Antinomi Hukum Menurut Gustav Radbruch Dalam Kasus Munir

Berbicara soal keadilan tentunya suatu hal yang tidak ada habisnya, bagaimana tidak karena keadilan merupakan barang abstrak yang tidak dapat dikonkritkan dalam ukuran yang pasti, ukuran sebuah keadilan menurut setiap orang akan berbeda-beda, perbedaan ukuran ini dipengaruhi oleh latar belakang setiap orang, nilai atau keyakinan, budaya atau tradisi, dan kepentingan pribadi atau politik.
Jadi bagaimana kita akan mengkonsepkan suatu nilai keadilan tersebut?? Gustav Radbruch seorang filsuf hukum asal Jerman mengemukakan bahwa hukum punya tiga tujuan penting yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Tiga hal tersebut seringkali bertentangan dan tidak bisa dipenuhi secara bersama dan maksimal serta memaksa nilai lain dikorbankan, hal ini oleh Gustav Radbruch disebut dengan antinomi hukum.
Nilai pertama adalah keadilan. Hukum harus berlaku adil bagi setiap orang, memberikan perlakuan yang sama untuk kasus yang sama. Nilai kedua adalah kepastian hukum. Hukum harus jelas, tegas, dan dapat diprediksi sehingga masyarakat tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Nilai ketiga adalah kemanfaatan. Hukum harus memberi manfaat dan melayani kepentingan masyarakat.
Pengalaman pahit Radbruch hidup di masa Nazi Jerman membuatnya merumuskan sebuah formula. Formula Radbruch menyatakan bahwa pada prinsipnya, kepastian hukum memang harus diutamakan. Hukum yang sudah ada harus diikuti agar ada keteraturan dalam masyarakat. Akan tetapi, ada pengecualian penting. Ketika sebuah hukum positif sangat tidak adil atau melanggar hak asasi manusia secara fundamental, maka keadilan harus diutamakan di atas kepastian hukum. Hukum yang sangat jahat pada dasarnya bukanlah hukum sama sekali.
Bagaimana Dalam Kasus Munir
Munir Said Thalib atau dikenal luas dengan nama munir adalah seorang aktivis yang dikenal kerana melantangkan suaranya dalam membela korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), mulai dari penculikan aktivis 1998, kerusuhan Mei 1998, hingga kasus Tanjung Priok. Munir juga seorang yang mengkritik keras tindakan aparat keamanan, khususnya praktik penyiksaan. penghilangan paksa juga pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian ataupun militer.
Namun, kelantangan suara itu bungkam saat Munir melakukan perjalanan ke Amsterdam untuk melanjutkan studinya, Munir saat itu menumpang pesawat Garuda Indonesia dengan rute penerbangan Jakarta-Singapura-Amsterdam, namun nahas sebelum Munir tiba di Amsterdam, Munir dinyatakan meninggal di udara 2 jam sebelum pesawat tiba, hasil autopsi menunjukkan bahwa Munir diracun menggunakan arsenik dalam jumlah mematikan.
Pilot Garuda Indonesia saat itu, Pollycarpus Budihan Priyanto ditetapkan menjadi tersangka dengan dugaan pembunuhan berencana, namun adapun fakta di persidangan menyebut adanya keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pembunuhan ini, hal itu terungkap setelah adanya temuan riwayat kontak telepon antara Pollycarpus dan Muchdi (tokoh BIN), sebelum dan sesudah Munir tewas. Nama seperti AM Hendropriyono terseret dalam kasus ini.
Lantas apakah hukum sudah diterapkan secara tepat pada kasus ini!!, seperti dalam antinomi hukum yang pernah dijelaskan oleh Gustav Radbruch, melihat dari perspektif korban bahwa kepastian hukum masih meraba, meskipun Pollycarpus dijatuhi hukuman karena terbukti terlibat namun dalang utamanya hingga kini belum terungkap, apakah ada hal yang ditutup-tutupi dalam kasus ini ataukah permainan politik dibaliknya?.
Nilai keadilan tercoreng dalam kasus Munir, karena korban kehilangan nyawa tetapi kebenaran penuh akan kasus ini tidak diungkap, nilai kemanfaatan yang dapat bersama kita ambil antara lain sebagai pemicu semangat akan penegakan HAM yang lebih ketat dan kuat terutama kepada aktivis yang menyuarakan suara rakyat.
Bagaimana jika dilihat dari perspektif pelaku, apakah sudah sepantasnya? Kepastian hukum yang didapat oleh pelaku adalah lemah dan tidak konsisten. Fakta itu dapat terlihat di pengadilan karena putusan pengadilan beberapa kali berubah: bebas → dihukum → grasi. Nilai keadilan dalam perspektif pelaku juga tidak sepenuhnya tercapai, bahwasanya pelaku hanya menjadi kambing hitam sementara aktor intelektualnya tidak diadili. Perlu diketahui Pollycarpus didakwa karena pemalsuan surat penerbangan, karena dia hanya terbukti memalsukan dokumen. Dalam hal kemanfaatan hukum lebih banyak dipakai untuk menutupi kasus ketimbang mencari kebenaran sejati, hukum hanya dipakai untuk meredam tekanan publik.
Dapat di ketahui bersama bahwa adanya ketidakberesan hukum dalam kasus ini, meskipun sudah ada tersangka, tetapi banyak sekali benang merah yang perlu ditelusuri, apakah ini merupakan ketakutan hukum untuk memeriksa orang-orang tersebut, atau memang sudah adanya skenario yang dipersiapkan sebelumnya, agar mudah berkelit nantinya di persidangan.
Artikel Lainnya
-
131525/12/2020
-
110429/07/2025
-
33002/11/2024
-
Menyoal Polemik Keperawanan Seorang Atlet
149430/11/2019 -
Remaja dan Fenomena Friend With Benefits
38910/08/2024 -
Menuju Pendidikan Erat Kehidupan
88430/01/2022