Mewaspadai Klientelisme Politik

Ideal demokrasi senantiasa menampilkan wajah “adem” di balik bobroknya para pelakon. Saya condong mengafirmasi pemahaman Platon, demokrasi identik dengan anarkisme.
Anarkisme – bukan dalam pengertian tindak kekerasan dan pembunuhan, sebagaimana dimulai sejak Mikhail Bakunin (1814-1876) dalam konfrontasinya dengan Marx (Marxisme) – bagi Platon, merujuk pada aktus individu maupun kelompok yang terlampau bebas – freedom menjadi bebas ngawur-ngawuran – hingga tidak sanggup menemukan batas-batas kebebasannya. Inti soalnya ialah kebebasan yang kebablasan, sehingga orang tidak tahu lagi gunanya tatanan (Wibowo, 2014).
Aktus tersebut, menurut Platon, justru mendapat marwahnya dalam ruang demokratis yang menjunjung kebebasan dalam banyak hal. Lantas, siapa bertanggung jawab atas demokrasi anarkis ini. Tentu bukan siapa-siapa selain daripada penganut dan pemuja idea demokrasi hari ini.
Gagasan demokrasi paling konkret terimplementasi melalui momentum pemilihan umum. Slogan satu orang satu suara melegitimasi daulatnya suara rakyat. Namun, apakah benar rakyat berdaulat dengan satu suara di Tempat Pemungutan Suara? Benarkah satu suara mewakili satu orang secara absolut tanpa “intervensi” dari pihak tertentu? Secara kasat mata, semua kelihatan baik-baik saja.
Praktik Klientelisme
Semua yang kadang terlihat baik-baik saja ternyata memendam sejumlah persoalan. Aurat demokrasi misalnya, makin nampak soalnya jelang pemilihan umum.
Praktik-praktik “beli suara” makin marak dijumpai. Para kandidat politik berkontestasi terjun dan “menemui” para pemilih berspirit dulang suara, berwajah memelas.
Dana-dana pembangunan katakanlah, tiba-tiba memproposalkan diri di hadapan kebutuhan rakyat kecil. Sumbangan-sumbangan yang sebelumnya kian rumit didapat, sekarang malah ditawar. Intensi utama mereka adalah mendulang suara. Dengan menyediakan bantuan materi, mereka menginvestasi “kebaikan” dan menjadi beban utang bagi rakyat yang mesti dibalas dengan suara. Itulah praktik klientelisme politik paling nyata hari-hari jelang pesta demokrasi.
Edaward Aspinall dan Ward Berenschot, melalui penelitian mereka terhadap politik akar rumput di Indonesia, kemudian dibukukan berjudul “Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia” (2019), menggambarkan secara gamblang tentang klientelisme politik.
Menurut mereka, klientelisme politik terjadi ketika para pemilih, para penggiat kampanye, atau aktor-aktor lain menyediakan dukungan elektoral bagi para politisi dengan imbalan berupa bantuan atau manfaat material.
Para politisi tersebut menggunakan metode klientelistik untuk memenangkan pemilihan dengan membagi-bagikan bantuan, barang-barang, atau uang tunai kepada para pemilih baik individual maupun kelompok-kelompok kecil.
Mengutip Stokes et al. (2013) dan Hicken (2011), Aspinall dan Berenschot menambahkan, esensi dari politik klientelistik adalah “pertukaran yang kontingen”, atau serupa istilah quid pro quo, sesuatu untuk sesuatu. Dalam ranah pertukaran kontingen ini politisi menawarkan keuntungan dengan harapan bahwa para penerima akan membalasnya dengan dukungan politik, atau sebaliknya semacam balasan atas dukungan politik yang telah diberikan para pemilih sebelumnya.
Sadar atau tidak sadar, ruang demokrasi justru semakin disumbat politik klientelistik yang amat merusak tatanan demokrasi hari ini. Lebih-lebih praktik ini marak terjadi jelang pemilihan umum, dikenal sebagai pesta demokrasi.
Politik klientelistik dinilai sebagai akar dari sejumlah masalah pada tatanan birokrasi dan negara secara umum. Praktik pembelian suara dengan materi semata-mata, cenderung mengabaikan dimensi program politik jangka panjang (programistis).
Besar kemungkinan atensi terhadap rakyat pemilih tidak lagi diakomodasi setelah politisi menduduki birokrasi. Hal ini beralasan, mengingat tujuan kucuran dana bantuan “tahap awal” sebelum dan selama masa kampanye, semata-mata untuk membeli suara rakyat. Alhasil, dana bantuan “tahap awal” tidak akan pernah beranak pinak menjadi misalnya, “dana bantuan tahap selanjutnya”.
