Apakah BPKP dan KPK Masih Diperlukan? Refleksi atas Kasus Tom Lembong
Keputusan hakim dalam praperadilan yang menolak permohonan Thomas Trikasih Lembong, memberikan ruang diskusi menarik dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Dalam putusan tersebut, hakim menyatakan bahwa pemeriksaan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak wajib dilakukan untuk menentukan adanya kerugian negara. Pendapat ini tidak hanya menjadi preseden hukum tetapi juga memengaruhi dinamika antara lembaga pemeriksa, penyidik, dan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Secara hukum, penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam praktiknya, penghitungan kerugian negara seringkali dilakukan oleh dua institusi utama: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau BPKP. Undang-undang tidak secara eksplisit mewajibkan salah satu lembaga tertentu untuk melakukan penghitungan tersebut.
Putusan hakim dalam perkara ini, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan BPKP tidak wajib, menguatkan prinsip bahwa alat bukti lain dapat digunakan untuk membuktikan adanya kerugian negara. Hal ini sejalan dengan Pasal 183 KUHAP, di mana alat bukti yang sah dapat mencakup keterangan saksi, surat, atau keterangan ahli, tanpa ketergantungan absolut pada laporan lembaga tertentu.
Implikasi terhadap Proses Praperadilan
Praperadilan adalah mekanisme untuk menguji sah atau tidaknya tindakan penyidik, termasuk penetapan tersangka, penahanan, dan penggeledahan. Dalam kasus ini, Tom Lembong mempersoalkan dasar penetapan dirinya sebagai tersangka yang, menurutnya, lemah tanpa laporan kerugian negara dari BPKP.
Pengadilan menilai bahwa dokumen lain yang diserahkan penyidik, seperti audit internal atau dokumen keuangan terkait, sudah cukup membuktikan adanya kerugian negara. Pandangan ini memperluas pemahaman tentang bukti yang sah dalam tindak pidana korupsi, sekaligus menegaskan bahwa praperadilan bukanlah ruang untuk memeriksa substansi perkara, melainkan prosedur hukum.
Dengan tidak diwajibkannya pemeriksaan BPKP, penyidik memiliki keleluasaan lebih besar untuk membangun kasus menggunakan alat bukti lain. Hal ini dapat mempercepat proses hukum, terutama dalam kasus-kasus yang memerlukan tindakan cepat. Meskipun keputusan ini mengurangi birokrasi, ada risiko munculnya tuduhan bahwa bukti yang digunakan penyidik kurang objektif atau tidak memenuhi standar akuntansi. Oleh karena itu, pengadilan perlu lebih kritis dalam menilai validitas bukti dalam sidang utama.
Putusan ini menjadi rujukan penting bagi kasus-kasus serupa di masa depan. Hal ini dapat mendorong para tersangka kasus korupsi lain untuk lebih berhati-hati dalam mengajukan praperadilan, karena ketiadaan laporan BPKP bukan lagi dasar yang kuat untuk menggugurkan status tersangka. Walaupun putusan ini menunjukkan fleksibilitas hukum, beberapa pihak mungkin khawatir bahwa hal ini membuka ruang untuk subjektivitas penyidik.
Oleh karena itu, lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu memastikan bahwa alat bukti non-BPKP yang digunakan penyidik memiliki kualitas dan integritas yang tinggi. Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan harmonisasi undang-undang untuk memberikan panduan lebih jelas terkait penghitungan kerugian negara, sehingga tidak ada tumpang tindih interpretasi.
Kalahnya praperadilan Tom Lembong menegaskan bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak harus bergantung pada laporan institusi tertentu, asalkan ada bukti kuat lain yang mendukung. Meski demikian, penegakan hukum yang efektif tetap membutuhkan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme aparat hukum, sehingga tujuan pemberantasan korupsi dapat tercapai tanpa melanggar hak asasi manusia atau prinsip-prinsip due process of law.
BPKP dan KPK Masih Diperlukankah?
