Kutukan Pertambangan

Admin The Columnist
Kutukan Pertambangan 03/11/2019 1917 view Catatan Redaksi Flickr.com

Sebuah ombak menghempas kami. Perahu oleng, kamipun hilang keseimbangan. Beberapa orang mengeluarkan isi perut. Tak tahan menghadapi gelombang laut yang berubah cepat.

Canda tawa di pagi cerah beberapa belas menit lalu itu tersapu takut lantaran ombak memutih sedang berbaris rapat menuju kami. Gelombang Laut Banda mulai mengamuk, siapun tahu bagaimana rupanya.

Perahu terpaksa menepi ke pulau sekitar. Memberi kesempatan lain mendengar banyak cerita dari masyarakat di pulau itu. Melengkapi informasi yang sebelumnya sudah berhasil terkumpul. Tentang pertambangan dan ilusi kesejahteraannya.

Tuan-tuan pembaca, marilah ke mari. Ke sinilah barang sebentar. Dengarkan sebuah kisah penjelajahan ke sebuah kabupaten terpencil di ketiak Pulau Sulawesi sekira 4 tahun lalu. Tempat di mana pertambangan telah mengubah hubungan alam dan manusianya.

Tak ada bandar udara di kabupaten itu. Bila hendak ke sana, tuan-tuan pembaca musti mendarat di kota lain. Lalu membelah hutan lewat jalan darat. Beberapa jam di jalan berliku. Untuk kemudian tiba di sebuah negeri dengan dua jenis wilayah. Yang satu wilayah daratan, masih di Pulau Sulawesi. Adapun yang lain wilayah kepulauan, berhadapan langsung dengan Laut Banda.

Dulu, dulu sekali, tuan-tuan pembaca. Alam di negeri itu menghadirkan berkah. Siapa di antara kita yang masih meragukan kesuburan Pulau Sulawesi. Dan siapa pula di antara kita yang tak percaya di perairan sana punya banyak ikan.

Di mana-mana, kondisi tanah, air dan cuaca amat menentukan jenis mata pencarian masyarakat. Demikian pula di negeri itu.

Di daerah daratan, masyarakatnya berkebun dan meramu. Ada pohon cengkeh dan pala yang sudah tumbuh lama. Beberapanya bahkan sudah ada sejak zaman penjajah. Adapun yang lain ditanam beberapa dekade lalu.

Tumbuh di lereng bukit di sekitar kampung mereka. Tinggi menjulang, dipanen berkala. Dan tak jarang pula mereka pergi mengumpulkan tanaman hutan. Akar rotan hutan misalnya.

Adapun masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan, situasinya lain lagi.

Pulau-pulau mungil di sekitar ketiak Pulau Sulawesi itu kurang subur karena terbuat dari karang yang membeku lama. Lapisan tanah suburnya amat tipis. Tak banyak tanaman yang bisa di hidup.

Kalaupun ada, pasti tak laku dijual di pasar. Contohnya sejenis ubi. Saya tak pula tanya, bagaimana jelasnya mereka menyebut tanaman itu. Namun yang jelas, setelah dipanen harus direndam, ditumbuk, direbus, dan dijemur untuk mengilangkan racunnya.

Tak bernilai ekonomis. Cuma dikonsumsi di waktu terdesak.

Ketika tanah tak subur, apalagi luasannya begitu sempit, maka mata pencaharian sepenuhnya menghadap ke laut. Dan ini pula yang membuat mereka bergantung penuh dengan cuaca Laut Banda.

Bila musim teduh tiba, ikan menari-nari di sekitar pulau mereka. Tinggal pergi sebentar. Ikan-ikan itu siap dikirim ke Kendari untuk diekspor ke Jepang.

Jika musim selatan datang, gelombang tinggi membuat nelayan ngeri. Maka bertani rumput laut di sekitar pulau mereka menjadi pilihan.

"Kalau musim meng-agar (baca: bertanam rumput laut), ini laut memerah. Perahu yang mau datang ke pulau kami harus dipandu supaya tak tersangkut tali agar", cerita salah satu mereka.

Demikianlah kondisi mata pencaharian orang-orang di sana. Amat lekat dengan tanah, laut dan cuaca. Baik yang di darat maupun yang di kepulauan.

Kedengaran indah bukan? Tapi tuan, mohon maaf, sebetulnya tak indah-indah betul.

Namanya kabupaten terpencil, semua serba terbatas. Angka kemiskinan sangat tinggi. Lebih tinggi dari rerata provinsi yang sudah lebih tinggi dari angka nasional itu.

Di kesehatan, tak jauh beda. Atau bahkan lebih prihatin bagi masyarakat kepulauan.

"Kami di sini kalau ada yang sakit parah, pilihannya cuma dua. Sembuh sendiri atau menunggu mati saja", cerita mereka.

Tak ada fasilitas kesehatan yang mumpuni di pulau-pulau itu. Ongkos buat beli solar ke rumah sakit di darat sekitar 1 juta, itu pun ditempuh dalam beberapa jam. Belum lagi untuk bayar biaya rumah sakit di sana.

Jadi begitu sebenarnya kondisi masyarakat di sana. Cukup memprihatinkan dari segi pelayanan publik.

Tapi itu dulu. Beberapa tahun kemarin situasi berubah cepat. Keprihatinan sudah berubah menjadi keperihan.

Berawal dari adanya kandungan nikel berharga di bebukitan wilayah darat, berakhir pada tambah merananya manusia-manusia di sana.

Tambang-tambang nikel raksasa menyusup ke daerah terpencil itu. Ada yang bilang tambang terbesar dimiliki para Jenderal Jakarta. Entah benar entah betul.

Di daratan, orang-orang menjual tanahnya untuk tambang. Janganlah tuan-tuan pembaca menuduh mereka ini bodoh, "bagaimana mungkin menukar tanah subur yang sampai kapanpun bisa menjadi gantungan dengan rupiah yang habis sesaat". Jangan begitu tuan.

Sebagian mereka mengaku diakal-akali, atau lebih tepatnya diancam. Pilihan terbaik untuk mereka saat itu hanyalah "menjual, dan bekerja di tambang". Tak ada yang lain.

Tapi kenyataannya tak seburuk itu. Lebih buruk.

Hanya sebagian mereka saja yang bekerja di tambang. Yang lain tidak. Pun begitu, yang terserap perusahaan itu hanyalah untuk pekerja rendahan. "Tukang pegang bendera atau tukang kasih hidup-mati mesin", kata orang sana.

Tukang pegang bendera atau flagman, tuan tahu itu? Maksudnya kurang lebih Pak Ogahnya lalu lintas mobil raksasa pengangkut nikel di lingkungan perusahaan. Diangkatnya bendera kecil yang ini, maka mobil yang itu boleh jalan. Jika bendera yang itu diangkatnya, maka mobil yang ini boleh lalu.

Jangan tanya gaji dan tunjangan. Tentu beda dibanding pekerja asing yang simsalabim muncul dari kapal asing di sebuah pagi. Lalu abracadabra lenyap pula mereka secara tiba-tiba di sebuah malam.

Di darat, orang-orang merana oleh tambang. Tapi itu masih sedikit lebih baik dibanding yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau sekitarnya.

Longsor, banjir, dan pasir bercampur zat kimia sisah pertambangan bermuara ke laut. Merusak kualitas air dan terumbu karang di wilayah kepulauan.

Ketika air tercemar, ikan-ikan menipis, rumput laut enggan tumbuh karena dihantam material sisah dan zat kimia tersebut.

Pesta tambang di darat memercikan rupiah ke daerah sekitar, meskipun tak banyak. Tapi hanya menyisahkan ampasnya saja untuk wilayah kepulauan.

Di musim teduh, ikan tak ada lagi yang hidup di sekitar pulau. Kualitas air buruk, terumbu karang untuk rumah mereka juga rusak.

Ikan hanya ada di tempat yang nun jauh. Jadilah biaya solar lebih tinggi dibanding harga jual ikan tangkapan. Banyak yang enggan melaut. Lebih suka mencari ikan di sekitar rumah untuk dikonsumsi sendiri.

Di musim selatan, kualitas air yang buruk membuat rumput laut rusak. Maka hanya membuang-buang uang saja kalau bertanam rumput laut.

Jadi bisalah kita katakan. Dulu kondisi memang tak baik. Namun alam masih bermurah hati memenuhi kebutuhan mereka. Tapi beberapa tahun lalu situasi berubah karena pertambangan, lantaran alam mengandung benda bernilai ekonomis: Nikel.

Orang-orang luar yang serakah datang dengan cerita khayalannya tentang pertambangan yang mensejahterakan. Yang terjadi kemudian adalah penambangan yang merusak alam, untuk kemudian menghadirkan kutukan bagi manusia-manusia yang sebelumnya sudah hidup merana.

Yah..namanya pertambangan, tuan-tuan tentu mahfum. Mengorbankan banyak manusia demi kebahagian sedikit manusia serakah.

Lalu ketika perahu kami dihempas gelombang, mungkin ada yang terbersit di pikiran, "Matilah kita". Dan sejumlah akibat mengikutinya, "tak akan ada informasi detail yang bisa digunakan untuk membuat rencana pembangunan di wilayah ini".

Padahal, pertambangan sudah lama mengubah keberkahan alam menjadi kutukan. Pembangunan yang membahagiakan, yang sedang kami gagas saat itu, bisa jadi hanyalah ilusi di hadapan khayalan pertambangan yang mensejahterakan.

Maka mengapa pula menyabung nyawa di Laut Banda demi mewujudkan pembangunan yang membahagiakan. Karena persoalam pertambangan dan khayalan kesejahteraannya itulah yang justru harus diselesaikan terlebih dahulu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya