Surat Seorang Liyan

Guru di Canisius College Jakarta
Surat Seorang Liyan 22/06/2020 1488 view Opini Mingguan pixabay.com

Aku ini seorang liyan, Adik. Katanya semenjak tumbuh di luar rahim ibu, aku menjadi orang yang berbeda. Lebih tepatnya dibedakan. Dianggap sebagai ‘yang lain’.

Aku ini liyan sebabnya aku dilahirkan sebagai perempuan. Sejak kecil, aku dianggap lemah, terutama oleh Ayah dan Abangku. Kata mereka aku tak boleh keluar rumah. Kata mereka aku harus tunduk kepada keputusan Ayah. Kata mereka suatu saat setelah aku menikah, aku bukan lagi milik Ayah dan Ibu, tetapi milik lelaki lain yang aku sebut ‘suami’.

Adik, kenapa kata ‘liyan’ itu hanya diberi buat kita yang perempuan sedang laki-laki tidak? Kenapa hanya kita yang disebut korban pemerkosaan sedang lelaki tidak? Apa bedanya kita dari mereka? Apa kita perlu meniadakan selaput dara pada kita agar sama dengan mereka?

Adik, kita ini liyan. Sejak kecil, buku-buku dongeng, cerita-cerita rakyat, petuah-petuah adat, dan nasihat-nasihat orang tua melarang kita perempuan untuk pergi jauh dari rumah. Katanya akan ada makhluk-makhluk menyeramkan yang senantiasa siap menerkam dan memangsa kita. Karenanya aku, sebagai liyan, takut pada malam. Pun sekarang takut pada terang.

Ruang gerak kita memang sepenuhnya dibatasi, Adik. Tak boleh pergi jauh juga tak boleh bermimpi terlalu tinggi. Mimpi kita sepenuhnya harus tunduk di bawah kaki laki-laki. Sedang laki-laki, Adik, mereka diperbolehkan pergi jauh sejak kecil. Dunianya luas, mimpinya juga tinggi. Kau kira cerita begini hanya milik Siti Nurbaya, Adik? Ah, nyatanya tidak, Adik. Sekarang pun sama saja.

Adik, kita ini memang selamanya akan menjadi liyan. Kata Ayah, kita akan aman hanya dalam perlindungan laki-laki. Lantas kita dipingit laki-laki yang tak kita cintai supaya kita bisa dijaga. Seolah jiwa dan raga kita tak punya harganya sama sekali. Hidup kita adalah hidup untuk laki-laki. Mereka kira kita tak bisa menentukan sesuatu buat diri sendiri?

Berapa banyak telah kau dengar tentang pemerkosaan yang menimpa seorang dari kita? Pernahkan kau mendengar Si Angeline kecil yang manis itu? Dia diperkosa, Adik, oleh orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab atas masa depannya. Atau pernahkah kau mendengar baru-baru seorang wanita remaja di Tangerang Selatan diperkosa tujuh pemuda sampai meninggal dunia? Pernahkah? Adik, berita-berita seperti itu sekarang mewarnai headlines media-media kita. Jangan heran sebab negara ini adalah republik binatang.

Di koran-koran, televisi, dan radio, berita mengenai kasus pemerkosaan semacam itu berseliweran, Adik. Betapa menyedihkannya dunia yang kita tinggali ini. Betapa kejamnya mereka terhadap kita yang lemah ini. Dunia yang aku harap jadi taman surga ini ternyata hanya dipenuhi oleh orang-orang bernafsu binatang. Kejahatan mereka dipertontonkan di mana-mana dengan kita adalah mangsanya yang empuk.

Nah, Adik, aku bacakan kisah seorang Liyan yang lain kepadamu. Biar kau tahu. Namanya Susan J. Prison. Ini kisahnya dan demikian tulisnya dalam Surviving Sexual Violence: A Philosophical Perspective (1993):

“Saya jalan-jalan pagi di sepanjang jalan desa di luar kota Grenoble, Perancis. Hari yang sangat indah, dan saya tidak iri pada suami saya, Tom, yang harus tinggal di dalam rumah karena sedang bekerja menyelesaikan manuskripnya bersama temannya. Saya bernyanyi kecil, berhenti mengelus seekor kambing dan memetik buah stroberi di sepanjang jalan. Satu jam setengah kemudian, saya terlentang di sungai kecil yang becek, di dasar air deras, berusaha untuk hidup. Saya ditarik dari belakang, diseret ke semak, dipukuli dan diserang secara seksual” (Bakker, dkk, 1998:567)

Adik, seorang Liyan terbiasa untuk selalu bungkam. Tidak pernah dilatih untuk berbicara dan mengutarakan perasaan dan pengalamannya. Kejadian kelam seperti pemerkosaan, sentuhan melecehkan pada sekujur tubuh, dan pelecehan seksual lainnya hanya dapat kita kenang sebagai memori kelam dalam ingatan. Paling suatu hari dalam hidup kita akan mengingatnya lagi sambil menangis. Hanya menangis sebab hanya itu yang bisa kau dan aku lakukan dan kita memang terbiasa untuk bungkam.

Kisah-kisah kelam hidupku tak pernah aku bicarakan, Adik. Pada suamiku pun pada ibuku. Sebabnya, aku tidak mempercayai siapa pun. Setiap tangan rasanya adalah kuasa yang membelenggu tubuhku, mencekik jiwa dan ragaku. Nyatanya aku tak percaya siapa pun. Lalu aku memilih untuk bungkam, lagi, lagi dan lagi.

Adik, aku salah. Aku salah menyebut kita lemah. Tidak! Kita seharusnya tak lemah. Kita semestinya menentukan sikap sebab di dunia ini, antara laki-laki dan perempuan, kita semua setara. Kuasa-kuasa di luar diri kita yang selama ini mencengkeram kita dan membatasi ruang gerak kita hanyalah nilai-nilai primitif warisan masa lalu. Kita seharusnya sudah berpikir lebih jauh, Adik, bahwa antara kau dan abangmu, suamimu, dan ayahmu, kita semua sama.

Maka, hanya ada satu kata, Adik: lawan! Dengan suara sendiri. Dengan pikiran sendiri. Dengan tenaga sendiri. Kita harus menentukan diri sebab kalau tidak, kita tak akan jadi apa-apa.

Adik, kita ini liyan. Aku bilang kita ini liyan. Yang paham kita hanyalah mereka yang juga liyan. Yang mampu bersuara untuk kita hanyalah mereka yang dengan berani menulis kisah hitamnya dan yang berani bercerita tentang getirnya hidup sebagai liyan kepada dunia. Adakah liyan di antara kita yang seberani itu membicarakan aibnya kepada dunia? Saya harap akan ada, Adik. Sebabnya, mulut-mulut yang katanya mewakili kita toh hanya akan semakin menindas kita. Makanya tak ada yang dapat mewakili kita kecuali diri kita sendiri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya