Kasus Kekerasan Seksual: Me-Liyan-kan Perempuan dari Societas Kemanusiaan

Mahasiswa
Kasus Kekerasan Seksual: Me-Liyan-kan Perempuan dari Societas Kemanusiaan 04/08/2020 1399 view Lainnya Suara.com/Ema

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia bukanlah barang asing yang baru muncul ke permukaan publik dan menjadi perbincangan oleh masyarakat luas.

Dari tahun ke tahun, kasus ini terus saja meningkat dan sepertinya tidak ada penanganan yang efektif dan efisien terhadap kasus ini. Komisi Nasional Perempuan menyebutkan bahwa setiap dua jam sekali setidaknya ada tiga perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual (Suara.com, Kamis, 14 Mei 2020). Bukankah hal ini tampak seperti kebodohan dan kegagalan menjadi manusia? Di mana moralitas yang dimiliki si pelaku dan masihkah dia/mereka memiliki rasa kemanusiaan dalam dirinya?

Korban dalam kasus kekerasan seksual tidak lain adalah perempuan dan tidak pernah kita mendengar bahwa laki-laki menjadi korban kekerasan seksual (kalaupun ada pasti jarang terjadi). Perempuan seringkali dijadikan objek bagi pemuasan nafsu birahi. Dengan demikian, perempuan bak lahan seksual yang bisa dikelola dan dikomersialisasikan seperti barang dagangan di pasar-pasar. Inilah ironi yang terjadi di Indonesia sampai saat ini dan masih mencari solusi untuk penyelesaiannya.

Berbagai kasus kekerasan seksual yang dialami oleh kaum perempuan di seluruh Indonesia mau mengatakan bahwa perempuan masih di-liyan-kan dari societas kemanusian. Me-liyan-kan perempuan berarti menindas, mengusir, merendahkan, dan mengisolasi kaum perempuan dari realitas kemanusiaan dan dunia kebebasan manusia.

Perempuan tidak lagi bebas, melainkan dikontrol oleh kaum patriakal yang dikuasai nafsu birahi yang menggebu-gebu. Kebebasan dimengerti hanya milik kaum patriakal sedangkan perempuan harus tunduk pada kebebasan patriakal. Laki-laki lebih tinggi derajatnya dari kaum perempuan dan itulah konsep gila yang masih pertahankan agar dapat memuaskan nafsu birahi yang juga menggila.

Secara historis, kaum perempuan sudah lama hidup dalam dunia liyan, dunia keterpurukan dan ketertindasan. Mungkin perempuan dipandang protagonis tapi diperlakukan secara antagonis; dipandang sebagai ratu dan makhluk yang mengandung kehidupan tapi diperlakukan layaknya budak bahkan seperti barang komersial. Sejarah ini terus hidup hingga saat ini yang terbukti dalam berbagai kasus kekerasan seksual di Indonesia bahkan di seluruh dunia.

Kasus kekerasan seksual yang sering meramaikan surat-surat kabar bahkan menjadi topik utama dalam surat kabar menimbulkan berbagai pertanyaan tentang kemanusiaan dan kebebasan serta tentang eksistensi kaum perempuan. Akan tetapi, perhatian terhadap penderitaan kaum perempuan tampaknya kurang, baik dari masyarakat maupun pemerintah.

Fenomena ini seakan-akan dipandang sebagai hal yang biasa dalam dinamika hidup manusia sehingga kurang diberi perhatian yang intensif. Mungkin hanya segelintir orang yang memberi perhatiannya terhadap penderitaan kaum perempuan seperti: Simone de Beauvoir dan juga R.A Kartini yang dikenal sebagai pejuang emansipasi kaum perempuan dan beberapa tokoh feminisme lainnya.

Apakah penderitaan kaum perempuan (Indonesia) bukan penderitaan bangsa dan negara? Ataukah kaum perempuan sudah dianggap orang asing dalam negara kita sehingga tak perlu memberi simpati dan empati kepada mereka? Seharusnya kita tergerak melihat fenomena seperti ini dan bukan justru mengabaikannya apalagi mengeksploitasi kemanusiaan kaum perempuan.

Tidakkah societas seperti itu kejam terhadap perempuan? Ketika perempuan tidak mendapatkan rasa aman dalam kehidupan ini, ke manakah ia akan pergi? Tidak ada tempat yang hidup selain kehidupan itu sendiri. Dan di saat perempuan memaksa untuk pergi meninggalkan societas kehidupan ini, satu-satunya tempat yang dapat menjadi tujuan kepergiannya tidak lain adalah kematian.

Logika yang mau disampaikan ialah bahwa kekerasan seksual identik dengan kematian. Banyak kasus pemerkosaan yang berujung pada kasus bunuh diri, karena si perempuan itu merasa bahwa hidupnya tidak lagi berarti, eksistensinya tidak diakui, kebebasannya dipenjara oleh kepentingan kaum patriakal: virginitasnya dieksploitasi oleh orang-orang yang haus akan nafsu birahi. Dalam hal ini, manusia sering menggunakan kekuasaan, popularitas dan intimidasi sebagai media untuk mendapatkan kepuasan seks dari perempuan.

Tindakan manusia yang bebas mengeksploitasi virginitas perempuan begitu mengerikan dan lebih rendah dari pada dunia binatang. Binatang masih mengenal yang namanya musim kawin, sedangkan manusia tidak. Mungkin banyak binatang yang tidak setia pada pasangannya tapi mereka tahu kapan harus memuaskan nafsunya atau kawin. Lain halnya dengan manusia yang sulit untuk setia pada pasangannya dan ditambah tidak bisa mengontrol dorongan nafsu yang ada dalam dirinya.

Banyak orang yang beranggapan bahwa hubungan seks adalah ungkapan cinta antar subjek dan merupakan hal yang biasa karena dorongan biologis. Akan tetapi ceritanya menjadi lain dalam kasus kekerasan seksual yang menggunakan cinta sebagai dalih untuk memuaskan dan menyenangkan dirinya sendiri, dan sebaliknya menindas yang lain (perempuan).

Kita tidak bisa berhenti pada pengertian cinta yang identik dengan seks, tapi kita perlu memahaminya secara luas dan dalam, bahwa cinta itu identik dengan kehidupan. Jika cinta tidak mengarah pada kehidupan maka itu bukan cinta melainkan kematian. Itulah yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual yang terus meningkat di tanah air kita ini.

Fenomena kekerasan seksual yang terus saja terjadi telah melukai kemanusiaan, tidak hanya kemanusiaan si korban tapi seluruh umat manusia, sebab kemanusiaan itu bersifat universal. Apa itu kemanusiaan? Dalam hal ini, kemanusiaan adalah kebebasan itu sendiri; kebebasan untuk hidup, kebebasan untuk mencintai, kebebasan untuk merasa aman, kebebasan untuk diakui eksistensinya, kebebasan untuk menjadi diri sendiri tanpa paksaan dan intervensi eksternal.

Akan tetapi, kebebasan ini jangan sampai salah dimengerti sebagai kebebasan untuk melakukan apa saja seturut kemauan subjek. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan yang menjunjung tinggi nilai moralitas dan etika publik; artinya, mengejar kebaikan universal atau bonum commune dan menghargai kebebasan subjek lain. Tujuan luhur dari kebebasan ialah keharmonisan.

Namun apa yang terjadi sekarang ini, tampak dalam kasus kekerasan seksual, ialah kekeliruan dalam memahami konsep kebebasan itu. Mungkin si pelaku menganggap bahwa dirinya memiliki kebebasan mutlak untuk melakukan apa pun yang diinginkan. Pola pikir seperti itu tentu sangat berbahaya dan perlu untuk dimurnikan dengan konsep-konsep universal.

Tak bisa dipungkiri bahwa setiap tindakan lahir dari pikiran atau konsep yang ada dalam pikirannya. Maka, setiap orang, terutama para pelaku kekerasan seksual, mesti mengubah pola pikir yang gila itu dan menghidupi konsep-konsep universal sehingga tidak salah dalam bertindak.

Kita perlu membangun kesadaran akan universalitas kemanusiaan untuk mentransformasi sejarah kelam yang telah mengasingkan dan me-liyan-kan perempuan dari societas kemanusiaan ke dunia yang menjunjung tinggi kesetaraan dan kemanusiaan.

Perempuan bukanlah the second sex dalam komunitas, bukan barang komersial yang bisa diperjual-belikan, bukan lahan seksual pemuas nafsu birahi dan bukan liyan. Perempuan adalah dirinya sendiri yang memiliki kebebasan seperti halnya kaum patriakal. Kesadaran ini perlu dimiliki baik oleh kaum perempuan maupun laki-laki agar dapat bekerjasama membangun dan menciptakan dunia yang harmonis dan mencintai kehidupan itu sendiri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya