Menjaga Konsumen Indonesia di Tengah Arus Perdagangan Elektronik ASEAN

Sejak Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diresmikan pada 2015, geliat ekonomi kawasan meningkat tajam, terutama dalam sektor perdagangan dan jasa. Salah satu dampak paling mencolok dari integrasi ini adalah menjamurnya perdagangan melalui sistem elektronik, yang kini menjadi saluran utama transaksi lintas negara. Konsumen Indonesia menjadi salah satu kelompok paling aktif dalam lanskap ini, baik sebagai pembeli maupun pengguna layanan digital.
Namun, di balik geliat pertumbuhan ini, terdapat pekerjaan rumah yang belum tuntas. Regulasi yang melindungi konsumen dalam transaksi digital lintas negara masih belum solid. Konsumen Indonesia sering kali menjadi pihak yang lemah ketika menghadapi sengketa dengan pelaku usaha asing, terutama yang berbasis di sesama negara anggota ASEAN.
MEA dibangun dengan semangat membuka pasar dan menghapus hambatan perdagangan di antara negara-negara Asia Tenggara. Ini berarti, produk dari Malaysia, Vietnam, atau Thailand bisa masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai tarif bea masuk, termasuk melalui platform digital seperti Shopee, TikTok Shop, atau Lazada.
Di satu sisi, hal ini menciptakan peluang ekonomi. UMKM lokal bisa memperluas pasar ke luar negeri tanpa harus membangun toko fisik. Di sisi lain, arus barang dan jasa digital dari luar negeri juga masuk ke Indonesia dengan sangat masif. Konsumen disuguhkan banyak pilihan, tetapi sering kali tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai ketika terjadi masalah.
Persoalan utama terletak pada tidak sinkronnya regulasi antarnegara ASEAN. Indonesia, misalnya, memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE) yang mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha serta konsumen. Namun, peraturan ini bersifat nasional dan tidak berlaku terhadap pelaku usaha asing yang tidak memiliki kehadiran hukum di Indonesia.
Sebaliknya, negara lain seperti Singapura atau Thailand bisa memiliki kerangka perlindungan konsumen digital yang berbeda. Akibatnya, konsumen Indonesia yang merasa dirugikan karena transaksi lintas batas kesulitan mencari keadilan. Tidak ada mekanisme regional yang bisa dijadikan rujukan untuk menyelesaikan sengketa semacam ini secara efektif.
Implikasi Terhadap Konsumen
Ketika produk yang dipesan dari luar negeri tidak sesuai, rusak, atau tidak dikirim sama sekali, konsumen lokal menghadapi jalan terjal. Tak jarang konsumen tak tahu harus mengadu ke mana. Jika pengaduan disampaikan ke platform, responsnya lamban atau prosedurnya rumit. Jika ke pihak berwenang di dalam negeri, kewenangannya terbatas karena pelaku usaha berada di luar yurisdiksi Indonesia.
Dalam konteks ini, konsumen seolah berhadapan dengan ruang tanpa perlindungan. Penguatan regulasi domestik tentu penting, tetapi tidak cukup. Diperlukan upaya diplomasi hukum di tingkat ASEAN agar terbentuk kesepahaman dan standar minimum perlindungan konsumen lintas negara.
ASEAN sebenarnya telah mengambil beberapa langkah. ASEAN Strategic Action Plan on Consumer Protection (ASAPCP) dan ASEAN Agreement on Electronic Commerce telah disepakati. Namun, kedua instrumen ini masih bersifat kerangka kerja (framework), belum menjadi norma yang mengikat secara langsung. Implementasinya pun masih sangat bergantung pada masing-masing negara anggota.
Revisi dan Harmonisasi
Indonesia harus mengambil peran lebih aktif dalam mendorong harmonisasi perlindungan konsumen di kawasan. Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi sangat penting. UU ini disusun pada masa internet masih dalam tahap awal. Isu-isu seperti transaksi digital, penyalahgunaan data pribadi, hingga kewajiban pelaku usaha asing belum terakomodasi secara eksplisit.
Revisi harus memuat pasal-pasal tentang perdagangan digital lintas negara, termasuk perlindungan terhadap praktik bisnis yang tidak adil, keharusan pelaku usaha asing menunjuk perwakilan hukum di Indonesia, serta mekanisme penyelesaian sengketa secara daring (online dispute resolution). Langkah ini akan memberikan kepastian hukum bagi konsumen sekaligus memperkuat kedaulatan digital Indonesia.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong ASEAN untuk membentuk mekanisme regional penyelesaian sengketa konsumen, semacam ASEAN Consumer Redress Platform. Di era keterhubungan digital, penyelesaian hukum juga perlu melampaui batas-batas negara.
Di tengah keterbatasan hukum, literasi konsumen menjadi pertahanan awal. Banyak konsumen yang belum memahami hak-haknya, cara bertransaksi aman di platform digital, atau risiko membeli produk dari luar negeri. Pemerintah dan pelaku usaha harus memperluas kampanye literasi digital, tidak hanya menyasar generasi muda, tetapi juga kelompok rentan seperti masyarakat di daerah terpencil.
Platform digital juga punya tanggung jawab sosial untuk memberikan informasi yang jelas dan akurat, serta membuka jalur penyelesaian pengaduan yang transparan dan efisien. MEA tidak boleh hanya menjadi proyek integrasi ekonomi yang menguntungkan pelaku usaha besar. Ia juga harus menjadi ruang keadilan baru bagi konsumen lintas negara. ASEAN membutuhkan komitmen politik yang lebih kuat untuk membangun sistem hukum yang saling terhubung. Jika perdagangan lintas negara bisa dilakukan dalam hitungan detik, seharusnya perlindungan hukumnya juga bisa diakses dengan mudah.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar di kawasan dan pengguna internet terbanyak kedua setelah Vietnam, punya posisi tawar yang kuat untuk memimpin inisiatif ini. Keadilan bagi konsumen adalah bagian dari wajah demokrasi ekonomi yang sejati.
Artikel Lainnya
-
141903/01/2023
-
51503/10/2025
-
153318/10/2020
-
Bahagia yang Tercipta di Balik Program Ikoy-ikoyan
82310/08/2021 -
Lahan Basah Bukan Sekadar Rawa
14501/03/2025 -
Kasus Korupsi Edhy Prabowo dan Penantian Kado Lain dari KPK
171802/12/2020