Mengapa Kita Alergi Kalau Bicara Ideologi?
Kembal lagi situasi menjadi ramai sampai menimbulkan perdebatan serius dari masyarakat terkait adanya pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) oleh DPR. Topik ini menjadi titik poin penting pembicaraan masyarakat, sehingga seolah-olah lupa akan persoalan Covid-19 yang sampai saat ini belum surut.
Pembahasan RUU HIP yang dilakukan DPR ini kemudian menuai banyak kritik dari masyarakat dan pihak terkait lainnya. Karena begitu banyak masukan dan kritikan yang dilancarkan oleh masyarakat maka Menkopolhukam pun mengumumkan penundaan pembasahan RUU HIP, sembari meminta DPR agar bisa menyerap semua aspirasi dari segenap elemen masyarakat.
Kalau melihat informasi dari berita yang ada, dapat kita baca bahwa awal pembahasan RUU HIP tersebut digelar di Baleg DPR. Rancangan awal ini berasal dari usulan dan inisiasi fraksi PDIP dan telah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR. Akan tetapi, naskah RUU yang di dalamnya berisi 58 pasal tersebut kemudian mendapat kritikan oleh masyarakat maupun oleh internal DPR itu sendiri lantaran tidak mencantumkan TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsideran.
Banyak fraksi (diantaranya, PKS, PPP, PAN, Demokrat dan beberapa fraksi lainnya, termasuk dari MUI) menolak pembahasan RUU HIP tersebut karena menurut mereka TAP MPRS yang isinya mengenai pembubaran PKI, larangan ideologi marxisme, leninisme dan komunisme itu masih urgen dan relevan untuk melindungi masyarakat Indonesia dari perubahan sikap yang mengarah pada kekacauan.
Di samping itu, penolakan pembahasan RUU HIP bukan hanya sekadar karena tak mencantumkan TAP MPRS MPRS XXV/1966 soal Pembubaran PKI sebagai konsideran, tapi juga dinilai tidak terlalu urgen dalam situasi sekarang, sebab yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah bagaimana mengatasi mewabahnya Covid-19, bukan membahas ideologi Negara.
Bahkan ada yang memprediksi bahwa RUU HIP ini dinilai berpotensi mendegradasi nilai luhur Pancasila yang sudah disepakati para pendiri bangsa ini. Hal tersebut dikumandangkan oleh Ketum Syarikat Islam (SI), MUI dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Mereka dengan tegas menolak pembahasan RUU HIP sebab dari hasil pengkajian terhadap naskah RUU HIP, mereka menemukan bahwa RUU ini bertentangan dengan sejumlah aturan perundangan dan dapat mendegradasi Pancasila sebagai dasar Negara, (Kumparan NEWS, 17 Juni 2020).
Semua kritikan yang datang didasari oleh ‘kecurigaan’ pada gagasan Pancasila yang ada di dalam RUU HIP, di mana menurut para kritikus, Pancasila tersebut lebih ditekankan pada Pancasila yang digagas pada 1 Juni 1945, bukan Pancasila yang termaktub pada Pembukaan UUD 1945. Ini semua tercermin dari munculnya pasal terkait trisila dan ekasila (gotong royong).
Melihat polemik tersebut, ada beberapa poin argumentasi yang ingin saya utarakan diantaranya, Pertama, terlepas dari beragam polemik, kritikan, kekhawatiran, dan kecurigaan dari semua elemen masyarakat, bagi saya, Pancasila yang digagas pada 1 Juni, atau Pancasila pada 22 Juni (Piagam Jakarta), serta Pancasila pada 18 Agustus, semuanya merupakan satu proses berkelanjutan yang tidak bisa dilepas-pisahkan. Ketiganya merupakan gagasan penting yang pernah ada dan menjadi roh yang menggerakkan para pendiri bangsa kita sehingga sampai pada suatu konsensus yang digunakan sampai sekarang. Inilah rangkaian sejarah pembentukan ideologi bangsa yang tidak sekali jadi, tetapi berproses dalam kedinamisan dan keberagaman manusia Indonesia saat itu. Saya kira, kita tidak boleh mempertentangkan hal ini. Ketiga perjalanan gagasan ideologi bangsa tersebut adalah satu kesatuan yang patut diindahkan. Jangan pernah menolak lupa pada sejarah, sekalipun itu kelam.
Kedua, secara inti, saya melihat bahwa substansi dari RUU HIP sejatinya dibuat untuk menjamin agar perjalanan bangsa Indonesia ke depan, di tengah arus globalisasi ekonomi, teknologi, dan gaya hidup yang baru ini (new normal), bisa menyesuaikan diri, beradaptasi dan bersaing. Tujuannya agar kita mampu membangun strategi yang tepat, yang bersumber pada dasar dan ideologi Negara yakni Pancasila, guna mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Saya kira, ini niat mulia yang mungkin sedikit ‘kurang’ terbaca oleh publik, sehingga terlalu gegabah mencurigai dan memberi kritik atas perihal yang tidak semestinya. Haluan Negara, adalah gagasan yang sangat penting, supaya para pemegang kekuasaan dan policy maker tidak salah melangkah dan keluar dari nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Di tengah begitu banyak kendala dan keterbatasan yang sedang dihadapi bangsa saat ini, kita harus optimis dan bangkit sehingga semangat untuk membangun bangsa dan masyarakat yang Pancasilais bisa terwujud.
