Menilisik Indekost Perjam di Kota Tasik dan Urgensitas Revitalisasi Perda

Legal Content Writer, Kontributor Lepas, Pemerhati Hukum dan Alumni S1 Hukum Universitas Galuh
Menilisik Indekost Perjam di Kota Tasik dan Urgensitas Revitalisasi Perda 27/05/2023 379 view Hukum Pixabay

Sejatinya eksistensi dari kamar indekost sedari awal memang diciptakan dan diperuntukan sebagai sarana tempat tinggal sementara yang kebanyakan dihuni atau didominasi oleh para pekerja, karyawan swasta hingga mahasiswa. Tak terlalu berbeda dengan kontrakan konvensional, kamar indekost memiliki fasilitas yang beragam ditawarkan. Apabila ditinjau dari segi biaya sewanya pun mayoritas relatif jauh lebih tinggi ketimbang kamar kontrakan pada umumnya.

Senada dengan hal tersebut belakangan muncul keberadaan jasa penyewaan kamar indekost perjam khususnya di wilayah Tasikmalaya yang mulai tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Kondisi demikian dapat dibuktikan dari maraknya postingan yang melintas di linimasa sosial media menyangkut penawaran ketersediaan indekost perjam tersebut. Adapun kisaran harga sewa kamar yang ditawarkan rata-rata dipatok dengan tarif yang relatif terjangkau yaitu berkisar antara Rp. 25.000 – Rp. 50.000/ jam.

Secara pragmatis, keberadaan penyewaan kamar indekost perjam ini di satu sisi sangat menguntungkan dan menjadi solusi bagi para pendatang yang terdesak untuk mendapatkan penginapan dengan cara yang cepat dan terjangkau. Namun di satu sisi yang lain keberadaan layanan jasa ini justru memiliki tendensi dan potensi menjadi ruang gerak baru transaksi prostitusi. Dalam bahasa pergaulannya, indekost seperti ini kerap diidentifikasikan sebagai indekost “Las Vegas”.

Hipotesa dan indikasi ini tentu bukan spekulasi tak mendasar tanpa data ataupun bersifat menggeneralisir belaka. Terbukti dari beberapa laporan yang juga telah dipublikasikan oleh sebagian banyak media lokal bahwa kamar-kamar indekost marak menjadi sasaran razia Satpol PP. Jadi tak dapat disanggah lagi bahwa penyalahgunaan kamar indekost untuk hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan, kesopanan maupun norma keagamaan masih menjadi wabah yang sulit dikendalikan karena kompleksitasnya. Sangat mengkhawatirkan apabila situasi ini dalam jangka waktu yang panjang akan menyerang “generasi muda tanggung” yang masih mencari entitas dan jati diri hidupnya. Jika ditelisik seberapa urgensitasnya permasalahan ini tentu sangat urgen dan mendesak.

Kerja Pengawasan

Perdebatan mengenai sejauh mana kewenangan aparat penegak hukum dalam mengintervensi ruang privat dalam permasalahan ini tentu tak bisa dikesampingkan. Kendati pro dan kontra mengenai maraknya tindakan penggerebekan tempat penginapan masih menjadi bahan diskursus alot di antara banyak kalangan. Tidak terlepas dari dilematika ini kita meyakini bahwa hanya ada satu hal yang diperlukan untuk mengurai problem tersebut tidak hanya bertitik tolak pada upaya penindakan atau represifitas semata, tetapi juga peran dan upaya pembenahan maupun pencegahan yang semestinya saat ini menjadi prioritas utama untuk dilakukan.

Kelirunya, orientasi penegakan hukum kita acapkali mempergunakan paradigma dan pendekatan lama seperti upaya represif yang sama sekali tak efektif. Sedangkan hulu dari semua permasalahan yang terjadi ialah karena minimnya pengawasan, bukan penindakan. Tidak adanya kontrol, begitu faktanya. Surplus penindakan yang dilakukan pada kenyataannya tidak menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.

Perlu diperhatikan dan dipahami juga bahwa peran pengawasan di sini bukan berarti berupaya untuk menghambat laju perekonomian para pemilik indekost. Tetapi yang perlu ditekankan di sini ialah rasa imperatif, peran aktif dan kooperatif dari para pemilik penginapan untuk senantiasa mengkurasi atau memfilter para penginap diimbangi dengan peraturan internal indekost yang dapat meminimalisir potensi-potensi yang tidak diinginkan terjadi. Terkadang sinergitas inilah yang kita perlukan saat ini: kebersamaan dalam menyamakan persepsi di antara aparat penegak hukum, pemerintah daerah, pemilik indekost dan masyarakat sekitar.

