Menuju Paradigma Sosiologi Hukum
Sangatlah sulit bisa hidup dengan singgungan batas aman dan nyaman, apa lagi mendambakan kehidupan ideal-primordial, tanpa adanya kontrak sosial. Manusia dengan identitas ‘makhluk sosial’ tidak bisa lepas dari interaksi mondial. Latar belakang, identitas dan karakteristik yang berbeda memaksa tumbuhnya ‘pengikat dan pembatas’ di antara mereka.
Lumrahnya, premis tersebut kita kenal dengan hukum. Hukum tumbuh dan relevan dengan zaman sebagai jawaban dari kebutuhan masyarakat sekitar. Timbulnya hukum sebagai patron dan fundamen dalam beretika, berdialektika dan beretorika. Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam masyarakat. Peraturan berisi perintah dan larangan dengan sifat preskriptif. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur perilaku manusia agar tidak bersinggungan dan merugikan kepentingan umum.
Selebihnya, konsepsi yang terbentuk dari realitas dan bacaan sosial-masyarakat bukan lah suatu yang bebas nilai. Seperti ungkapan Heraklitus, apapun yang ada dan tumbuh di dunia, memiliki dua medium yang berbeda. Sama dengan ilmu hukum sebagai jawaban untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan, di sisi lain justru berangkat sebagai moda tunggangan politisi dan kepentingan.
Banyak aliran mengenai pandangan hukum; hukum positif-normatif, kritik teori hukum, hukum alam, sejarah hukum, legisme hukum hingga utilitarian hukum. Dalam hal ini, Indonesia lebih mengadopsi konsepsi hukum positif dalam mengawal iklim politik lingkungan negara. Hanya karena latar belakang hukum Indonesia diwarnai melalui kodifikasi hukum era kolonial dan terbawa dengan doktrin dogmatisnya menjelma menjadi hukum murni—bebas dari anasir lain.
Hukum positif dinilai sudah tidak relevan dan mulai ditinggalkan karena tidak mampu mengakomodir kebutuhan zaman dan terlalu sempit dalam memandang problematika persoalan (hukum). Positivisme hukum—baik ketika penerbitan maupun pengaplikasian—berusaha seeksak mungkin dalam mengejawentahkan implikasinya sehingga cita hukum sebagai aturan ‘mengikat dan memaksa’ dapat dinilai dan dicecap panca indera.
Hans Kelsen menyatakan, hukum seharusnya dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis lainnya. Adalah alasan sebagai upaya legal formal dan moral ideal positif hukum dapat ditegakkan secara tegas tanpa memberi ruang dan peran bagi unsur-non yuridis lainnya; sosial, kultural, religius atau etis. Hukum positif sama dengan legisme hukum; mengakui bahwa hukum adalah undang-undang dan putusan hakim.
Menggagas Sosiologi Hukum
Konfigurasi hukum seperti itu sangatlah dominan tidak sesuai dengan kebutuhan zaman yang semakin kompleks dan majemuk. Terlebih Indonesia dengan biodata negara multikultural, hanya mengandalkan hukum yang kaku dan gersang pandangan realitas sosial, justru membawa kepada suasana tumbuhnya tumpang tindih asumsi dan perspektif masyarakat mondial.
Bercermin dari realitas di atas, diperlukan formulasi hukum baru dengan metodologis dan paradigma yang berangkat dari hilir yang berbeda. Karena sarat dengan sosio-kultural yang beragam, maka hukum sebaiknya tumbuh dari realitas sosial dengan menyesuaikan basis ‘masyarakat.’ Pada kajian ini, hukum tidak berangkat secara formil-materil, tetapi lebih menyasar pada analisis-sosiologis. Ada banyak teori, metode dan paradigma yang ditawarkan dalam sosiologi hukum. Hanya saja, dari sekian banyak corak dan pola tersebut, ada satu spot menarik dan pada kenyataannya sesuai dengan fakta lapangan negara Indonesia; kajian empiris. Kajian ini memandang hukum sebagai kenyataan yang mencakup kenyataan sosial, kultur.
Sederhananya, hukum menyesuaikan kenyataan sosial setelah melalui metodologi penelitian sosial, observasi, sebelum data lapangan itu dijelmakan menjadi suatu hukum dan aturan yang berlaku. Bukan sebaliknya. Hukum sebisa mungkin dibawa dalam tataran fakta lapangan untuk melihat, menangkap dan merekam bagaimana seharusnya ‘hukum’ ditegakkan.
Hukum juga perlu diberi ruang untuk maksud studi-studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu sosial dan studi-studi deskriptif itu tampaknya mulai marak dan menunjukkan eksistensinya. Kontras dengan positivisme hukum yang menggunakan pendekatan ilmu eksak sehingga produk yang keluar dari metodologi itu bersifat kaku, sarat data dan nilai serta minim realita masyarakat yang ada.
Sosiologi Hukum memandang bahwa eksistensi hukum dikonsepkan sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam. Maka, hukum adalah institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan bermasyarakat.
Semua itu adalah jawaban atas serampangnya ketimpangan hukum dengan realitas sosial, negara makin mempunyai peran penting dalam melakukan campur tangan aktif dan struktur politik juga mengalami perubahan yang besar. Selain hukum positif yang sarat dengan unsur dogmatis, hal di atas turut menjadi andil munculnya gerakan studi terhadap hukum dengan menggunakan sosiologi hukum sebagai pendekatan.
Artikel Lainnya
-
115319/05/2024
-
372408/05/2021
-
209015/12/2019
-
57704/02/2023
-
Menyoal Kebijakan Anis Baswedan dan Protokol Kesehatan
106713/09/2020 -
Menggali Emosi: Menemukan Makna Sejati Liburan di Tengah Hingar-Bingar Modernisasi
31213/07/2024