Mempertanyakan Pancasila

Pedagang Teks
Mempertanyakan Pancasila 02/06/2021 1354 view Politik bpip.go.id

Bagaimana memaknai hari lahir Pancasila? Apakah dengan cara mengagung-agungkannya? Bikin story di media sosial sembari pakai caption “Selamat Hari Lahir Pancasila” tidak lupa diikuti dengan slogan-slogan membosankan semacam: NKRI Harga Mati, Merdeka!!, dan segala tetek bengeknya itu?

Pernahkah terpikirkan untuk mempertanyakan kembali relevansi Pancasila? Atau jangan-jangan Anda adalah korban dari tafsir tunggal negara atas Pancasila?

Kalau Anda berharap tulisan ini akan memberikan legitimasi terhadap alasan-alasan “yang itu-tu saja” dalam story WhatsApp Anda mengenai makna Pancasila, tentu tidak ditemukan di sini. Sebaiknya Anda skip saja. Isi tulisan ini hanyalah umpatan kecil dari keresahan saya mengenai salah kaprah memaknai Pancasila.

Masihkah ingat ketika Rocky Gerung “selebriti ILC” yang konon fenomenal itu nyaris dipidanakan karena menganggap Pancasila sebagai ideologi gagal? Lebih lanjut RG mengatakan bahwa hanya Fasisme dan Komunisme yang ngotot bikin negara ideologis.

Pernyataan itu bikin Rocky Gerung yang terkenal tangguh dan berani melontarkan kritik harus repot-repot bikin klarifikasi. Hal yang sama juga pernah terjadi ketika ia nyaris terkena delik penodaan agama dengan mengatakan Al-Quran adalah kitab fiksi. Lepas dari perdebatan soal pernyataan RG, setidaknya dari kedua peristiwa itu bolehlah secara kasar kita menganggap bahwa eksistensi Pancasila belakangan nyaris sama kedudukannya dengan agama: haram didebat, dipersoalkan, apalagi diubah.

Kedudukan Pancasila dianggap sebagai monumen utuh yang telah “final”. Siapa yang mempertanyakannya siap-siap dapat stereotype anti Pancasila. Pertanyaannya, jika klaim mengenai Pancasila sudah final, lantas apa guna seminar-seminar Pancasila di kampus-kampus itu doktrinasi?

Dalam sejarahnya, Pancasila memang telah diwarnai pelbagai macam bentuk perdebatan. Dari konsep Nasakom hingga perdebatan mengenai sila pertama Pancasila yang agaknya memang bisa sekilas kita anggap sebagai bagian dari “belum tuntasnya” perdebatan itu hingga sekarang. Ini terlihat dengan munculnya pelbagai pemberontakan atas nama ideologi pasca terbentuknya negara. Dari DI/TII, APRA, PERMESTA hingga PKI, misalnya. Parahnya semua gerakan pemberontakan itu selalu didekati dengan pendekatan kekerasan dan militer, lazimnya cara kekuasaan mempertahankan legitimasinya di zaman itu.

Perdebatan itu sebenarnya menyiratkan sesuatu: bahwa sebenarnya ada yang belum tuntas dengan Pancasila. Apa sebabnya? Saya berasumsi bahwa, bisa jadi Pancasila dianggap sudah tidak layak atau memang beberapa unsurnya ada yang bermasalah.

Para kelompok “tekstualis” Pancasila ini sering berdalih bahwa Pancasila merupakan hasil kesepakatan para pendiri bangsa, pahlawan kemerdekaan, dan para pejuang di masa lalu. Pokok apapun alasannya, Pancasila tidak boleh diganggu gugat lagi. Sekali lagi: “apapun alasannya”.

Kita bisa membenarkan alasan itu sebagai upaya awal dalam konteks sebuah negara yang baru memperoleh kemerdekaannya. Bolehlah kita anggap sebagai upaya pencarian identitas sebuah negara. Namun dalam konteks kekinian, bagaimana jika yang terjadi sebaliknya. Jangan-jangan Pancasila sudah tidak lagi relevan dengan nafas zaman? Bukankah kondisi sosial-politik masa itu berbeda jauh dengan apa yang terjadi sekarang? Ini bisa saja kita benarkan mengingat sampai saat ini masih banyak pihak yang mempertanyakan Pancasila.

Semua warga negara ketika ditanya pendapatnya tentang Pancasila pastilah dengan percaya diri akan mengatakan “saya Pancasilais” diikuti dengan slogan bernuansa fanatis: NKRI harga mati! Saking fanatisnya apa-apa semua harus Pancasila, ekonomi Pancasila, demokrasi Pancasila, politik Pancasila, pendidikan Pancasila, ormas Pancasila, hingga sepak bola yang Pancasilais. Semua dipukul rata: harus Pancasilais. Cocoklogi yang aduhai.

Saya juga begitu, ketika ditanya, saya akan berkata dengan lantang dan cukup yakin: “saya Pancasilais!” namun pengakuan itu sejujurnya dan sebenarnya merupakan pengakuan “defensif” di tengah dibatasinya alternatif gagasan untuk mendebat Pancasila. Singkatnya pengakuan terhadap Pancasila bukan didasarkan pada pemahaman utuh mengenai isi gagasannya melainkan pengakuan dari hasil doktrin mata pelajaran PKN di sekolah, dan juga hasil tafsir tunggal Orde Baru terhadapnya.

Berbekal dalil “Nasionalisme “ diikuti keharusan untuk menjadi “Pancasilais”, kita, warga negara dipaksa patuh dan dilarang punya pilihan lain selain tunduk pada segala tatanan bentukannya. Sialnya tatanan itu selalu bersifat struktural top-down (dari atas kebawah). Elite pemerintahan sebagai subjek doktrinasi, warga negara yang dipaksa mengamalkannya.

Warga negara dianggap tak ubahnya macam hewan ternak yang apa-apa harus ikut apa kata pemiliknya. Dititik ini saya kira menjadi hewan liar jauh lebih bermartabat. Paling tidak posisi mereka masih punya kebebasan untuk bertindak.

Bayangkan saja, apa yang hendak kita ambil dari makna sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa? Kalau untuk bertuhan saja kepercayaan kita hanya dibatasi dengan agama mainstream yang lagi-lagi definisinya hanya dibatasi oleh standar pemerintah (kementerian agama). Jangankan bicara individu yang tidak bertuhan (atheis), kelompok/aliran yang dianggap keluar dari arus utama saja kerap kali dipersekusi negara bahkan warga sendiri.

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama itu sudah bermasalah dan saling kontradiktif dengan sila selanjutnya: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Bagaimana mungkin menghargai kemanusiaan dan berlaku adil terhadapnya sementara di sisi lain individu itu sendiri dipaksa untuk bertuhan? Letak keadilan dan kebaradabannya di mana?

Selama ini pancasila hanya dimaknai kaku, diikuti dengan ritual seremonial yang berlebihan. Lebay dan sensasional. Pancasila tak ada bedanya dengan slogan pramuka yang dengan bangga diucapkan seorang generasi milenial tanpa ia tau sama sekali maknanya.

Kendati makna Pancasila ditegaskan Bung Karno dalam pidatonya dengan istilah Philosofische Grondslag (falsafah negara), hari-hari ini ia hanya sampai di kepala generasi kita sebagai slogan kering bak makanan siap saji. Tanpa diberikan kesempatan (paling tidak) mempertanyakan maknanya. Ya, bagaimana mau mempertanyakan, ketika sejak dalam pikiran saja untuk mendebatnya kita ketakutan kena delik hukum dan dicap anti Pancasila.

Jangankan memberikan kritik, membuka dialog dengannya saja sudah barang tentu dapat persekusi, dianggap tidak nasionalis dan tidak cinta tanah air. Paling parahnya ia akan dianggap pengkhianat negara.

Tanggal 1 Juni harusnya tidaklah kita maknai hanya sebagai ritual seremonial belaka untuk mempertahankan doktrin berbahaya Pancasila. "Akui saja ideologi" inilah yang kerapkali menimbulkan konflik di mana-mana. Perseteruan identitas dan kepentingan kelompok dipaksa tunduk pada dalil Pancasila. Alih-alih mempersatukan, ia justru kerap jadi pemicu polarisasi. Menurut saya, perlu kiranya ada tafsir alternatif terhadapnya agar (meminjam istilah Rocky Gerung) ia tidak menjadi ideologi kejam ketiga setelah fasisme dan komunisme.

Tapi apalah daya, slogan Pancasilais hari-hari ini sudah terlanjur mendarah daging. Doktrin nasionalisme dan keharusan mempertahankannya sampai mati tidak saja berbahaya terhadap sehatnya cara kita berwarga negara. Memaksa Pancasila sebagai standar lazim kehidupan warga negara pastilah mengancam nilai-nilai yang sebenarnya jauh lebih penting untuk kita hargai, kebebasan mendasar manusia sebagai individu: kebebasan memilih kepercayaan, berpendapat, hingga toleransi, (sedang beberapa dalil Pancasila kontradiktif dengan pokok persoalan itu).

Jangan lupa, kita sudah punya catatan kelam soal ideologi ini. Ketika ia dijadikan alasan tunggal negara untuk membenarkan kekerasan dan pembunuhan banyak anak bangsa sendiri di zaman Orba. Seorang pemikir filsafat politik, Hannah Arendt memberikan risalah panjang mengenai hal ini dalam tulisannya “Reflections Of Violence” yang konon menggemparkan perdebatan seputar hubungan kekuasaan dan kekerasan.

Arendt mendefinisikan kekuasaan hanya sebagai kemampuan memerintah dan memaksa ketaatan warga negara. Lalu menjadikan kekerasan sebagai alat pembenaran hanya akan menghasilkan upaya penyamaan kekuasaan (power) dan pemaksaan (force). Lebih lanjut Arendt mengatakan bahwa jika cara demikian dilakukan apa beda kekuasaan dengan segerombolan bersenjata yang juga melakukan kekerasan?

Tentu saja dalam konteks keindonesiaan, Apapun alasannya segala bentuk pemaksaan apalagi diikuti dengan cara-cara kekerasan tentu sangatlah bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan dan kemanusiaan. Kedua prinsip itu sekilas tercantum dalam beberapa sila yang terkandung dalam Pancasila.

Perlu ada keberanian pelbagai pihak untuk kembali melahirkan alternatif gagasan mengenai Pancasila. Agar ia tidak lagi berpotensi menjadi alat mematikan yang memakan anak bangsa sendiri.

Tulisan ini sudah barang tentu merupakan bagian dari kecintaan saya terhadap Indonesia. Kritik terhadap nilai-nilai yang dihasilkan didalamnya saya kira merupakan konsep paling dasar dari rasa cinta itu sendiri. Begitulah seharusnya keadilan dan keberadaban bekerja seperti bunyi sila kedua itu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya