Menyoal Dibukanya Kembali Izin Tambang Pasir Laut

Menyoal Dibukanya Kembali Izin Tambang Pasir Laut 24/06/2023 531 view Politik pixabay.com

Coba bayangkan, apa kiranya yang akan terjadi jika pasir laut yang biasanya menghiasi pesisir, terus menerus ditambang?

Mungkin yang akan segera muncul di benak kita adalah suasana lingkungan pesisir yang akan terasa ganjil, lengkap dengan gambaran alat-alat besar milik para penambang yang berseliweran di sana-sini mengeruk pasir. Dan begitulah, yang mungkin akan segera terjadi, ketika pemerintah sudah benar-benar menerapkan kebijakan terbarunya terkait perizinan tambang pasir laut.

Sebagaimana pada 15 Mei lalu, pak Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 2023 yang mengatur perizinan tambang pasir laut tersebut. PP itu di luarannya diberi judul Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan sedianya digunakan untuk mengubah aturan pelarangan yang termuat dalam Keputusan Presiden No. 33 tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.

Pemerintah beralasan kebijakan pembukaan kembali itu ditujukan untuk mengatasi permasalahan pendangkalan alur laut dan untuk kebutuhan pembangunan dalam negeri (Perdana, 2023). Namun, keputusan tersebut berpeluang membawa risiko yang besar terhadap negara dan masyarakat. Oleh karena itu, keputusan pemerintah membuka kembali perizinan itu patut dikritisi dan dipertanyakan ulang urgensi serta relevansinya.

Kurang Riset dan Berpotensi Merusak Lingkungan

PP No. 26/2023 memuat sejumlah kebijakan penambangan pasir laut yang banyak menuai pro-kontra. Pada salah satu bagiannya membahas tentang pemanfaatan hasil sedimen. Di dalamnya dijelaskan empat peruntukkan pemanfaatan hasil sedimen laut, yaitu untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah,pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor. Meskipun dirangkai sebagai upaya pemanfaatan dan pengelolaan, PP tersebut mendapatkan tentangan dari berbagai pihak.

Banyak pihak menilai, seperti WALHI, Greenpeace, dan DFW bahwa kebijakan itu bertentangan dengan berbagai hasil riset yang telah dilakukan atas dampak penambangan pasir terhadap lingkungan dan masyarakat. Dikutip dari laman Kompas.id, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, menerangkan kebijakan pembukaan kembali izin penambangan pasir laut itu berpeluang besar memperburuk dampak krisis iklim di masa depan (Grahadyarini, 2023a). Noir Primadona Purba, dosen dan peneliti bidang kelautan Universitas Padjadjaran (UNPAD), bahkan telah memetakan terdapat 6 bahaya yang mengintai di balik kebijakan tambang pasir laut. Mulai dari kerusakan terhadap lingkungan ekosistem laut dan pesisir, menyebabkan abrasi dan tenggelamnya pulau-pulau kecil, hingga ancaman terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan kecil (Purba, 2023).

Argumen pemerintah membuka perizinan tambang pasir untuk mengatasi pendangkalan alur laut dengan begitu menjadi sangat tidak rasional. Barangkali itu memang hanyalah dalih semata yang dibuat. Ini juga selaras dengan yang dikemukakan oleh Mohammad Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, bahwa langkah pemerintah itu kurang tepat jika memang ingin melakukan pengendalian dampak negatif pasir laut terhadap penurunan daya dukung lingkungan (Grahadyarini, 2023a).

Alih-alih menunjukkan keseriusan menangani permasalahan kesehatan laut akibat sedimentasi, pemerintah Indonesia secara tidak langsung justru memperlihatkan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan kasus.

Tidak Membawa Kesejahteraan di Sisi Masyarakat Pesisir

Pembukaan izin penambangan pasir laut jelas dapat mengancam kelestarian lingkungan. Maka dari itu, kita tentu dapat membayangkan dampak turunannya terhadap masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah sekitar pesisir.

Bayangkan saat sebuah lingkungan tempat menggantungkan hidup rusak, maka apa yang bisa dilakukan masyarakat di lingkungan itu serta harus kemanakah mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (?).

