Sebenarnya Negeri Ini Punya Siapa?

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Sebenarnya Negeri Ini Punya Siapa? 21/06/2024 157 view Lainnya TribunMedan.com

Ketika kita berbicara tentang Indonesia, seringkali muncul pertanyaan: "Sebenarnya negeri ini punya siapa?" Pertanyaan ini mencerminkan kekecewaan banyak orang terhadap kondisi negara saat ini, di mana pemerintah tampaknya sudah tidak lagi mementingkan rakyat. Bukannya fokus pada kesejahteraan rakyat, kebijakan publik sering kali terlihat lebih menguntungkan segelintir elit dan korporasi besar. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi dengan negeri kita ini?

Saat Indonesia merdeka pada tahun 1945, cita-cita pendiri bangsa sangat jelas: membangun sebuah negara yang adil, makmur, dan sejahtera untuk semua warganya. Namun, realitas yang kita lihat saat ini sering kali jauh dari harapan tersebut. Banyak kebijakan publik yang diambil pemerintah tampaknya lebih menguntungkan pihak tertentu daripada kepentingan umum. Robert Reich dalam bukunya "The System: Who Rigged It, How We Fix It" menjelaskan bahwa ketika kebijakan publik lebih berpihak pada elit ekonomi, ketimpangan sosial dan ekonomi semakin menganga, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun menurun.

Salah satu contoh nyata dari ketidakadilan ini adalah pengelolaan sumber daya alam. Indonesia kaya akan sumber daya alam seperti minyak, gas, dan mineral. Namun, siapa yang sebenarnya menikmati hasil dari kekayaan ini? Banyak dari hasil eksploitasi sumber daya alam ini dikuasai oleh perusahaan besar, baik lokal maupun asing. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di sekitar area eksploitasi sering kali tidak merasakan manfaatnya. Mereka justru harus menanggung dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian.

Menurut James C. Scott dalam "Seeing Like a State," pemerintah sering kali membuat kebijakan berdasarkan pandangan dari atas (top-down) tanpa mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan lokal. Akibatnya, kebijakan tersebut tidak efektif dan bahkan merugikan masyarakat. Contoh nyata dari hal ini adalah kebijakan pertanian dan pengelolaan hutan yang sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan petani kecil. Mereka yang seharusnya menjadi prioritas justru kerap kali termarjinalkan.

Di sektor pendidikan dan kesehatan, kondisi serupa juga terjadi. Pendidikan dan kesehatan seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara. Namun, kenyataannya masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak dan akses terhadap layanan kesehatan yang memadai. Martha Nussbaum dalam "Creating Capabilities" menekankan bahwa pembangunan yang berkelanjutan harus mampu meningkatkan kemampuan dasar setiap individu, termasuk pendidikan dan kesehatan. Namun, kebijakan yang ada sering kali tidak berpihak pada rakyat kecil.

Ketidakadilan ini semakin diperparah dengan adanya korupsi yang merajalela. Korupsi telah menjadi kanker dalam tubuh birokrasi Indonesia. Francis Fukuyama dalam "Political Order and Political Decay" menjelaskan bahwa korupsi menghambat pembangunan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Korupsi menyebabkan kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat justru menjadi alat untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok tertentu.

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan untuk mengubah keadaan ini? Pertama, pemerintah harus kembali ke esensi dari kebijakan publik yaitu untuk kepentingan rakyat. Robert Dahl dalam "Polyarchy: Participation and Opposition" menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Partisipasi ini tidak hanya sebatas formalitas, tetapi harus benar-benar melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pembuatan kebijakan. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan akan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Kedua, transparansi dan akuntabilitas harus diperkuat. Pemerintah harus terbuka dalam proses pembuatan kebijakan dan penggunaan anggaran. Ini bisa dilakukan dengan memperkuat mekanisme pengawasan baik oleh lembaga negara maupun masyarakat sipil. Samuel Huntington dalam "The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century" menekankan pentingnya institusi yang kuat dan transparan untuk memastikan demokrasi yang sehat dan berfungsi dengan baik.

Ketiga, pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat. Untuk itu, penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu harus diterapkan. Alexis de Tocqueville dalam "Democracy in America" menjelaskan bahwa keadilan adalah pilar utama dalam menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tanpa keadilan, demokrasi hanya akan menjadi slogan kosong.

Keempat, pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan harus menjadi fokus utama. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan pembangunan tidak hanya menguntungkan segelintir orang tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. James C. Scott dalam "Seeing Like a State" menekankan pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dalam pembuatan kebijakan. Ini berarti melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat adat, petani, dan kelompok marjinal lainnya.

Pemerintah juga harus berani melakukan reformasi struktural dalam berbagai sektor. Reformasi agraria, misalnya, sangat penting untuk memastikan bahwa tanah sebagai sumber daya vital dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya dikuasai oleh korporasi besar. Reforma agraria yang adil akan memberikan akses tanah kepada petani kecil dan masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan. Martha Nussbaum dalam "Creating Capabilities" menekankan bahwa akses terhadap sumber daya penting seperti tanah adalah salah satu elemen kunci dalam meningkatkan kemampuan dasar dan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, reformasi di sektor pendidikan dan kesehatan juga harus menjadi prioritas. Pendidikan yang berkualitas dan layanan kesehatan yang terjangkau adalah hak dasar setiap warga negara. Pemerintah harus memastikan bahwa anggaran yang cukup dialokasikan untuk sektor-sektor ini dan bahwa layanan tersebut benar-benar dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.

Untuk mewujudkan reformasi tersebut, kemauan politik yang kuat sangat diperlukan. Pemerintah harus berani mengambil langkah-langkah yang mungkin tidak populer tetapi penting untuk jangka panjang. Samuel Huntington dalam "The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century" mengingatkan bahwa reformasi besar sering kali membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan visioner yang berani menghadapi tantangan.

Terakhir, masyarakat juga harus lebih aktif dan kritis dalam mengawal kebijakan publik. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat. Masyarakat harus berani menyuarakan ketidakadilan dan menuntut akuntabilitas dari pemerintah. Robert Dahl dalam "Polyarchy: Participation and Opposition" menekankan bahwa partisipasi aktif dari masyarakat adalah kunci untuk memastikan bahwa kebijakan publik benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat.

Pada akhirnya, pertanyaan "Sebenarnya negeri ini punya siapa?" harus dijawab dengan tindakan nyata. Pemerintah harus kembali ke prinsip dasar bahwa kekuasaan mereka berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Kebijakan publik harus kembali difokuskan pada kesejahteraan rakyat dan bukan hanya untuk keuntungan segelintir elit. Hanya dengan demikian, Indonesia bisa menjadi negeri yang benar-benar dimiliki oleh seluruh rakyatnya dan bukan hanya oleh segelintir orang.

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang makmur dan sejahtera. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah dan partisipasi aktif dari masyarakat. Dengan bekerja bersama-sama, kita bisa mengubah arah dan memastikan bahwa kebijakan publik benar-benar mencerminkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Hanya dengan demikian, kita bisa mewujudkan cita-cita bersama untuk membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, dan sejahtera.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya