Menatap Etika Umat Beragama 2020

Bila boleh dibuat menjadi film, fenomena keagamaan tahun ini sangat menarik untuk ditonton sembari didiskusikan bersama. Film ini dibintangi oleh tokoh-tokoh agama. Namun, Film ini tidak seperti film pada umumnya karena sifat tokoh-tokoh agama yang ditampilkan semuanya bertendensi antagonis. Tidak ada tritagonis, deutragonis apalagi protagonis. Sehingga kalau boleh diberi judul, film ini berjudulkan “Matinya Etika umat Beragama Tahun Ini.”
Sesuai dengan watak tokoh-tokohnya, maka tindakannya juga merepresentasikan watak mereka yang jahat. Perlakuan mereka umumnya bertendensi pada tindakan yang menyebabkan konflik dan perpecahan. Ajaran-ajaran mereka seringkali mengadu domba masyarakat. Narasi-narasi yang mereka bangun bertujuan untuk memprovokasi. Karena perlakuan mereka yang jahat, kehidupan masyarakat seringkali tidak tenang dan selalu dibayang-bayangi oleh ketakutan.
Implikasinya bukan hanya itu, akting yang mereka peragakan itu, secara implisit menyeret agama pada ruang yang namanya “kehancuran.” Karena setelah menonton film ini, para penonton termasuk saya langsung memiliki perspektif yang salah tentang agama. Agama lalu diparalelkan dengan hal-hal yang negatif. Itulah kesimpulan akhir oleh para penonton film ini.
Analogi film di atas mengindikasikan pada problem yang sedang terjadi dan nyata kita alami di negara tercinta ini, yaitu masalah keagamaan. Anggapan publik yang sedang menonton panggung keagamaan tahun ini memang mengarah pada hal-hal yang busuk tentang agama.
Anggapan demikian sejatinya tidak membutuhkan klarifikasi, karena memang itulah wajah agama yang sedang ditayangkan pada tahun ini. Pun hal itu tidak perlu membuat kita takjub jika yang dipakai sebagai acuan atas kesimpulan itu adalah tingkah laku umat beragama bahkan tokoh-
tokoh agama yang seringkali menyimpang dari ajaran etika beragama yang sebenarnya.
Menjadi pertanyaannya adalah siapakah yang salah dalam hal ini. Apa agama yang salah? Ataukah mungkin para pengikutnya yang sesat karena tidak mengerti dengan baik nilai-nilai yang diajarkan oleh agamanya?
Saya tidak bermaksud menyinggung apalagi memarjinalisasikan agama-agama tertentu. Uraian ini berdasarkan realitas sikap umat beragama yang hari-hari ini marak terjadi.
Sikap umat beragama yang seringkali saling mengadu domba, saling membalas dendam, sehingga terjadinya jurang yang memisahkan antara umat beragama. Dengan itu, ulasan ini lahir dari kekecewaan atas sikap umat beragama yang sangat kontroversial hari-hari ini.
Fenomena Keagamaan Tahun Ini
Indonesia pada tahun ini masuk dalam nominasi sebagai negara yang paling religius. Berita itu dipublikasikan dalam riset yang berjudul "The Global God Devide."(ibtimes.id, 2020). Pengumuman ini tentunya mengundang tanda tanya besar. Apakah pengumuman betul Indonesia betul terdaftar sebagai negara paling religius? Ataukah itu adalah penghinaan untuk kehidupan keagamaan kita yang hanya disampaikan melalui apresiasi?
Saya sendiri menanggapi itu dengan skeptis yang besar. Saya melihat publikasi itu tidak sesuai bahkan kontradiksi dengan realitas hidup keagamaan di Indonesia.
Kalau Indonesia adalah negara yang religius, berarti mengindikasikan bahwa umat beragama di Indonesia sudah hidup dengan iman yang kuat dan kokoh. Relasi antara umat beragamanya sangat harmonis. Tidak ada diskriminasi terhadap agama minoritas. Itulah yang hemat saya bisa disebut sebagai negara Religius. Namun kriteria-kriteria semacam itu belum nampak terlihat.
Umat beragama di Indonesia belum mencapai sikap iman yang “otentik.” Atau yang oleh Kierkegaard sebut sebagai makhluk rohani. (Sugiharto, 2000). Masih banyak terjadi polemik di antara umat beragama yang lazim terjadi di negara ini. Polemik ini sudah menjadi menu harian umat beragama di Indonesia.
Umat beragama di Indonesia tahun ini (tentunya tidak semuanya) belum mencapai pada tahap yang namanya religius. Keautentikan iman umat di Indonesia hanya sampai pada tahap yang sekali lagi oleh Kierkegaard sebut sebagai tahap estetik. Tahap estetik berarti tahap di mana orang melakukan sesuatu hanya demi kepuasaan. Motivasi dasar perilakunya adalah mencari kepuasaan semata (Bambang, 2000).
Tahun ini, marak sekali terjadi perilaku-perilaku umat beragama bahkan tokoh-tokoh penting dalam agama yang tidak memberikan contoh elok pada publik. Kerjanya hanya menyebarkan kebencian dan mengumbar pidato atau ceramah yang menghasut. Tentang itu, saya tidak mengambil contoh-contoh yang jauh.
Hari-hari ini, berbagai media dihebohkan oleh berita saling lapor melapor antara sesama tokoh-tokoh agama. Seperti Ustad M.T vs A.J yang ramai, (saya memakai inisial guna untuk menghindari polemik) yang lagi hangat diperbincangkan di berbagai media nasional.
Agama yang Termarjinalisasi
Tahun ini menjadi tahun di mana agama betul-betul “termarjinalisasikan”. Agama seringkali dituduh menjadi biang keladi perpecahan di antara masyarakat. (Walaupun sering juga terjadi tahun-tahun sebelumnya, misalnya pemboman di beberapa tempat ibadat). Bahkan yang paling ironisnya adalah kebusukan dan kehancuran agama itu diakibatkan oleh perilaku, tutur kata, bahkan ajaran dari tokoh-tokoh agama yang menyimpang dari etika beragama. Sehingga terjadilah yang oleh KBBI sebut sebagai “apostasi” (pengingkaran terhadap agama) (lih. KBBI).
Sikap umat beragama yang sedang kita tatap tahun ini sangat memprihatinkan. Banyak contoh kasus yang bertentangan dengan etika beragama itu sendiri. Padahal sebenarnya agama adalah suatu yang Suci, Sakral, yang menjadi sumber damai dan cinta. Namun pengertian itu hari-hari ini tidak berlaku lagi. Umat beragama sekarang ini (termasuk di Indonesia) memiliki paradigma berpikir sendiri dan menerapkan regulasi masing-masing tentang agama.
Dengan itu, hemat saya bahwa saat ini kita semacam sedang menonton film tentang keagamaan. Film ini membuat publik yang menonton menjadi kagum serentak juga kecewa. Kagum karena filmnya tentang ini mengisahkan tentang agama. Kecewa karena sikap tokoh-tokoh agama yang berperan di dalamnya semuanya antagonis.
Banyak kejadian-kejadian ajaib nan aneh yang mana didalamnya melibatkan agama, sehingga kesimpulan publik adalah agama menjadi biang keladi. Ekspresi iman umat beragama tahun tahun ini seringkali menodai aspek kesucian dan kesakralan.
Belajar realitas yang ada sekarang ini, semoga kehidupan keagamaan kita ke depannya selalu berada dalam lingkaran keharmonisan. Tidak ada lagi saling membenci, saling memprovokasi, yang berujung pada konflik antar umat beragama. Yang ada hanyalah saling mencintai dan selalu mengutamakan kerukunan. Itulah harapan kita bersama untuk tahun-tahun berikutnya.
Artikel Lainnya
-
73707/11/2023
-
171827/04/2020
-
185514/01/2024
-
Inikah Akhir dari Konspirasi Covid-19?
101819/03/2022 -
Pemberlakuan Jalan Berbayar di Jakarta: Solusi Penanganan Kemacetan?
43510/02/2023 -
Korupsi dan Tantangan Kepala Negara
149226/12/2020