peluang. Jakarta Selatan: Institute for Essential Services Reform.
Novitasari, D. (2013, Juni 11). Enerbi

 
Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya