Menerjemahkan Manusia Autentik Versi Heiddegerian di Era Digital

Perkembangan teknologi digital dan media sosial memunculkan sebuah tantangan untuk menjalani hidup yang autentik. Media sosial dengan cepat membentuk standar sosial yang sering kali tidak mencerminkan nilai-nilai pribadi, tetapi lebih pada ekspektasi kolektif yang seringkali bersifat dangkal.
Dalam konteks ini, pemikiran filsuf eksistensialis Martin Heidegger tentang manusia autentik menawarkan wawasan yang relevan. Heidegger mengajukan gagasan bahwa untuk menjadi manusia autentik, seseorang harus menyadari keberadaannya di dunia, menerima keterbatasan hidup, dan menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh, jauh dari pengaruh standar sosial yang tidak sesuai dengan jati diri sejati.
Heidegger memulai pemikirannya dengan pertanyaan mendasar, terutama apa arti dari “Ada”? Bagi Heidegger, keberadaan manusia bukanlah sesuatu yang pasif. Ia menggambarkan manusia sebagai Dasein, yang berarti “ada-di-sana”. Dasein mencerminkan manusia yang sadar bahwa ia hidup di dunia, terlibat dengan lingkungan sekitar, dan memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya.
Namun, tidak semua manusia benar-benar hidup sebagai Dasein yang autentik. Banyak orang justru terjebak dalam rutinitas sehari-hari, menjalani hidup tanpa kesadaran akan tujuan sejati mereka. Heidegger menyebut kondisi ini sebagai Das Man, yaitu ketika seseorang hidup berdasarkan ekspektasi sosial atau kebiasaan, bukan dari keaslian dirinya sendiri.
Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa manusia terlempar ke dunia tanpa bisa memilih di mana atau bagaimana ia lahir. Ia menyebut kondisi ini sebagai faktisitas. Meski demikian, keterlemparan ini tidak membuat manusia sepenuhnya pasif. Sebaliknya, manusia memiliki kemampuan untuk memilih bagaimana ia menjalani hidupnya. Pilihan-pilihan ini menunjukkan arah keberadaan seseorang, apakah menuju keautentikan atau sebaliknya, terjebak dalam ketidakaslian.
Salah satu ciri utama manusia autentik, menurut Heidegger, adalah kesadaran akan kematian. Heidegger percaya bahwa memahami dan menerima kenyataan bahwa hidup ini terbatas dapat memberikan makna yang lebih mendalam pada kehidupan. Ia membedakan kematian menjadi dua jenis, yaitu off-liven dan sterben.
Off-liven adalah kematian yang terjadi secara alami, seperti yang dialami oleh tumbuhan atau hewan. Kematian ini berlangsung tanpa kesadaran atau refleksi, hanya bagian dari siklus alamiah. Sebaliknya, sterben adalah kematian yang disadari. Dalam sterben, seseorang merenungkan dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kematian. Kesadaran ini mendorong seseorang untuk menjalani hidup dengan lebih bijaksana dan memanfaatkan setiap momen untuk mewujudkan potensinya.
Hidup autentik, bagi Heidegger, tidak berarti meninggalkan rutinitas harian, melainkan memberikan makna pada setiap tindakan kecil dalam hidup. Misalnya, menyeduh kopi di pagi hari, bekerja, atau berbicara dengan keluarga bukan hanya aktivitas biasa, tetapi momen yang bisa dimaknai sebagai bagian dari keberadaan kita. Orang yang autentik adalah mereka yang mampu menemukan nilai dan makna dalam hal-hal sederhana sekalipun.
Pemikiran Heidegger menjadi sangat relevan di era digital yang dipenuhi tren dan standar sosial yang dibentuk oleh media sosial. Beragam informasi dan ekspektasi yang terus-menerus diperbarui, banyak individu kehilangan jati diri mereka dan menjalani hidup berdasarkan validasi sosial, seperti jumlah likes, komentar, atau pengakuan dari publik. Kondisi ini serupa dengan konsep Das Man yang diuraikan Heidegger, di mana seseorang hidup tidak atas dasar keaslian dirinya, tetapi mengikuti arus sosial tanpa kesadaran penuh.
Heidegger mengajarkan bahwa untuk menjadi manusia autentik, kita harus menyadari keterbatasan hidup dan menghadapi kenyataan bahwa waktu kita di dunia ini tidaklah abadi. Kesadaran ini penting untuk membantu kita fokus pada pilihan hidup yang bermakna, bukan pada hal-hal dangkal yang sering dipromosikan di media sosial. Misalnya, alih-alih berusaha memenuhi standar kecantikan, kesuksesan, atau gaya hidup yang viral, hidup autentik mengajak kita untuk kembali pada nilai-nilai yang benar-benar kita yakini dan memberi makna bagi hidup kita.
Pemikian ini juga mengisyaratkan kita untuk memperlambat laju kehidupan dan memaknai hal-hal kecil. Ketika setiap tindakan dan momen dipandang melalui kesadaran yang mendalam, rutinitas sehari-hari, seperti berbincang dengan keluarga atau bekerja, dapat menjadi cara untuk terhubung dengan keberadaan kita yang sebenarnya. Oleh karena itu, menjadi autentik di era ini berarti menolak untuk sepenuhnya tunduk pada tuntutan sosial dan menggunakan kebebasan kita untuk menentukan jalan hidup yang sejati, bahkan di tengah derasnya arus digital.
Artikel Lainnya
-
154518/04/2020
-
147710/08/2020
-
215929/09/2019
-
Merayakan Hari Buku Internasional di Tengah Corona
120824/04/2020 -
Konflik dalam Pelaksanaan KPBUdan Cara Mengatasinya
55919/01/2023 -
Menggalakkan Pariwisata di Kampung Boncukode
27612/05/2024