Sementara itu, para pekerja kampanye di lapangan tentu menagih upah atas jerih payah dalam sistem “serangan fajar”. Korupsi pun mewabah, entah untuk membayar para pekerja/team kampanye maupun “menabung” (war chest) untuk keperluan serupa pada pemilihan umum berikutnya. Siklus ini akan terus diulang pada periode-periode selanjutnya.
Siklus jejaring yang dibangun politisi pada umumnya melalui partai politik. Namun, seturut penemuan Aspinall dan Berenschot, jejaring partai politik ternyata hanyalah salah satu bentuk jejaring patronase (mengambil bentuk klientelistik, mengacu pada barang-barang dan bantuan para politisi sebagai imbalan atas dukungan politik pada saat pemilu).
Jejaring dan organisasi non-partai justru lebih memudahkan praktik klientelistik. Jejaring dan organisasi ini berupa kelompok kekerabatan dan kesukuan sampai ke organisasi keagamaan dan komunitas etnik. Deretan para broker – para pekerja partai, perwakilan negara, orang tepandang dan tokoh-tokoh masyarakat – dipetakan sedemikian rupa demi pemenuhan kepentingan politik klientelisme ini.
Waspada Politik Klientelistik
Pembacaan para poltisi yang bertarung jelang pemilihan umum terhadap situasi para pemilih cenderung sukses. Mereka pintar membaca kondisi: animo kekuasaan yang menggebu-gebu ditautkan dengan pembacaan akan kebutuhan material rakyat kecil, tentu akan semakin mudah melanggengkan aktus politik klientelistik.
Berangkat dari kemungkinan ini, praktik klientelisme politik perlu diwaspadai. Ini merupakan salah satu bentuk politik busuk yang dimainkan para aktor politik-birokrasi, entah sampai kapan.
Bagi rakyat pemilih, momentum pilkada serentak yang sebentar lagi digelar, mesti menjadi ajang berjaga-jaga dari kemungkinan mewabahnya politik busuk ini. Tentu sikap ini bukan pilihan mudah, serupa sikap utopis. Perlu ada komitmen besar membentengi diri dari serangan klientelistik.
Daulatnya satu suara satu orang seharusnya melandasi kekuasaan yang ada di tangan rakyat dalam lima tahun periode kepemimpinan. Kedaulatan itu mesti benar-benar ditampilkan melalui keyakinan menentang politik klientelistik di wilayah-wilayah calon pemilih.
Sikap menentang dan membentengi diri dari aksi busuk para kompetitor dan jaringannya (broker), perlu melandasi semangat mengikuti pesta demokrasi tahun ini dan seterusnya. Karena membendung para pelaku adalah usaha sia-sia, sekiranya pertahanan diri dengan cara-cara “mengunci” akses politik klientelistik, ialah lebih elegan dan substantif.
Pada galibnya, kita senantiasa mengukuhkan “tradisi” demokrasi – saya kutip dari RT News App (27/10/2020), sebuah analisis Slavoj Zizek yang berkonsentrasi pada electoral votes dalam politik Amerika Serikat saat ini – bahwa “Democracy means two things: “the power of the people” (the substantial will of the majority should express itself in the state), and trust in the electoral mechanism: no matter how many manipulators and lies there are, once the numbers are counted the result is to be accepted by all sides – Demokrasi berarti dua hal: "kekuatan rakyat" (kehendak substansial mayoritas harus mengekspresikan dirinya dalam negara), dan kepercayaan pada mekanisme pemilihan: tidak peduli berapa banyak manipulator dan kebohongan yang ada, setelah angka dihitung hasilnya harus diterima oleh semua pihak.
Tradisi kebohongan dan manipulasi akan semakin kokoh berbarengan dengan kehendak substansial (the power of the people), manakala rakyat pemilih konsisten mengabaikan sikap benteng diri dari politik busuk hari ini.
Akhirnya, mengutip tweet Kamala Harris wakil presiden AS terpilih (3/11/20), ”your vote is your voice, and your voice is your power. Don’t let anyone take away your power. Now is the time to stand up. Now is the time speak out”. Pilihan Anda ialah suara Anda, dan itu adalah kekuatan Anda. Jangan pernah biarkan orang lain merampas kekuatan anda itu.
Artikel Lainnya
-
134210/10/2019
-
38323/10/2023
-
90318/08/2023
-
Bobolnya Pertahanan Maritim Indonesia
152321/01/2021 -
Mendorong Kampus Kembali ke Jalan Perjuangan
62613/04/2025 -
Mencegah Pasar Tanah di Pariwisata Super Premium
154803/03/2020