Sejauh ini sudah ada banyak catatan dan laporan yang merekam pengalaman warga pesisir ketika tambang pasir memasuki daerahnya. Penelitian Dewi Anggariani, dan kawan-kawan pada 2020 menunjukkan signifikansi pengaruh pertambangan pasir laut terhadap masyarakat pesisir di pantai Galesong, Sulawesi Selatan. Dalam kasus itu, praktik penambangan dilakukan dengan tidak mengindahkan regulasi yang berlaku. Sehingga yang terjadi adalah banyaknya kerugian sosial dan ekonomi di sisi masyarakat. Dampak tersebut muncul mulai dari hilangnya area tangkapan ikan, yang menyebabkan nelayan harus mengubah sistem pekerjaannya, hingga mendorong timbulnya konflik sosial di masyarakat (Anggariani et al., 2020).

Apa yang dialami masyarakat pesisir Galesong itu juga sempat difilmkan sebagai sebuah dokumenter yang tayang di channel Watchdoc Documentary. Diceritakan bahwa kegiatan penambangan pasir telah menyebabkan sebagian warga memilih mengungsi (dengan terpaksa) karena rumahnya sudah terancam abrasi oleh arus gelombang laut yang tidak lagi bisa dibendung. Adapun jika warga ingin tetap bertahan dan tinggal di rumah, mereka harus mengupayakannya sendiri dengan membeli bambu kayu untuk dijadikan pagar pelindung. Kehidupan masyarakat pun menjadi semakin rentan akan bahaya bencana yang mengintai mereka sewaktu-waktu (Watchdoc Documentary, 2023).

Masyarakat pesisir pantai Galesong tidak sendirian. Ada contoh lain yang juga telah menunjukkan dampak negatif aktivitas penambangan pasir terhadap kehidupan masyarakat. Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat di Kepulauan Riau (Grahadyarini, 2023b). Gelombang protes terhadap keputusan pemerintah itu pun semakin menguat akhir-akhir ini, sebab banyak dari masyarakat pesisir yang tidak dilibatkan partisipasinya dalam merumuskan kebijakan tersebut.

Problem Budaya Pemerintah Indonesia dalam Merumuskan Sebuah Kebijakan Publik

Fakta di lapangan telah menunjukkan bahwa pemerintah (kerap kali) dalam membuat sebuah kebijakan kurang berdasar pada data hasil riset. Selain itu, praktik demokrasi yang melibatkan suara dan aspirasi masyarakat juga kurang disertakan. Beberapa tahun terakhir, pemerintahan pak Jokowi memang cenderung kilat dalam membuat hingga mengesahkan suatu kebijakan atau regulasi. Padahal, jika ditilik lebih lanjut, kedua hal di atas memegang peran penting sebagai pengukur atau indikator apakah suatu kebijakan itu sudah ideal serta sudah benar-benar kontekstual atau tidakkah untuk keperluan dan kepentingan bersama (Asmara, 2017). Kebijakan yang baik adalah perpaduan dari hasil riset serta pelibatan masyarakat sebagai subjek sekaligus objek kebijakan itu.

Kebijakan pembukaan kembali izin tambang pasir syarat akan kepentingan segelintir elit. Pemerintah seharusnya segera mengubah kebiasaan atau budaya buruk ini jika memang benar-benar ingin menyiapkan sebuah kebijakan yang mampu berdampak positif pada masyarakat luas. Jangan sampai suatu keputusan itu hanya bermanfaat untuk kepentingan sekelompok orang dan mengabaikan kepentingan serta kebutuhan masyarakat yang lebih banyak.

Pemerintah seharusnya juga tidak melupakan janjinya untuk mewujudkan visi misi pembangunan yang berkelanjutan di dalam negeri. Keputusan pembukaan kembali izin tersebut lalai mempertimbangkan risiko terhadap lingkungan dan nampak lebih berfokus pada urusan bisnis berjangka pendek semata. Pembangunan berkelanjutan tidak bisa berjalan jika pemerintah mengabaikan lingkungan sebagai sumber penghidupan itu sendiri. Kebijakan pragmatis yang luput mempertimbangkan risiko jangka panjang bisa menjadi bencana bagi semua. Apakah nanti jika bencana itu sudah datang, pemerintah mampu mempertanggungjawabkan keputusannya kepada masyarakat(?).

Maka berkaca dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keputusan dibukanya kembali izin tambang pasir ini lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya terhadap kebutuhan bersama. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah tidak gegabah atau terburu-buru dalam menetapkan kebijakan ini. Prinsip kemusyawaratan harus kembali ditegakkan untuk menemui kesepakatan bersama yang benar-benar berdampak positif pada semua.

Selain itu, kepada masyarakat, kita juga jangan pernah takut untuk menyuarakan pendapat atau kritik kepada pemerintah. Karena keterlibatan kita penting dan sangat bernilai dalam upaya pembangunan negeri. Jika bukan kita yang bergerak, lalu siapa lagi(?).

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya