Barbie (2023): Kritik Patriarki dan Inspirasi Feminisme untuk Indonesia

Film Barbie (2023) karya Greta Gerwig lebih dari sekedar hiburan. Film ini mengangkat isu-isu penting seperti feminisme, patriarki, dan standar kecantikan, memberikan refleksi yang relevan bagi perempuan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Greta Gerwig, sutradara film ini, dikenal sebagai salah satu pembuat film perempuan paling berpengaruh di era modern. Karyanya sering mengeksplorasi tema identitas perempuan, hubungan sosial, dan perjuangan melawan norma patriarki, sebagaimana terlihat dalam Lady Bird (2017) dan Little Women (2019).
Gerwig terinspirasi oleh buku non fiksi Reviving Ophelia (1994) karya Mary Pipher, yang membahas dampak tekanan sosial terhadap remaja perempuan. Buku ini mengungkap bagaimana perempuan muda sering kali terjebak dalam harapan masyarakat yang merugikan identitas dan kebebasan mereka. Inspirasi ini jelas terlihat dalam Barbie , terutama dalam kritiknya terhadap standar kecantikan yang tidak realistis dan peran gender yang membatasi perempuan.
Di Barbieland, kehidupan tampak sempurna. Dunia ini dirancang untuk kerangka realitas gender yang sering ditemukan di dunia nyata. Perempuan di Barbieland memiliki kebebasan penuh untuk menjadi apa saja yang mereka inginkan, mulai dari hakim, dokter, hingga pengelola sampah. Tidak ada batasan gender yang menghalangi mereka untuk mengejar mimpi. Sementara itu, laki-laki, yang disebut sebagai “Ken,” hanya ada di pinggir kehidupan, tanpa peran atau pekerjaan yang berarti. Mereka lebih sering terlihat di pantai, mencoba menarik perhatian Barbie.
Namun, kesempurnaan di Barbieland ini hanyalah sebuah sindiran yang menunjukkan absurditas dunia yang terlalu terpolarisasi. Kontras ini menjadi dasar cerita ketika Barbie masuk ke dunia nyata dan menemukan bahwa peran gender di sana sangat berbeda. Kehidupan di Barbieland, meskipun ideal, juga menyoroti kritik bahwa kerangka patriarki saja tidak cukup untuk menciptakan keadilan gender. Dunia yang benar-benar setara membutuhkan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam Barbie , Gerwig juga memasukkan nilai-nilai feminisme liberal, seperti yang dipaparkan oleh Betty Friedan dalam karyanya The Feminine Mystique (1963). Friedan tekanan tekanan sosial yang mendorong perempuan untuk menyesuaikan diri dengan peran domestik tradisional. Dalam film ini, Barbie awalnya digambarkan sebagai simbol kesempurnaan fisik yang ideal namun terjebak dalam ekspektasi masyarakat yang membatasi. Gerwig menggunakan karakter Barbie untuk mengkritik gagasan bahwa perempuan harus memenuhi standar kecantikan tertentu agar dianggap berharga.
Di sisi lain, teori postkolonial dari Gayatri Spivak memberikan perspektif yang lebih mendalam tentang bagaimana perempuan sering kali menjadi kelompok yang terbungkam dalam sistem sosial patriarki. Spivak memperkenalkan konsep subaltern , yaitu kelompok masyarakat yang tidak memiliki suara atau akses untuk berbicara dalam struktur kekuasaan. Dalam Barbie, Barbieland digambarkan sebagai dunia ideal di mana perempuan bebas menjadi apa saja, tetapi di dunia nyata, Barbie menghadapi kenyataan pahit bahwa perempuan masih terjebak dalam struktur patriarki. Adegan ketika Barbie mengalami diskriminasi verbal yang mencerminkan bagaimana perempuan sering direduksi menjadi objek dalam ruang publik, sebuah kritik yang selaras dengan pandangan Spivak tentang ketidakadilan sistemik.
Film ini juga menyentuh isu-isu yang sangat relevan dengan perempuan Indonesia, seperti eksplorasi seksualitas di ruang publik. Adegan Barbie yang mengalami pemahaman verbal menggambarkan kenyataan pahit yang dihadapi banyak perempuan. Menurut survei Komnas Perempuan, eksploitasi seksualitas di ruang publik terus meningkat, semakin mendesaknya perjuangan melawan patriarki. Selain itu, standar kecantikan yang tidak realistis, seperti kulit cerah dan tubuh langsing, menekan perempuan untuk memenuhi ekspektasi sosial yang tidak manusiawi.
Film Barbie (2023) mengajarkan bahwa perjuangan melawan patriarki bukan hanya tentang kesetaraan peran gender, tetapi juga menciptakan keharmonisan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pesan ini sangat relevan bagi masyarakat Indonesia yang sedang membangun kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di berbagai bidang kehidupan. Lebih dari itu, film ini mengingatkan kita bahwa perubahan sosial tidak dapat dicapai tanpa partisipasi semua pihak. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan inklusif.
Harmoni gender bukanlah tentang perebutan kekuasaan dari satu pihak, melainkan bekerja sama untuk memastikan setiap individu dapat hidup sesuai dengan potensinya tanpa batasan sosial atau stereotip. Bagi perempuan Indonesia, pesan ini adalah seruan untuk terus melangkah maju, memperjuangkan hak mereka, dan menolak norma-norma yang membatasi. Sementara itu, bagi laki-laki, ini adalah kesempatan untuk menjadi sekutu dalam perjuangan menuju kesetaraan gender. Barbie tidak hanya mencerminkan dunia seperti apa yang kita jalani, tetapi juga dunia seperti apa yang seharusnya kita ciptakan bersama.
Dengan pemahaman dan tindakan nyata, kita semua dapat berkontribusi untuk membangun masyarakat yang lebih adil, yang mana kesetaraan gender bukan lagi sebuah impian, melainkan kenyataan.
Artikel Lainnya
-
101003/10/2023
-
89915/03/2021
-
122818/04/2021
-
Karena Tidak Semua Yang Ada di Internet adalah Benar
228531/08/2020 -
Moralitas Emmanuel Kant dan Pendidikan Budi Pekerti Indonesia
264205/04/2020 -
Gelombang Britpop: Mahasiswa Kembali Jatuh Cinta pada Suara Nostalgia
16110/06/2024