Ketiga, sudah kita ketahui bersama bahwa RUU HIP tentu telah disetujui di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR dan disepakati oleh kelompok fraksi (poksi) di dalamnya, untuk dibawa ke forum paripurna. Saya tidak tahu secara pasti pada saat itu, apakah ada fraksi yang menyatakan keberatannya agar RUU HIP disahkan menjadi RUU inisiatif DPR? Kalau memang keberatan, mengapa tidak disampaikan pada saat itu? Mengapa ketika hendak dibahas, semua fraksi ramai-ramai menolak bahkan menyalahkan pihak atau partai yang mengusulkan dan mendukung RUU tersebut, karena merasa khawatir akan hasil dari RUU ini? Saya rasa hal ini merupakan sebuah kekonyolan yang tidak perlu dipertontonkan oleh para wakil rakyat. Kalau demikian, maka pembatalan pembahasan ini harus juga dilakukan melalui mekanisme yang benar. Jangan dengan terburu-buru membatalkan, hanya karena ada banyak pihak atau organisasi yang tidak mendukung dan mengkritik.
Keempat, kita semua tahu bahwa dalam arti yang paling sederhana, ideologi merupakan kumpulan gagasan dan ide yang disepakati dan dijadikan pedoman hidup suatu bangsa atau kelompok masyarakat.
Hemat saya, ideologi bukanlah sebuah ‘dogma’ yang tidak bisa tersentuh lagi. Ideologi pada hakekatnya terus berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan zaman. Secara murni, ideologi ‘masih’ bisa dijabarkan sesuai keadaan dan situasi yang berkembang saat ini. Kalau kita persandingkan dengan Pancasila sebagai ideologi, memang benar bahwa nilai luhur di dalamnya tidak boleh diubah karena sudah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa. Akan tetapi, sebagai ideologi terbuka, Pancasila tidak membaptis dirinya menjadi dogma yang tidak bisa dijabarkan. Justru karena menjadi ideologi terbuka, maka pancasila terus berkembang seiring perkembangan zaman, sebab isi dari ideologi terbuka adalah pandangan dasar dan perkembangannya disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Sekali lagi, karena Pancasila menganut ideologi terbuka, maka nilai dasar Pancasila dapat dikembangkan sesuai perkembangan kehidupan bangsa Indonesia dan perkembangan zaman, terutama disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pertanyaan sekarang, mengapa RUU HIP itu dicurigai? Kenapa muncul kekhawatiran yang berlebihan? Mengapa kita ‘alergi’ kalau bicara soal ideologi? Saat ini, kita butuh nasi, bukan berdebat ideologi. Karena itu, jangan terlalu grogi, dan mau menang sendiri.
Benar bahwa RUU HIP memang belum sempurna, maka itu perlu dibahas, sehingga hasilnya kelak akan dijadikan sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Saya kira RUU HIP ini perlu untuk menerapkan kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan, dan keamanan dalam situasi dan perkembangan zaman saat ini. Kiranya draf RUU HIP yang tentu bertujuan mulia ini tidak disalahgunakan dan disalahtafsir oleh para pembahas. Semua itu hanya untuk kebaikan bersama.
Sekali lagi, kita jangan terlalu curiga dan khawatir akan hasil RUU HIP ini, sebab masih dalam tahap pembahasan. Maka, segala kecurigaan dan kekhawatiran kita mungkin perlu dituangkan dalam pembahasan RUU tersebut. Jangan terlalu ‘alergi’ kalau berbicara tentang ideologi, sebab tidak ada seorang pun di Indonesia yang berani mau menggantikan Pancasila. Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila. Itu adalah dasar yang tidak perlu diotak-atik lagi. Yang harus dibuat adalah arah/haluan dalam menjabarkan nilai Pancasila agar sejalan dengan tuntutan zaman.
Dengan tegas saya berpendapat bahwa HIP dibuat bukan untuk mendegradasi nilai Pancasila. HIP tidak bertujuan mengganti ideologi Pancasila, tetapi merupakan pedoman ter-update yang perlu dipersiapkan mulai dari sekarang, supaya perjalanan bangsa Indonesia tidak tertinggal dan bisa beriringan dengan tuntuan dan perkembangan zaman. Saya sepakat dengan Frangky Sahilatua: Pancasila adalah rumah kita, rumah untuk kita semua. Pancasila adalah nilai dasar Indonesia selamanya.
Artikel Lainnya
-
378802/03/2020
-
250909/03/2020
-
166720/02/2022
-
Optimalisasi Stok Pangan di Tengah Pandemi Covid-19
159422/05/2020 -
Pendaftaran Kelas Menulis Beginner #Batch18 Telah Dibuka!
128410/01/2022 -
Membaca Konsep ‘New Normal’ Dalam Situasi Abnormal
201923/05/2020