Pernyataan hakim dalam praperadilan yang menolak permohonan Tom Lembong, dengan menyebut bahwa pemeriksaan kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak wajib, memunculkan pertanyaan tentang relevansi keberadaan lembaga tersebut. Ditambah dengan peran serupa yang sering dimainkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), muncul wacana radikal: apakah BPKP dan bahkan KPK masih relevan? Jika tidak, mungkinkah pembubaran keduanya menjadi langkah yang tepat?
BPKP adalah lembaga pemerintah yang memiliki fungsi utama melakukan audit internal terhadap pengelolaan keuangan negara, termasuk penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi. Di sisi lain, KPK adalah lembaga independen yang diberi mandat untuk menangani kasus korupsi berskala besar, terutama yang melibatkan pejabat tinggi negara.
Putusan hakim dalam kasus Tom Lembong menegaskan bahwa laporan kerugian negara dari BPKP bukanlah satu-satunya alat bukti yang diperlukan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum bahwa alat bukti sah tidak dibatasi pada institusi tertentu. Apakah ini berarti peran BPKP dan KPK bisa diabaikan?
Salah satu kritik terhadap BPKP adalah tumpang tindih perannya dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan lembaga pengawas internal lainnya, seperti Inspektorat Jenderal di kementerian. Jika peran BPKP dianggap tidak lagi strategis, maka pembubaran atau pengalihan tugasnya ke lembaga lain dapat menjadi pilihan rasional. Dalam konteks KPK, meskipun lembaga ini telah berkontribusi besar dalam pemberantasan korupsi, revisi UU KPK pada 2019 yang melemahkan kewenangannya telah membuat efektivitas lembaga ini dipertanyakan. Jika KPK tidak lagi dapat bekerja secara independen dan optimal, muncul pertanyaan apakah keberadaannya masih memberikan nilai tambah yang signifikan.
Sebelum mempertimbangkan pembubaran, diperlukan evaluasi mendalam terhadap efektivitas dan efisiensi kedua lembaga tersebut. BPKP, misalnya, dapat direformasi untuk fokus pada audit keuangan pemerintah tanpa harus terlibat dalam proses hukum. KPK, di sisi lain, perlu dikuatkan kembali sebagai lembaga yang independen dan tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politik.
Jika BPKP dan KPK dibubarkan tanpa pengganti yang jelas, sistem pengawasan dan pemberantasan korupsi dapat mengalami kekosongan yang berbahaya. Penghapusan lembaga-lembaga ini bisa melemahkan akuntabilitas, meningkatkan celah korupsi, dan mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Fungsi BPKP dapat dikonsolidasikan dengan lembaga lain, seperti BPK atau Inspektorat Jenderal, untuk menghindari tumpang tindih.
Fokusnya diarahkan pada pengawasan internal dan pembinaan instansi pemerintah. Jika KPK tidak diberdayakan kembali, korupsi berskala besar akan sulit ditangani secara independen. Perlu ada upaya politik dan hukum untuk mengembalikan kewenangan penuh KPK dalam penanganan kasus korupsi besar. Putusan hakim dalam kasus Tom Lembong seharusnya tidak diartikan sebagai alasan untuk menghapuskan BPKP atau KPK, melainkan menjadi momentum untuk mengevaluasi peran mereka dalam sistem hukum dan pemerintahan. Pembubaran lembaga tanpa analisis menyeluruh justru dapat memperlemah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebaliknya, reformasi dan penguatan kelembagaan adalah solusi yang lebih konstruktif agar fungsi pengawasan dan penegakan hukum tetap berjalan dengan efektif.
Artikel Lainnya
-
109616/09/2024
-
78728/12/2022
-
258310/03/2020
-
Tentang Hati, Nasi dan Silaturahmi di Hari Raya Idul Fitri
69605/05/2022 -
88206/05/2021
-
Partai Demokrat dan Ambisi Kekuasaan
99624/03/2021