Membaca Ancaman RUU Penyiaran Lewat Data: Krisis Kebebasan Media di Yogyakarta

RUU Penyiaran yang sedang digodok oleh DPR akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran yang besar, khususnya soal kebebasan media. Salah satu pasalnya melarang penayangan jurnalisme investigasi secara eksklusif. Padahal, jenis jurnalisme inilah yang selama ini kerap mengungkap banyak kasus seperti praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakadilan di balik layar.
Masalahnya tidak berhenti disini saja. RUU ini juga memberikan wewenang pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan konflik atau masalah antara media dengan pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan. Padahal, seharusnya tugas ini dikerjakan oleh Dewan Pers, lembaga yang secara independen bertugas menjaga etika dan kebebasan pers. Jika RUU ini disahkan, maka bukan tidak mungkin media akan berada di bawah kendali kekuasaan. Ini bukan cuma soal teknis penyiaran, tapi soal masa depan kebebasan berbicara dan mengakses informasi di Indonesia.
Sejak RUU Penyiaran mulai ramai dibicarakan, kekhawatiran soal nasib kebebasan media makin terasa di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta. Banyak yang bertanya-tanya, apakah ini akan menjadi awal dari penyempitan ruang bagi jurnalis? Apakah media masih bisa bekerja bebas ketika aturan ini diadakan? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak muncul begitu saja. Ada pengalaman nyata yang mendasarinya. Salah satunya terjadi di Yogyakarta. Jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana mendapatkan kiriman kepala babi ke kantor redaksi di saat sedang meliput kasus korupsi besar. Aksi teror ini menjadi peringatan keras bagi para jurnalis. Prodi Ilmu Komunikasi UMY pun angkat suara dan menyebut peristiwa ini sebagai bentuk nyata pembungkaman terhadap kerja jurnalis.
Tak hanya itu, keresahan juga muncul dari mahasiswa yang aktif di media kampus. Pada Agustus 2024, sekelompok mahasiswa di Jogja mengadakan diskusi terbuka soal masa depan kebebasan pers. Mereka berbagi pengalaman tentang tekanan yang pernah mereka alami, serta minimnya perlindungan hukum saat menghadapi ancaman. Diskusi ini menunjukkan bahwa kekhawatiran itu benar-benar ada
Kejadian-kejadian ini membuktikan bahwa ancaman terhadap kebebasan media bukan hal yang jauh dari kita. Situasi seperti ini sedang berlangsung, dan bisa terjadi di mana saja. Maka dari itu, penting bagi kita semua untuk mulai memahami lebih dalam.
Kenapa Kita Harus Waspada?
Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar yang seharusnya memiliki pemikiran yang terbuka terhadap berbagai hal. Kota ini bukan hanya tempat belajar secara akademik, tapi juga ruang tumbuhnya diskusi kritis dan kesadaran sosial. Namun data yang ada menunjukkan bahwa kebebasan pers di Yogyakarta juga sedang tidak baik-baik saja.
Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang tahun 2023, terjadi 7 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Yogyakarta. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat bahwa beberapa media lokal mendapat tekanan dari pejabat setempat karena pemberitaan yang dianggap merugikan atau terlalu kritis. Bahkan ada jurnalis yang kehilangan pekerjaan karena tulisan mereka dianggap mengganggu kerja sama iklan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil survei dari Forum Jurnalis Lintas Media (Forja) menyebutkan bahwa sebanyak 63% jurnalis muda di Yogyakarta pernah mengalami tekanan untuk tidak menulis isu-isu yang dianggap sensitif. Tekanan ini bisa datang dalam bentuk intimidasi, ancaman dari atasan, hingga larangan meliput suatu peristiwa.
Ancaman Nyata Bagi Media Lokal
Jika RUU Penyiaran ini disahkan, dampaknya akan sangat terasa bagi media kecil khususnya media lokal. Media seperti ini biasanya menjadi ruang penting bagi warga untuk menyuarakan persoalan yang sedang terjadi dan membahas delam-dalamnya. Sayangnya, mereka juga yang paling rentan ditekan jika ada kebijakan yang membungkam suara-suara kritis.
Investigasi soal kasus lingkungan, pelanggaran hak masyarakat adat, atau korupsi di tingkat daerah bisa dilarang tayang. Padahal, publik memiliki hak untuk tahu dan memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Ketika aturan ini justru membatasi informasi, maka publik kehilangan akses terhadap kebenaran.
Sebagai mahasiswa jurnalisme yang sedang belajar memahami dunia media, saya melihat kondisi ini sebagai ancaman serius bagi masa depan profesi kami. Jurnalisme bukan hanya tentang menulis berita, tapi tentang berdiri di tengah masyarakat untuk menyuarakan hal-hal yang perlu diketahui publik, meski terkadang tidak menyenangkan bagi pihak tertentu.
Jika media dibatasi, maka generasi muda seperti saya yang bercita-cita menjadi jurnalis akan tumbuh dalam ketakutan. Takut menulis, takut dituntut, dan takut kehilangan pekerjaan hanya karena mencoba menulis kebenaran. Saya sendiri sering merasa ragu, bukan karena tidak mampu menulis, tapi karena takut apa yang saya tulis bisa berujung pada tekanan atau sensor.
Angka-angka dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Forum Jurnalis Lintas Media (Forja) hanyalah sebagian kecil dari realita yang lebih besar. Data itu menunjukkan bahwa kebebasan media di Yogyakarta kota yang seharusnya menjadi simbol keterbukaan pikiran sedang menghadapi tekanan serius. Kita tidak bisa mengabaikan berita ini.
RUU Penyiaran bukan sekadar aturan hukum. Aturan ini merupakan cerminan dari bagaimana negara memandang peran media. Jika jurnalisme investigatif dibatasi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi wewenang lebih dari yang semestinya mereka kerjakan, maka bukan hanya jurnalis yang kehilangan ruang untuk bekerja. Masyarakat juga akan kehilangan suara dan kebenaran yang seharusnya sudah menadi hak mereka untuk mengetahui hal itu.
Yogyakarta seharusnya menjadi tempat di mana ide dan kebenaran bebas mengalir. Tetapi kali ini, kita menyaksikan bagaimana suara-suara kritis justru perlahan dibungkam, dengan dalih pengaturan penyiaran.
Sebagai warga, mahasiswa, maupun pembaca media, kita perlu sadar bahwa krisis kebebasan media bukan hanya urusan jurnalis. Ini juga soal hak publik untuk tahu, hak untuk bertanya, dan hak untuk tidak dibatasi dalam menerima informasi.
Jika kita diam, ruang-ruang untuk mencari kebenaran akan makin sulit untuk ditemukan atau bahkan bisa-bisa hilang. Tapi jika kita peduli pada masalah ini akan masih ada harapan. Harapan untuk mempertahankan media yang bebas, jurnalis yang berani, dan publik yang tetap bisa berpikir kritis.
RUU Penyiaran memang masih dalam proses. Tapi suara-suara penolakan dan kehati-hatian harus terus digaungkan. Sebab demokrasi yang sehat membutuhkan media yang kuat. Dan media yang kuat hanya bisa ada jika kebebasannya tidak dicabut sedikit demi sedikit oleh aturan yang mengekang.
Artikel Lainnya
-
180902/11/2020
-
27021/10/2024
-
175515/10/2019
-
Hukum Indonesia Terkait AI Art: Pelanggaran Hak-Hak Seniman?
114514/04/2024 -
Cara Mengelola Stress dan Emosi Negatif
46615/02/2024 -
Netralitas ASN dalam Menyongsong Tahun Politik 2024
119429/01/2022