Mental Instan, Plagiarisme, dan Aktivitas Berpikir

Di tengah zaman globalisasi ini, mental instan telah menggerogoti masyarakat global pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya di setiap bidang kehidupan.
Salah satu bidang yang telah dihantam badai mental instan ialah bidang pendidikan atau bidang akademik. Ada banyak orang yang tidak mau menempuh jalan yang sulit dan terjal untuk mendapatkan pendidikan dan kemampuan akademik yang baik, tetapi lebih memilih jalur atau cara-cara yang instan. Misalnya, dalam dunia tulis menulis, ada banyak orang yang sudah dirasuki roh kemalasan dan mental instan, sehingga mereka enggan untuk berproses atau bersusah payah mengkreasikan sesuatu lewat tulisan. Akibatnya, mereka cenderung memilih diam dan tidak menghasilkan tulisan apapun, sehingga berujung pada praktik plagiarisme, meskipun hanya untuk tugas sekolah ataupun tugas kuliah.
Baru-baru ini, majalah Tempo edisi 30 Januari 2021 menulis laporan mengenai dugaan swaplagiarisme yang dilakukan oleh Rektor Universitas Sumatera Utara, Muryanto Amin. Swaplagiarisme merupakan tindakan memakai kembali karya sendiri tanpa memberi tahu karya aslinya (Tempo.co, 4 Februari 2021).
Tentunya, ulah rektor itu adalah sesuatu yang aneh dan “menggelikan” hati dan pikiran kita. Sebab, plagiarisme adalah sesuatu yang tidak pantas dan layak dilakukan oleh seorang pimpinan universitas. Dalam hal ini, dia tidak memberikan teladan dan contoh yang baik kepada rekan-rekan dosen dan mahasiswa-mahasiswinya.
Namun, kasus plagiarisme dari sang rektor itu bukan kasus pertama di Indonesia. Plagiarisme sudah terjadi berulang-ulang di Indonesia. Buruknya, plagiarisme itu tidak hanya dilakukan oleh civitas academica dari perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia, tetapi juga dilakukan oleh para pejabat publik. Akibatnya, praktis yang tidak etis ini terus menjamur, bahkan sudah menjadi “habitus” dari para pelajar dan para mahasiswa-mahasiswi Indonesia saat ini.
Plagiarisme itu Memalukan
Pemerintah Indonesia melalui Permendiknas No. 17 tahun 2010 mendefinisikan plagiat sebagai “perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai” (Orong, 2018: 38-39).
Dalam hal tersebut, plagiat bisa dikategorikan sebagai tindakan pencurian terhadap karya orang lain. Sebab, seorang plagiator berusaha mendapatkan sesuatu yang baik dan menguntungkan bagi dirinya sendiri dengan mengambil karya orang lain secara tidak jujur, lalu mengklaim karya itu sebagai karya dan hasil kerja kerasnya sendiri. Pada titik ini, plagiarisme itu sangat memalukan.
Selain itu, menurut Adik Wibowo, dalam artikel berjudul “Mencegah dan Menanggulangi Plagiarisme di Dunia Pendidikan”, tindakan plagiat menjadikan seseorang malas berpikir, tidak berani bertanggung jawab dalam menghadapi tantangan baru. Kecenderungan mencari kemudahan dengan mengambil karya orang lain dan mengakui sebagai karya pribadi menjadikan moral luntur (Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6, 5, April 2012: 196). Di sini, Wibowo secara gamblang menunjukkan kepada kita bahwa plagiarisme berawal dari mental dan budaya malas instan di dalam diri seseorang. Akibatnya, dia enggan untuk berjuang dalam proses untuk menemukan sesuatu yang baru dan bernas dari dirinya sendiri, lalu terjerembab atau terjerumus dalam tindakan amoral seperti “mencaplok” hasil karya dan kerja keras orang lain secara tidak jujur.
Hemat penulis, tindakan amoral semacam itu sejajar dengan tindakan korupsi dan kejahatan-kejahatan lainnya. Sebab, korupsi adalah tindakan mencuri uang rakyat yang dominan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, meskipun ada juga yang secara terang-terangan.
Para koruptor mengambil uang yang bukan milik mereka, melainkan milik rakyat. Pada titik ini, para koruptor mempertontonkan mental instan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan dirinya dengan mengambil begitu saja uang rakyat, tanpa melalui cucuran air mata dan keringat pribadinya untuk memperoleh kekayaan yang diinginkannya. Maka, kita patut mengatakan bahwa korupsi adalah tindakan tidak terpuji dan sangat memalukan. Sama seperti korupsi dan kasus-kasus lainnya, plagiarisme itu juga sangat memalukan.
Stop Plagiarisme!
Sebagai sebuah tindakan yang tidak terpuji, plagiarisme mesti dihentikan. Kita dapat menghentikan atau mengatakan “stop plagiarisme!” dengan mempromosikan, mengembangkan dan memajukan aktivitas berpikir. Dalam hal ini, aktivitas berpikir berguna untuk mengatasi mental instan dan budaya malas.
Menurut Hannah Arendt, sebagaimana dikutip Yosef Keladu Koten dalam buku Etika Keduniawian: Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt, berpikir merupakan jaringan yang paling aman untuk melawan kejahatan yang mengancam dunia modern (Koten: 2018: 170). Salah satu kejahatan yang dapat dilawan atau diatasi oleh aktivitas berpikir ialah plagiarisme. Sebab, aktivitas berpikir menuntut kita untuk melakukan sesuatu dengan semangat kerja keras, bukan mental instan atau budaya malas.
Praksisnya, dalam aktivitas berpikir, kita merefleksikan dan merenungkan segala sesuatu, termasuk merefleksikan dan menerungkan sumber dari tulisan kita. Kita juga merenungkan cara-cara menulis yang baik dan benar seturut aturan-aturan penulisan yang benar. Kita juga merefleksikan tindakan kita sendiri sebelum mengejawantahkan aksi kita itu di dalam tindakan konkret. Di sini, kita akan merenungkan posisi tindakan kita dengan mengajukan pertanyaan: "Apakah tindakan saya bermoral atau malah amoral?". Dengan demikian, kita dapat memilih tindakan yang sepatutnya kita ambil sebagai manusia. Sebaiknya, kita memilih tindakan yang bermoral seperti jujur untuk mengakui karya orang lain maupun karya sendiri dan menjauhkan tindakan amoral seperti plagiarisme terhadap karya sendiri maupun karya orang lain.
Hal ‘merenungkan’dan ‘merefleksikan’ itu termasuk dalam dialog dengan diri sendiri di dalam aktivitas berpikir dan bertindak jujur termasuk dalam pemikiran representatif dalam aktivitas berpikir menurut Arendt (Bdk. Koten, 2018: 172-186). Sebab, dialog dengan diri sendiri berarti kita berbicara dengan diri sendiri untuk menemukan sesuatu yang terdalam di dalam diri kita, termasuk untuk menemukan sesuatu yang baru dan bernas di dalam diri sendiri. Kemudian, dalam pemikiran representatif, kita tetap dan selalu memperhatikan realitas lain di luar diri kita sebelum bertindak karena kita selalu terikat dengan realitas dunia di sekeliling kita.
Dalam konteks ini, kita memikirkan orang yang sudah berkarya dan berjuang setengah mati untuk menghasilkan karyanya. Alhasil, kita tentunya patut menghargai dan menghormati usaha dan perjuangannya dengan tidak melalukan plagiarism, baik sebagian atau seluruh karyanya.
Konkretnya, untuk menghindari plagiarisme yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja, kita perlu belajar sungguh-sungguh untuk menulis dengan menyertakan sumber yang benar. Kita perlu belajar dengan baik cara mengutip, membuat parafrase, dan mencatatkan atau menulis sumber-sumber di dalam karya tulis kita, jika sebagian atau seluruh tulisan kita diambil dari karya orang lain. Kita melatih dan mengasah pikiran kita dengan cara-cara seperti itu, karena cara-cara seperti itu juga bagian dari aktivitas berpikir. Dengan demikian, kita dapat “mengeleminasikan” mental instan dan budaya malas dari kehidupan kita, khususnya dari dunia pendidikan kita saat ini dan di masa-masa yang akan datang.
Artikel Lainnya
-
518530/05/2021
-
173026/07/2020
-
29715/09/2024
-
Teroris Dan Takdir Dalam Pemikiran Fethullah Gulën
182113/04/2021 -
Catatan Redaksi: Kendalikan Covid-19, Optimalkan PSBB
120917/04/2020 -
Sebenarnya Negeri Ini Punya Siapa?
49821/06/2024