Melenting Kembali Pasca Tsunami

Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Melenting Kembali Pasca Tsunami 31/12/2021 856 view Budaya batam.tribunnews.com

Sabtu, 25 Desember 2004. Tidak ada seorang pun anak Aceh yang menyangka bahwa esok hari mereka akan menjalani hidup yang sama sekali berbeda. Begitu juga dengan Meurah yang saat itu baru berusia sembilan tahun. Seperti kebanyakan anak lainnya, Meurah adalah sosok periang yang hobi bermain, memiliki keluarga yang utuh, dan ibu yang penyayang, yang menjadi tempatnya berkeluh kesah dan bermanja. Namun kenyamanan hidup Meurah berganti kegetiran keesokan harinya saat tsunami menggulung tempat tinggalnya.

Tsunami dahsyat yang menghantam Aceh kala itu tidak hanya menyapu rumahnya, tapi juga orang yang paling dikasihinya, yaitu ibunya. Kehilangan sosok signifikan (significant others) bagi Meurah tidaklah mudah. Kesedihan, kesepian, kecemasan, traumatis, dan tidak percaya diri adalah sederet dampak psikologis yang mesti ditanggung tubuh kecilnya. Dan Meurah tidak sendiri, bersamanya ada ribuan anak lainnya yang bernasib serupa atau bahkan lebih sengsara.

Sementara itu, Meurah masih memiliki seorang ayah, peran ayah tiada hentinya mendampingi dan memotivasi Meurah bahwa perjalanan hidup seseorang telah digariskan dan tidak ada yang perlu disesali. Ada nasihat yang selalu Meurah ingat “bahwa anak tsunami adalah anak yang kuat dan bukan sembarang dipilih untuk menerima cobaan ini, maka kalian haruslah kuat dan tumbuh menjadi anak berbeda dari anak biasanya karena sudah teruji dan mampu bangkit, tentu ini bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa, jika kalian mampu melewatinya maka kalian luar biasa”. Saya yakin tiap orang tua yang selamat juga akan mengatakan hal yang sama kepada anak-anaknya.

Nasib serupa menimpa anak korban tsunami lainnya yang terpaksa tinggal bersama kerabatnya karena harus kehilangan seluruh anggota keluarganya, namun hingga kini masih terlihat jelas duka mendalam, terlihat dari kurang motivasi untuk melangkah maju dan cenderung menyendiri. Terkadang kehadiran kerabat dan teman tidak cukup untuk memulihkan kondisi anak yang terdampak tsunami. Selain itu, ada pula yang dititipkan di panti asuhan yang dianggap sebagai solusi saat itu, namun kenyataan mengejutkan bahwa beberapa anak terdampak yang tinggal di panti asuhan mampu survive.

Aceh dihadapi pada ancaman lost generation sehingga dalam melewati masa pasca bencana, masyarakat Aceh dibantu dari berbagai pihak secara berkesinambungan dalam proses rehabilitasi dan recovery, termasuk adanya peran lembaga internasional. Akan tetapi, hampir 17 tahun sejak kejadian mencekam itu, ancaman yang dikhwatirkan tidak pernah terjadi. Meurah dapat tumbuh dan berkembang menjadi gadis yang tangguh dan berprestasi. Begitu pula anak-anak lainnya. Mereka mampu melenting kembali setelah dihantam bencana tsunami. Dalam psikologi, daya lenting yang ditunjukkan Meurah dan teman-temannya setelah kejadian bencana disebut resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan seseorang melalui kejadian sulit dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk bangkit.

Ada banyak faktor yang menyebabkan resiliensi seseorang, begitu pula dengan Meurah, di antaranya bersumber dari internal seperti kelapangan hati bahwa segala sesuatu yang diambil akan digantikan dengan yang lebih baik, dapat mengambil kebermaknaan hidup dari setiap kejadian, mampu bertumbuh dari waktu ke waktu, serta melalui rasa kedamaian dalam keimanan dan ibadah yang dilaksanakan. Selain itu, yang bersumber dari eksternal melalui dukungan anggota keluarga seperti yang dilakukan ayah Meurah yang membuatnya mengenali potensinya, dukungan kerabat dalam bentuk moril, materi, dan kesediaan memberi tempat tinggal dalam proses pemulihan pasca tsunami, serta dukungan teman sebaya.

Dari beberapa sumber faktor terbentuknya resiliensi, kekuatan dari dalam diri menjadi sumber terbesar dan yang paling berpengaruh dalam kemampuan seseorang keluar dari kondisi sulit. Kekuatan ini berkembang seiring bertambahnya usia, kematangan berfikir, pengalaman hidup, dan konsep diri. Pengalaman yang dialami seseorang menjadikan mereka mampu menghadapi dan mengatasi kondisi yang menekan, bahkan menantang hidup untuk membuat individu menjadi lebih baik.

Hadirnya kisah Meurah membuka kesadaran tentang realitas kehidupan bahwa bencana dapat menimpa siapa saja dan tidak dapat dihindarkan. Namun dibalik bencana berat yang dihadapi setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk bisa bangkit. Resiliensi diri yang tinggi berperan besar untuk mampu menghadapi permasalahan apapun. Hal ini yang membuat anak-anak penyintas di Aceh dapat tumbuh dan berkembang dengan baik walaupun dihantam bencana tsunami.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya