Degradasi Kritik

Menilai dan dinilai merupakan dua hal yang menjadi ukuran paling fundamental bagi kehidupan manusia terlebih dalam menjalin kelangsungan hubungan dengan sesamanya. Dalam kehidupan manusia sehari-hari, kerapkali persoalan yang muncul adalah penerimaan terhadap nilai yang disematkan pada sebuah fenomena dalam kehidupan sosial. Di sini nilai seakan menjadi penentu setiap unsur kehidupan manusia. Akan tetapi, hadirnya sebuah nilai akhirnya memberikan sebuah pemahaman manusia untuk senantiasa menolak segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ukuran nilai dalam dirinya.
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan mengangkat salah satu instrumen penting dari proses menilai dan dinilai ini, yang biasa disebut sebagai kritik. Kata “kritik” memang selalu identik dalam dunia seni, di mana kritik menjadi jembatan antara apresiator dan seniman terhadap karyanya, kali ini penulis akan membahas kritik secara khusus dalam dunia perpolitikan. Apakah kritik juga dapat menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah terutama mengenai berbagai kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah?.
Kritik berasal dari bahasa Yunani “kritikos” yang berarti “dapat didiskusikan” dan kata kritikos sendiri diambil dari kata krenein yang berarti memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan. (M.Jazuli, “Kritik Seni Pertunjukkan”, 2). Dengan kata lain, kritik dalam dunia politik juga dapat diartikan sebagai sebuah diskusi antara pemerintah dan masyarakat demi membangun keputusan perubahan yang baik. Sehingga, kritik tentu saja tidak berhenti pada proses menilai yang diterima satu pihak saja melainkan juga memicu agar keduanya sama-sama menerima perbaikan dan menjalankan solusi bersama, dalam hal ini adalah pemerintah dan masyarakat.
Dilarang Ber-kritik?
Baru-baru ini terjadi sebuah fenomena menarik berkaitan dengan kritik secara khusus dalam dunia politik di Indonesia ini. Di mana Presiden Jokowi menjadi sorotan publik terkait permintaanya kepada masyarakat untuk mengkritik kinerja di era pemerintahannya. Ungkapan itu disampaikannya pada Laporan Akhir Tahun Ombusdsman RI 2021 (Kompas.com, 17/2/2021). Beliau mengatakan “Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik”. Persoalan yang terjadi di balik ajakannya tersebut ialah mengenai eksistensi UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 dan juga buzzer politik yang kapan saja siap menjerat mereka yang telah mengkritik pemerintah.
Hal ini semakin kontroversial ketika banyak jurnalis yang berusaha mengkritisi kinerja pemerintah salah satunya Dandy Laksono terkait cuitannya mengenai Papua di media sosial yang akhirnya menyebabkan dirinya harus ditangkap.
Kehadiran akun buzzer yang juga menyerang dengan memberikan tuduhan-tuduhan terkait aksi kritiknya tersebut turut mempercepat penangkapannya. Eksistensi buzzer di sini ibarat parasit yang kapan saja siap menyerang organisme yang ada disekitarnya.
Belum lagi UU ITE yang ada justru mengurung kebebasan masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi yang tentu saja bertujuan untuk membangun pemerintah, karena sebagai negara demokrasi rakyat berhak menyampaikan apa yang menjadi harapannya terhadap perkembangan pemerintah.
Dari permasalahannya ini, penulis mengangkat sebuah pertanyaan menarik dari salah satu tokoh sekaligus menjadi tanggapan selanjutnya terhadap persoalan ini yang berasal dari Mantan Presiden RI, Jusuf Kalla. Beliau memberikan tanggapannya terhadap kebebasan kritik di Indonesia, dengan ungkapan, “Bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?”. Sekiranya dari pertanyaan ini, kita dapat memahami sebenarnya apa arti kritik yang sejati dan bagaimana perwujudan yang tepat untuk menyampaikannya, karena antara arti harafiah kritik dan realita justru berbanding sebaliknya. Kritik tidak lagi menjadi sebuah diskusi melainkan sebuah ilusi yang menghantui kebebasan rakyat.
Teori Kritis Herbert Marcuse
Terkait permasalahan kritik ini, penulis berusaha memberikan sebuah paradigma pemikir kritik ternama yakni, Herbert Marcuse. Ia lahir di Berlin pada tahun 1898. Salah satu karyanya ialah aliran bernama Mazhab Frankfurt yang ia dirikan bersama Max Horkheimer dan Theodore W. Adorno. Aliran Mazhab Frankfurt ini menghasilkan sebuah teori bernama “teori kritis”. Cara kerja dari Teori Kritis ini ialah kritik yang berciri reflektif, di mana teori ini berusaha menjelaskan dan melepaskan realitas dari kepalsuan dan gangguan dan berusaha mengkontemplasikan adanya batasan dalam kritiknya.