Sebagai solusi alternatif bagi para pemangku kebijakan maupun para penegak hukum yang memiliki yurisdiksi dalam kasus ini sudah saatnya merubah atau menambah strategi dalam melakukan pendekatan. Tentunya jangan bersifat pasif hanya menunggu aduan dari masyarakat atau hanya bertindak pada momen-momen tertentu saja, tetapi harus ada inisiatif yang lebih progresif dari internal pemerintah daerah yang wajib dioptimalkan. Pasalnya, sebagian besar akar dan sumber aktivitas ini bermuara dari dunia maya (read: sosial media) yang mereka manfaatkan sebagai sarana. Implikasi dari proses transformasi aktivitas publik tersebut salah satunya tidak lain mudahnya mengakses segala macam bentuk informasi dan traksaksi. Situasi ini dapat diasumsikan sebagai gejala awal bermulanya setiap modus pelanggaran hukum yang memanfaatkan sarana teknologi dan informasi.

Re-inventing Perda

Ditinjau dari aspek yuridis, sebenarnya kota Tasikmalaya sudah sejak lama memiliki seperangkat hukum khusus berupa Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 11 Tahun 2009 tentang Ketertiban Umum yang mengatur terkait dengan permasalahan ini. Dapat dilihat dalam Pasal 18 huruf b dan Pasal 25 huruf e Perda a quo. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama mendirikan, mengusahakan, menyediakan tempat, fasilitas dan/atau orang untuk prostitusi. Lebih jauh, setiap penyelenggara rumah pondokan, dilarang menyelenggarakan rumah pondokan yang dihuni oleh pemondok yang berbeda jenis kelamin dalam satu bangunan (vide Pasal 37 Ayat (1) Perda Kota Tasikmalaya Nomor 11 Tahun 2009). Jadi sangat jelas apabila dikonklusikan bahwa ketentuan Perda ini tidak hanya mengatur pengunjung/penginap saja, melainkan mengikat juga bagi para pemiliknya. Konsekuensi daripada dilanggarnya ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 50 diancam sanksi pidana kurungan paling lama 3 bulan/ denda 7 juta 500 ribu dan bagi pemiliknya diancam 2 bulan pidana kurungan/ denda 10 juta.

Keberadaan Perda ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi “antitoxin” untuk mendetoksifikasi terhadap penyebaran penyakit masyarakat yang menyerang sistem imunitas kota Tasikmalaya sebagai kota santri. Maka sangat tepat untuk mempertanyakan kembali: apakah resep yang selama ini ditawarkan dengan metode pendekatan yang dilakukan sudah memberikan kesembuhan? Butuh berapa tahun lagi untuk menunggu Perda ini khususnya pada bagian yang mengatur perihal aktivitas prostitusi memberikan dampak yang signifikan? Sedangkan pada faktanya sangat disayangkan apabila substansi perda ini kontra-produktif dengan realitas yang terjadi di lapangan. Ada kesenjangan antara das sollen dengan das sein. Alhasil, aturan ini bak mati suri tanpa implementasi yang pasti. Maka patut juga mempertanyakan seberapa jauh efektivitas penerapan perda ini setelah hampir 11 tahun pasca disahkan.

Adanya semangat desentralisasi melalui otonomi daerah semestinya tidak sebatas dimaknai secara teknis yang hanya mengatur urusan rumah tangga sendiri, melainkan juga sebagai momentum yang pas untuk merevitalisasi identitas yang otentik sebagai daerah yang memegang teguh pada nilai-nilai religiusitas. Dalam realitasnya, hukum selalu tertinggal beberapa langkah dari kondisi masyarakat yang bergerak kian dinamis. Ketidakmampuan hukum maupun perangkatnya untuk beradaptasi dengan proses transformasi dan disrupsi menjadi salah satu faktor elementer sulitnya mencapai tujuan hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat (law as a tool of social engineering) sebagaimana yang dikemukakan oleh Roscoe Pound.

Dengan mempergunakan konsep Pound dalam menyaksikan orkestrasi permasalahan ini kita dapat memaknai bahwa Perda ini jangan sampai dipersempit pemaknaannya hanya sebatas pada aturan tertulis semata, melainkan keluar dari ruang itu bahwa Perda harus dilihat secara efek dan cara kerjanya. Karena ketimpangan-ketimpangan struktur sosial perlu ditata ulang dalam pola keseimbangan yang proposional yang salah satunya perlindungan bagi masyarakat terhadap merosotnya moral akibat praktik perjudian, korupsi maupun transaksi-transaksi yang bertentangan dengan kesusilaan. Dengan mempertimbangkan aspek sosio-legal guna me-re-inventing dan merevitalisasi Perda ini maka sudah tidak ada lagi alasan bagi para pemangku kepentingan untuk segera melebur (read: beradaptasi) dan terjun langsung dalam ekosistem digital dewasa ini.

Hemat kata, penulis harap jangan sampai penobatan, identifikasi dan karakteristik kota religius dengan masyarakat yang bersandar pada nilai-nilai spritualitas yang tinggi yang telah lama dipertahankan justru terdegradasi oleh sikap-sikap penuh abai dari kita yang seolah membiarkan, bahkan menormalkan kebiasan dan trend semacam ini terjadi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya