Menghapus Batas Usia Kerja Akhir Dari Normalisasi Diskriminasi Dalam Rekrutmen?
Wacana penghapusan batas usia dalam lowongan kerja yang diusulkan Menteri Ketenagakerjaan Prof. Yassierli memantik diskusi hangat di tengah masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini dinilai progresif dan membela kelompok pekerja usia dewasa yang kerap terpinggirkan. Di sisi lain, muncul kekhawatiran soal efektivitas dan kesiapan sektor industri dalam mengakomodasi perubahan ini.
Diskriminasi usia dalam iklan lowongan kerja bukan hal baru di Indonesia. Frasa seperti “usia maksimal 27 tahun” atau “maksimal 30 tahun” kerap muncul dalam syarat rekrutmen, bahkan untuk pekerjaan yang secara logis tidak menuntut kapasitas fisik tinggi. Ini menjadi penghalang bagi banyak individu yang sebenarnya masih berada dalam usia produktif dan memiliki kompetensi memadai.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, jumlah penganggur meningkat dari 7,20 juta menjadi 7,28 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurun dari 4,82% menjadi 4,76%, peningkatan jumlah penganggur secara absolut menunjukkan bahwa pertumbuhan angkatan kerja tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja yang memadai.
Kebijakan serupa telah diterapkan di berbagai negara maju. Amerika Serikat, sejak 1967, memiliki Age Discrimination in Employment Act (ADEA) yang melindungi pekerja berusia 40 tahun ke atas dari diskriminasi dalam proses rekrutmen dan pemutusan hubungan kerja. Di Australia, Age Discrimination Act 2004 bahkan melarang perusahaan mencantumkan batas usia dalam iklan kerja, kecuali dalam situasi dengan tuntutan fisik ekstrem. Sedangkan menurut studi di Inggris mengungkap bahwa sekitar 33% individu berusia 52 tahun ke atas mengalami diskriminasi usia. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada regulasi, praktik diskriminasi masih perlu perhatian serius.
Potensi Manfaat dan Resiko bagi Indonesia
Manfaat bagi Bangsa jika rencana ini benar-benar direalisasikan, Indonesia berpotensi memanen manfaat besar. Pertama, meningkatnya partisipasi angkatan kerja dari kelompok usia dewasa akan membantu menekan angka pengangguran. Kedua, pemanfaatan tenaga kerja senior dapat mendukung produktivitas nasional melalui transfer ilmu dan pengalaman. Ketiga, citra Indonesia sebagai negara demokratis yang menghormati hak asasi manusia akan semakin kuat di mata dunia.
Studi (Amelia at al., 2024) menegaskan bahwa batas usia kerja tidak hanya menurunkan angka pelamar, tetapi juga merugikan kelompok perempuan dan pekerja kontrak. Di sisi lain, jurnal dari (Umar et al. 2024) menyebut bahwa pembatasan usia adalah bentuk pelanggaran hak atas pekerjaan yang layak. Maka, kebijakan ini bukan sekadar administratif, melainkan langkah menuju keadilan struktural.
Namun, tak ada kebijakan tanpa celah. Penghapusan batas usia juga membawa potensi masalah jika tidak dibarengi dengan strategi yang matang. Di antaranya adalah meningkatnya kekhawatiran dari dunia usaha akan efisiensi biaya, karena pekerja berusia lebih tua sering diasosiasikan dengan upah tinggi dan biaya kesehatan yang besar. Selain itu, kemampuan adaptasi terhadap teknologi baru masih menjadi sorotan, meski hal ini sangat tergantung pada individu, bukan semata usia. Tidak bisa dimungkiri bahwa tidak semua sektor siap atau cocok untuk menghapus batas usia. Industri yang bergantung pada tenaga fisik, seperti pertambangan atau konstruksi, mungkin masih membutuhkan kebijakan diferensial berbasis usia.
Itulah sebabnya, kebijakan ini tidak bisa diberlakukan secara hitam-putih. Dibutuhkan klasifikasi berdasarkan jenis pekerjaan, tuntutan kerja, dan kompetensi yang relevan. Kementerian Ketenagakerjaan perlu menyusun pedoman teknis yang fleksibel dan kontekstual.
Dapat dilihat bahwa penting menempatkan diri secara netral namun kritis. Dengan semangat di balik wacana penghapusan batas usia, namun juga menyadari risiko implementasi yang tidak hati-hati. Negara harus memastikan regulasi ini tidak membebani dunia usaha, sekaligus tetap melindungi hak para pencari kerja dari semua golongan usia. Dengan pendekatan yang bertahap dan berbasis data, wacana ini bisa menjadi momentum reformasi pasar tenaga kerja Indonesia menuju arah yang lebih adil, manusiawi, dan inklusif.
Menimbang Realitas
Melihat bahwa menghapus batas usia kerja itu bukan sekedar soal administrasi, tapi sebenarnya bentuk koreksi terhadap sistem rekrutmen yang selama ini sudah terbiasa mendiskriminasi pelamar hanya karena umur. Kita sering dengar bahwa yang punya kemampuanlah yang seharusnya diterima. Tapi kenyataannya, banyak perusahaan masih menolak pelamar hanya karena usianya, tanpa melihat kemampuan atau pencapaiannya.
Padahal dunia kerja bukan cuma butuh tenaga muda. Pekerja yang lebih senior biasanya punya kestabilan emosi, kemampuan komunikasi yang baik, dan daya analisis yang tajam hal-hal yang nggak bisa dibentuk hanya dari semangat anak muda. Kalau mereka diberi kesempatan dan pelatihan yang sesuai, mereka bisa jadi pembimbing dan penjaga nilai kerja yang baik di tengah suasana kerja yang makin bersaing dan kadang kurang sehat.
Namun, ada kekhawatiran yang masuk akal. Memberi ruang untuk pekerja yang lebih tua bisa berarti perusahaan harus keluar biaya kesehatan lebih besar, memberi jam kerja yang lebih fleksibel, atau menghadapi tantangan adaptasi dengan teknologi baru. Jadi, soal penghapusan batas usia kerja ini nggak bisa dilihat cuma dari sisi "setuju" atau "tidak setuju". Masalahnya bukan sesimpel itu. Yang lebih penting adalah bagimana kita bisa membangun ruang diskusi yang terbuka, jujur, dan berdasakan kenyataan. Karena dalam kehidupan nyata, yang kita perlukan bukan kebijakan yang cepat diterapkan, tapi keputusan yang bijak dan sesuai dengan kebutuhan banyak pihak.
Karena itu, menghapus batas umur kerja bukan sekedar soal membuka peluang, tapi soal menghargai semua orang yang masih mau dan mampu bekerja, apa pun usianya. Dunia kerja harusnya jadi tempat yang adil untuk semua, bukan hanya untuk yang muda dan dianggap kuat. Kita perlu melihat manusia dari kemampuannya, bukan dari umurnya. Kalau negara serius mau mewujudkan keadilan, maka sudah saatnya kebijakan kerja juga berpihak pada semua golongan usia. Dengan langkah yang tepat dan tidak terburu-buru, perubahan ini bisa membawa kebaikan, bukan cuma untuk pekerja, tapi juga untuk dunia usaha dan masyarakat secara luas.
Artikel Lainnya
-
139904/08/2020
-
85913/04/2023
-
81701/07/2021
-
Korporatokrasi dan Nasib Pekerja
230523/02/2020 -
94620/09/2023
-
Anwar Usman dan Persoalan Integritas MK
113113/04/2022
