Menakar Urgensi Pendidikan Bela Negara
Anugerah terindah dari sebuah kolonialisme adalah meningkatnya rasa cinta tanah air dan berkobarnya keberanian berkorban bagi negara. Itu sebabnya pada waktu Belanda dan Jepang menjajah Indonesia beratus-ratus tahun lamanya, nusantara bersatu. Anak-anak bangsa ini ketika itu, meski dengan perlengkapan perang yang sangat sederhana (baca: bambu runcing) dan keterbatasan akses terhadap ilmu pengetahuan, menanggalkan sekat-sekat perbedaan dan berikrar untuk mengusir para penjajah meski nyawa menjadi tumbal.
Dinamika Diskursus Bela Negara
Setelah kemerdekaan dengan susah payah kita raih, belakangan jiwa nasionalisme pemuda, terutama para milenial, dianggap perlu untuk dibangkitkan dan dipacu—untuk tidak menyebut semakin luntur. Setidaknya demikianlah pandangan Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono di laman resmi Kementerian Pertahanan pada 16 Agustus 2020 lalu.
Tak tanggung-tanggung, Program Bela Negara (PBN) pun diagendakan. Bahkan, Kemenhan kabarnya tengah melakukan penjajakan serius dengan Kemdikbud. Sasarannya adalah perguruan tinggi. Jika terealisasi, program lintas kementerian itu akan memasukkan pendidikan militer sebagai bagian integral dari perkuliahan dan dihitung dalam Sistem Kredit Semester (SKS).
Konsep bela negara pada masa sekarang sebenarnya telah mengalami perluasan makna. Dulu jiwa nasionalisme atau kecintaan pada negara begitu identik dengan angkat senjata dan ikut bertempur di medan juang. Oleh karenanya program wajib militer, bela negara atau yang sejenis dengan itu dapat diterima dan tidak perlu dipergunjingkan sebab peperangan antar negara merupakan pemandangan lazim. Tapi, di masa sekarang situasinya berbeda. Invasi militer tidak lagi menjadi orientasi primer untuk menguasai dunia. Bahkan cara itu sudah sejak lama mulai ditinggalkan. Mayoritas negara-negara maju saat ini menjadikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai indikator yang harus dicapai.
Kalau pun masih ada negara-negara yang melakukan kebijakan wajib militer, jumlahnya sangat sedikit. Korea Selatan, misalnya, masih menerapkan konsep bela negara dengan mewajibkan para pemuda masuk militer karena alasan yang sangat jelas: adanya ancaman berkelanjutan berupa serangan nuklir dari tetangga mereka, Korea Utara. Artinya, mereka harus siap setiap saat untuk perang, baik dari segi peralatan senjata maupun kuantitas dan kualitas personel militer. Dengan jumlah penduduk yang tidak sampai seperempat dari populasi penduduk Indonesia, tentu masuk akal jika kemudian Korea Selatan melibatkan warga sipil mereka dalam militer.
Oleh sebab itu, sangat lumrah apabila satu pertanyaan muncul: apa urgensi PBN seperti yang dicanangkan Kemenhan dan Kemdikbud untuk para mahasiswa di Indonesia? Kita jelas tidak dalam situasi yang rentan untuk berperang dengan negara lain seperti yang kita alami pada masa penjajahan. Dan, kita juga tidak kekurangan armada militer tangguh sekiranya memang ada indikasi yang mengharuskan Indonesia untuk berperang dengan negara lain.
Pendidikan Ala Militer Bukan Solusi
Lagi pula selama ini pendidikan kita sebetulnya telah menerapkan unsur-unsur militer. Sejak SD kita diajarkan untuk baris-berbaris sebelum memasuki kelas dan mengikuti upacara bendera. Sekolah-sekolah memasukkan Pramuka dan Paskibra—untuk sebatas memberi contoh—sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang cukup diminati para pelajar. Di level perguruan tinggi pun kita mengenal Resimen Mahasiswa (Menwa). Masih belum cukup? Periksalah, berapa banyak sekolah kedinasan yang kita miliki. Bukankah sekolah-sekolah itu selama ini menggunakan metode belajar semi militer?
