Mempersiapkan Persalinan Republik yang Hamil Tua

Tidak benar, jika seluruh penghuni gedung DPR adalah orang goblok, nyatanya ada juga yang cerdik dan kritis. Tidak juga benar, seluruh penghuni gedung DPR adalah setan, banyak juga yang berhati malaikat. Lebih-lebih tidak benar, jika ada yang menyebut, kantor DPR, hanya diisi oleh kumpulan penipu, yang menggigit tuannya sendiri selepas pemilu, buktinya, tidak sedikit juga di sana, yang tetap taat pada janji-janji awal, meski tidak semua dapat ditepati.
Namun, berapa jumlah orang kritis, bersifat malaikat, dan taat pada tuannya di gedung DPR, jika dikalkulasikan? Palingan hanya sepersekian persen saja. Dengan indra sederhana, kita dapat merasakan hal itu. Akhirnya, wajar saja jika rakyat dihadiahi hukum-hukum yang menyengsarakan. Jikapun tidak dari mereka (katakanlah dari pemerintah); bukannya membela kepentingan rakyat, mereka malah bersorak sorai, satu suara, mendukung hukum tersebut.
Bisa apa serombongan kecil yang kritis, bersifat malaikat, dan tetap taat pada tuannya tadi? Tidak ada! Kecuali walk-out. Itupun, tidak membawa dampak apa-apa bagi masyarakat yang akan segera tertindas oleh hukum jahanam tersebut. Kecuali jelas belang; mana yang iblis, mana yang malaikat. Itu saja. Tidak lebih.
Sejak Corona, belang dari anggota DPR yang bersorak sorai, satu suara, mendukung pengesahan hukum-hukum baru itu semakin terlihat jelas. Padahal, tidak ada satupun dari hukum tersebut yang memihak pada masyarakat, akar rumput yang mereka wakili. Oleh karena itu, wajar saja jadinya, apabila rakyat yang dirugikan, melihat bahwa upaya pengesahan hukum baru ini, merupakan wujud asli dari niat wakil mereka, yaitu untuk keuntungan pribadi semata.
Sebut saja, Omnibus-law, RUU Minerba, Tappera, dan sebangsanya. Banyak sekali pasal-pasal bermasalah, dari hukum-hukum baru yang peresmiannya dilakukan seperti orang sesak kencing saja. Apalagi, pengesahannya dilakukan saat pagebluk sedang menggila.
Hipotesa kita, tentu mengarah pada suatu kecurigaan yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di kalangan aktivis Indonesia, yaitu kebanyakan hukum yang dibuat ini, sejatinya hanya untuk menyelamatkan ekonomi negara dari kebangkrutan akibat mandeknya industri nasional yang disebabkan oleh pagebluk Corona. Tapi, celah untuk mengkritiknya selalu saja ditutup sangat rapat oleh pemerintah.
Keputusan dari peresmian hukum baru ini, juga hanya akan menyelamatkan hidup segelintir orang yang selama ini, menyokong negara lewat modalnya. Kita melihat, seakan-akan keselematan ekonomi, dan segelintir orang, lebih penting dari pada kemaslahatan rakyat menengah dan kecil, yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia.
Menanti Kelahiran
Sebenarnya, dahi rakyat sudah mengkerut, membentuk angka sebelas, melihat kelakuan para wakilnya di gedung DPR. Bukannya membela, malah menjebak tuannya dalam lumpur hisap. Dari dulu sebenarnya, keseriusan anggota DPR dalam mewakilkan keadaan rakyat sudah dipertanyakan, oleh banyak pihak.
Namun, entah karena kultur apa, setiap musim pemilu, rakyat selalu saja percaya dengan wakilnya, yang jelas-jelas telah menipu mereka semua. Kenyataan itulah yang membuat, para politisi merasa terselamatkan dari amukkan kemarahan massa yang diwakilinya. Sehingga mereka tetap berani tersenyum, apabila berkhianat terhadap suara rakyat yang diwakilinya.
Berbeda dengan negara lain, kita ambil saja contoh terdekat. Di Jepang misalnya, apabila politisi melakukan suatu kesalahan, mereka malu setengah mati, karena sudah mencoreng amanah dari kelompok orang yang diwakilinya. Jika dibolehkan, mereka akan bunuh diri, saking malunya.
Kenyataan itulah, yang membuat kita semua merasa, lebih baik DPR ini tiada saja. Toh, jika gunanya hanya untuk menyengsarakan jua. Tapi narasi seperti ini, tidak akan bisa diucapkan oleh rakyat, karena kembali lagi; entah karena kultur apa.
Dugaan Cak Nun, karena ideologi masyarakat yang berserah diri dengan segala keadaan, seakan hal tersebut adalah ujian dari Tuhan Yang Mahakuasa, yang mesti mereka syukuri, untuk syarat masuk surga. Hal itulah, yang membuat politisi berjingkrak riang di atas penderitaan mereka semua.
Dengan keadaan wakil rakyat yang demikian bobroknya, sulit sekali jadinya, bagi kita semua untuk mempercayakan nasib hidup orang banyak di pundak mereka. Tuhan tidak akan langsung turun tangan dan menyelesaikan persoalan yang sedang kita hadapi. Karena Ia telah mempercayakan seluruh urusan dunia, pada umat manusia. Oleh karena itu, mesti ada yang bisa memperbaiki keadaan ini.
Apabila tidak ada yang mampu merubah keadaan tersebut, karena kekuasaan tidak mau mundur selangkah pun. Maka, kita semua mesti bersiap menyambut kelahiran anak dari Republik yang sedang hamil tua ini; entah yang dilahirkannya adalah otoritarian, militerism, feodalism, atau lebih baik dari induk yang mengandungnya. Yang jelas, kita mesti bersiap menyambut era baru, pasca pagebluk.
Artikel Lainnya
-
257115/09/2021
-
80016/01/2024
-
363103/09/2020
-
Mungkinkah Membuktikan Perkara Ghaib?
235720/12/2020 -
Pembangunan dan Kuasa: Sebab Pokok Kemiskinan di NTT
74816/06/2024 -
24010/05/2024