Kasus Korupsi Edhy Prabowo dan Penantian Kado Lain dari KPK
Membicarakan kasus korupsi di Indonesia maka tidak pernah jauh dengan yang namanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lembaga yang didirikan pada tahun 2002 ini menjadi salah satu dari tiga lembaga yang menangani persoalan korupsi di Indonesia. Pembentukan lembaga KPK sendiri pada dasarnya dikarenakan adanya semangat pemberantasan korupsi di bumi pertiwi, tingginya kasus korupsi pada masa sebelum dibentuknya KPK, serta menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani persoalan korupsi di Indonesia.
Sudah 18 tahun sejak KPK didirikan pada masa-masa awal setelah reformasi. Dengan membawa semangat reformasi, lembaga ini menjadi harapan bangsa dalam memusnahkan berbagai praktek korupsi. Sudah begitu banyak kasus korupsi ditangani oleh KPK, dan para koruptor yang mengenyangkan perut pribadi dengan uang rakyat, sudah diamankan di balik jeruji impian mereka.
Terbaru, seorang Menteri yang juga seorang politikus Partai Gerindra, Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka setelah sebelumnya ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu, 25 November 2020.
Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT), dengan dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020, (Kompas.com, 25/11/2020).
Berita penangkapan Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra oleh KPK mendapat banyak respon, baik dari masyarakat, politikus, maupun dari anggota kabinet Indonesia Maju, termasuk dari Presiden Jokowi sendiri. Masyarakat mengapresiasi langkah hebat yang dibuat oleh KPK dan menyayangkan tindakan sang menteri.
Menangkap koruptor yang oleh masyarakat dijuluki koruptor kelas kakap memang memiliki kerumitan yang tinggi. Hal ini dikarenakan biasanya jumlah uang yang dikorupsi besar, caranya sistematis, serta pelakunya adalah orang ternama dan memiliki banyak koneksi. Perlu kehati-hatian dan tindak profesionalitas dari anggota KPK ketika ingin menjalankan tugasnya terutama pada kelompok orang semacam pak Edhy.
Para politikus terutama oposisi dari Partai Gerindra menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk menjatuhkan citra Partai Gerindra. Seperti yang kita ketahui bersama, selepas pesta demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 lalu, Partai Gerindra yang merupakan lawan politik pada kontes pemilu tersebut membuka diri untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Kerja.
Merapatnya Partai Gerindra ke kubu pemerintah memang memiliki beberapa maksud. Selain bertujuan untuk bersama membangun Indonesia dan menstabilkan situasi politik, ada agenda yang hemat penulis sedang disiapkan oleh Partai Gerindra. Partai Gerindra nampaknya berusaha membangun citra politik dalam rangka mempersiapkan diri menuju pertarungan 2024.
Karena adanya niatan ini, lawan politik Partai Gerindra memanfaatkan situasi ini untuk menurunkan citra partai karena seperti yang terlihat saat ini, Partai Gerindra menjadi partai yang sangat berpengaruh di samping Partai PDI Perjuangan. Di lain sisi Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan menjadi kandidat kuat untuk menduduki kursi RI 1 pada 2024.
Tanggapan terhadap kasus korupsi Menteri Kelauatan dan Perikanan juga diberikan oleh Presiden Jokowi. Seperti yang dilansir dari Liputan6.com, Jokowi mengatakan bahwa "Ya tentu kita menghormati proses hukum yang tengah berjalan di KPK. Saya percaya KPK bekerja transparan, terbuka, professional. pemerintah konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.”
Penangkapan koruptor kelas kakap seperti ini akan selalu menghadirkan kehebohan tersendri di negeri ini. Apalagi penangkapan koruptor kelas kakap ini dilakukan oleh lembaga KPK yang selama ini oleh publik dinilai kalah jauh dari Kepolisisan dan Kejaksaan. Penangkapan koruptor oleh KPK selama ini memang cenderung digolongkan ke dalam kasus kelas teri, bahkan banyak yang menilai KPK hanya mampu menangkap koruptor setingkat bupati dan tidak mampu menangkap koruptor kelas atas.
Masih membekas dalam ingatan kita bagaimana revisi UU KPK pada 2019 lalu mendapat penolakan keras dari berbagai pihak. Berbagai pihak menilai UU KPK No 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak akan menguatkan KPK dan justru akan melemahkan KPK.
Pada 17 Oktober 2020 lalu, UU KPK No 19 Tahun 2019 genap berusia satu tahun. Media Tempo dalam sebuah berita memuat tentang pendapat mantan Komisioner KPK Muhammad Jasin, tentang penerapan UU KPK No 19 Tahun 2019. Muhammad Jasin menilai UU baru tersebut membuat upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga KPK itu menjadi tidak efektif. Ia juga berpendapat bahwa Dewan Pengawas membuat proses administrasi menjadi berbelit dan penanganan kasus korupsi menjadi tumpul, (Tempo.co, Sabtu 17 Oktober 2020).
OTT terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan menjadi pembuktian nyata yang dibuat KPK dan menepis segala tuduhan negatif yang dilayangkan kepada lembaga ini. Keraguan yang ada di dalam hati publik kini sedikit terbayar. Tentu saja kita perlu menanti pembuktian lain dari KPK untuk menunjukan jadi dirinya sebagai lembaga yang kuat dan mampu melawan dan memusnahkan korupsi.
Pembuktian itu akan kita tunggu dalam kado-kado lainnya dan dalam kelas yang kakap bukan hanya kelas teri. Banyak kasus yang masih tertutup rapat, pelakunya juga ada yang sedang bersembunyi. Mereka harus segera ditangkap dan diproses seperti yang diingatkan oleh Pak Fadli Zon, semoga bisa temukan Pak Harun Masiku yang masih hilang seperti ditelan bumi.
Kami sebagai warga negara menitipkan harapan kami kepada lembaga KPK, semoga harapan kami dibalas dengan kado-kado manis.
Artikel Lainnya
-
94531/08/2020
-
233401/04/2022
-
44414/06/2024
-
Dear Negara, Yang Kalian Lakukan Itu Jahat!
156131/10/2020 -
Makna Ideologis Habib Rizieq dalam Tinjauan Historis Indonesia
142120/11/2020 -
Tukang Becak dan Nasibnya di Tengah Kemelut Perkotaan
218224/07/2020