Jadi, sekali lagi, di mana letak urgensi PBN itu? Saya yakin niat Kemenhan dan Kemdikbud pada dasarnya mulia. Tapi, kalau soal penanaman karakter dan disiplin, justru selama ini banyak masalah yang muncul dari sekolah-sekolah kedinasan. Kasus kekerasan senior terhadap junior bahkan hingga mengakibatkan kematian sudah beberapa kali terkuak di media.
Ingatkah Anda pada Inu Kencana Syafiie? Dia adalah mantan dosen IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) atau yang dulunya bernama STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri). Di tahun 2007, Inu pernah mengirim surat pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal kematian 34 praja di lingkungan institusi itu sejak tahun 1993 hingga 2007. Di antara 34 praja yang meninggal, disinyalir ada sekitar 17 yang tewas secara tidak wajar.
Inu juga mengangkat permasalahan ini menjadi topik penelitian disertasinya dengan judul Pengawasan Kinerja STPDN Terhadap Sikap Masyarakat Kabupaten Sumedang. Dalam risetnya itu, Inu tidak cuma menyoroti kasus kematian tak wajar para praja, tapi juga praktek free sex terselubung yang marak terjadi di lingkungan kampus pencetak aparat pemerintahan tersebut.
Dalam judul berita Inu Kencana, ‘Vokalis’ dari IPDN di laman detik.com (09 April 2007), Inu dilaporkan pernah dikejar-kejar oleh 900 praja perempuan akibat kenekatannya menyikap tabir kelam budaya seks bebas di kampus itu. Ia juga pernah diberi sanksi disiplin dan larangan mengajar karena dianggap terlalu vokal. Puncaknya adalah ketika ia turut membongkar kasus kematian praja IPDN bernama Cliff Mutu pada tahun 2007 yang menyerat beberapa petinggi lembaga itu hingga ke pengadilan.
Pada konteks sekolah pendidikan semi militer, sudah bukan rahasia lagi bila para senior menjadi kelompok superior yang begitu mendominasi para junior sebagai pihak inferior. Pengkastaan eksesif dalam wujud senior-junior ini telah mengalami internalisasi sejak lama dan bisa dengan mudah kita jumpai di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.
Menjadi senior seperti mirip dengan euforia naik jabatan. Pada momen itulah seorang siswa/mahasiswa memiliki power terhadap adik-adik kelasnya. Status senior menjadi sangat diagungkan sehingga terbentuklah pola berulang (repeated patterns). Itu sebabnya mengapa slogan absurd bin mengesalkan seperti: ‘peraturan satu: senior tidak pernah salah, peraturan dua: jika senior salah, lihat kembali ke peraturan satu’ juga seolah menjadi legitimasi otoritas penuh senior terhadap junior.
Sekali lagi, saya bukan skeptis terhadap pendidikan militer. Bagi saya, pendidikan militer memang semestinya berada pada tempatnya—tersendiri dan terpisah—seperti AKPOL (Akademi Kepolisian), Akademi Militer (Akmil), Akademi Angkatan Laut (AAL) dan Akademi Angkatan Udara (AAU).
Kalau, seperti mengutip kata-kata Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono, pendidikan militer bertujuan agar generasi milenial tidak hanya kreatif dan inovatif, tetapi cinta bangsa dan negara dalam kehidupannya sehari-hari, ini juga secara tidak langsung seperti mengukuhkan pendidikan militer sebagai satu-satunya jalan untuk menanamkan kedisiplinan dan rasa nasionalisme dan mengesampingkan peran perguruan tinggi selama ini. Ironisnya, pada tahun 2019 lalu kita justru dikejutkan oleh informasi tentang adanya sekitar 3% oknum anggota TNI yang terpapar radikalisme.
Pendeknya, biarkanlah kampus-kampus dengan otoritas dan kreativitasnya sendiri memaksimalkan konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi—Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan serta Pengabdian Kepada Masyarakat. Ketiga unsur ini, apabila diimplementasikan secara benar, mendalam dan digali terus menerus, bukan hanya akan membentuk dan memperkuat karakter nasionalisme para mahasiswa tapi juga seluruh civitas akademik sesuai fungsinya.
Artikel Lainnya
-
578623/10/2019
-
238031/12/2022
-
16230/05/2025
-
34212/01/2024
-
157118/02/2020
-
Petak Umpet Sang Terapi Pencuci Otak
99305/10/2020