Bagi Marcuse, Teori Kritis ini berperan penting untuk menemukan arti sejati dari sebuah kritik. Dalam kritik diperlukan sebuah penelitian terlebih dahulu agar realitas yang diteliti benar-benar menghasilkan praksis keputusan yang benar, sebab Marcuse menyadari bahwa kritik dibentuk oleh sebuah rasa penindasan yang lahir dari rakyat kecil. Begitu pula kritik yang terjadi antara masyarakat yang cenderung berada di bawah dengan lembaga pemerintahan yang berada di atas. Adanya ketidakadilan menyebabkan rakyat berusaha menyampaikan aspirasinya menuju kesejahteraan bersama.
Dari pemikiran Herbert Marcuse ditemukan sebuah kritik yang ideal, yakni berjiwa reflektif dalam mendiskusikan sebuah gagasan dan permasalahan. Artinya antara pemerintah dan masyarakat, harus memiliki jembatan diskusi melalui keterbukaan, tujuannya ialah agar dapat menemukan realitas yang dianggap sebagai permasalahan bersama dalam hal ini terkait kegagalan yang ada dalam kinerja pemerintahan di Indonesia. Karena menjadi permasalahan bersama maka diskusi yang terjadi benar-benar menghasilkan keputusan yang bisa diafirmasi bersama.
Dehumanisasi Menuju Humanisasi
Banyaknya rakyat yang merasa bahwa kebebasan mereka tidak tercapai dengan baik, tentu saja menjadi pertanyaan besar dibalik nilai demokrasi yang ada di Indonesia ini. Rakyat sebagai prioritas negara yang harus dijaga haknya, nampaknya justru sebaliknya mengalami apa yang disebut sebagai dehumanisasi. Begitu banyak aspirasi yang ingin disampaikan, tetapi nampaknya aspirasi tersebut diredam tanpa arti. Ungkapan rakyat seakan tidak memberikan pengaruh yang penting, padahalnya rakyat merupakan unsur penting dari negara yang berciri demokrasi. Lantas kemana kebebasan rakyat?
Pada situasi yang dialami masyarakat saat ini, Marcuse menyebut situasi manusia saat ini sebagai “Manusia Satu Dimensi”, yakni penggiringan kaum buruh menuju ilusi kebenaran oleh lembaga negara. Di mana lembaga negara seperti telah menjinakkan kaum buruh. Kaum buruh terus menerus dieksploitasi tanpa batas. Kaum buruh berada dalam ilusi kebenaran yang sebenarnya salah. Begitu juga situasi saat ini, masyarakat yang berusaha untuk mengungkapkan aspirasinya seakan-akan perbuatannya tersebut salah. Sesuatu yang benar sedang dikuasai lembaga negara. Hakikat masyarakat sebagai manusia yang memiliki kebebasan berpendapat di negara demokrasi ini seperti berusaha untuk dieliminasi seiring aspirasi yang diberikannya.
Hal yang bisa dilakukan untuk menanggapi persoalan kritik ini, terlebih dalam menjawab pertanyaan menarik dari Mantan Presiden RI Jusuf Kalla, yakni “Bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa harus dipanggil polisi?”. Jawabannya yang sekiranya bisa ditawarkan adalah pemahaman Teori Kritis dari Herbert Marcuse yakni kritik berjiwa reflektif. Artinya, kritik yang ingin disampaikan hendaknya melalui proses kontemplatif.
Kritik harus dibangun dalam kesadaran penuh dan keterbukaan kedua belah pihak, pertama membuka ruang diskusi dengan penuh kerendahan hati, menerima pendapat fundamental, dan memaknai hasil akhir dengan nalar yang tepat sehingga muncul hasil kritik berupa tindakan yang sejalan dengan hasil kritik tersebut. Dengan demikian, berbagai permasalahan realitas dapat tersingkap dan terselesaikan dengan damai. Tidak ada lagi penindasan yang bersifat satu dimensi dalam ber-kritik artinya penindasan salah satu pihak dalam proses kritik melainkan kedua-duanya harus menyadari bahwa nilai dari kritik sendiri tidak lain adalah pembangunan kesadaran realitas terhadap kekurangan menuju kemajuan bersama, dalam hal ini adalah kemajuan kinerja pemerintah dan masyarakat menuju kesejahteraan bersama.
Artikel Lainnya
-
117522/06/2020
-
58918/09/2023
-
174521/06/2020
-
Hak Disabilitas dalam Pesta Demokrasi
121308/04/2021 -
Selamat Jalan Artidjo, Algojonya Para Koruptor
112301/03/2021 -
59916/06/2024