Kenakalan Post-Pesantren: Sebuah Refleksi Eksistensial
Pendidikan kedisiplinan di pesantren tercermin dari aturan-aturan yang tersistematisasi. Pembelajaran di pesantren memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan sekolah pada umumnya, terutama dalam waktu pembelajaran harian yang lebih banyak. Jika sekolah pada umumnya memakan 5-10 jam per hari, maka pembelajaran di pesantren hanya menyita 75% dari 24 jam kehidupan harian. Sebab, hampir seluruh tindakan yang ada di pesantren di atur sedemikian rupa, baik dari membuka kelopak mata hingga tidur. Nilai-nilai keagamaan menjadi pondasi dasar pembelajaran di pesantren, di samping nilai agama menjadi way of life merupakan sesuatu yang seyogyannya diimplementasikan.
Perubahan paradigma yang sangat besar terjadi ketika hari kelulusan diumumkan dan santri tersebut kembali ke kampung halamannya berasal. Ibarat burung yang terbebas dari kungkungan sangkar, beberapa alumni tidak lagi menerapkan nilai-nilai yang mereka dapatkan ketika mengenyam pendidikan di pesantren. Arus kebebasan dunia luar yang liar serta tidak adanya pengawasan yang menyeluruh di pesantren menjadi (katanya) sebagai salah satu faktor hilangnya dimensi tersebut di diri seorang santri. Kebebasan yang tersedia benar-benar dimanfaatkan tanpa kontrol yang memadai oleh sebagian dari mereka.
Secara radikal seolah mereka menganggap bahwasannya pengawasan dalam agama hanya berdasarkan pada pengawasan pengurus pondok. Padahal para dewan pengajar selalu mengingatkan dan menegaskan bahwasannya segala perbuatan kita diawasi oleh Allah Swt. Apakah mereka lupa akan hal tersebut? Naudzubillah min dzalik. Seolah, sebagian alumni tertimpa kutukan ‘kebebasan’ tersebut.
Eksistensialisme: Identitas
Kutukan tersebut memiliki kesamaan dengan pemikiran filsafat eksistensialisme dalam perspektif Jean-Paul Sartre. Menurutnya, manusia lahir ke dunia tanpa esensi yang tetap. Ia ‘terlempar’ ke dalam eksistensi dan diwajibkan menemukan pemaknaan akan diri sendiri. Dalam konteks santri yang lulus dari pesantren, keterlemparan ini memiliki relevansi. Mereka secara tiba-tiba ‘dilempar’ dalam dunia di mana mereka harus menentukan pilihan sendiri. Sebuah dunia yang tidak lagi memiliki batas-batas yang ketat seperti di pesantren.
Bagi sebagian lulusan pesantren, ini adalah kesempatan untuk membangun diri yang lebih autentik. Mereka tetap berpegang pada ajaran yang mereka yakini, tetapi dengan pemahaman yang lebih dalam, lebih personal. Mereka tidak sekadar mengikuti aturan karena itu kewajiban, tetapi karena mereka memahami alasan di baliknya. Mereka menemukan kebebasan dalam keteguhan.
Namun, bagi yang lain, keterlemparan ini sepertinya terlalu mendadak. Mereka belum siap menghadapi dunia tanpa aturan yang jelas, dan akibatnya, mereka justru berusaha menemukan identitas dengan cara yang ekstrem. Mereka ingin membuktikan bahwa mereka bebas. Dalam upaya membuktikan itu, mereka sering kali melepaskan seluruh nilai yang dianggap mengikat mereka.
Fenomena ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Ada yang tiba-tiba menjadi anti-agama. Bukan karena mereka benar-benar meninggalkan keyakinan, tetapi karena mereka merasa perlu melawan apa yang pernah membentuk mereka. Ada yang terjerumus dalam gaya hidup hedonistik. Bukan karena mereka benar-benar menikmatinya, tetapi karena itu adalah cara termudah untuk menunjukkan bahwa mereka “berbeda” dari diri mereka yang dulu. Mereka sepertinya menganggap bahwasannya ajaran pesantren gagal meninggalkan atsar pada diri mereka.
Kepatuhan & Pemberontakan
Pondok pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan institusi yang membentuk manusia dalam pola tertentu. Jika santri yang telah meninggalkan pesantren tiba-tiba berubah, sungguh sebuah kecacatan logika apabila mengatakan bahwasannya sistem pendidikan pesantren telah gagal. Manusia tidak bisa selamanya hidup dalam sistem yang serba pasti.
Umumnya pendidikan di pesantren merupakan pendidikan yang berbasis pada kepatuhan, bukan kesadaran. Santri diajarkan untuk taat, tetapi jarang diberikan ruang untuk bertanya mengapa mereka harus taat. Mereka terbiasa mengikuti aturan, tetapi tidak selalu memahami makna di balik aturan itu. Akibatnya, sebagian dari mereka ketika lulus dan aturan itu menghilang, mereka tidak punya pondasi yang cukup kuat untuk mempertahankan nilai-nilai yang dulu mereka jalani.
Sartre mengatakan bahwa kebebasan sejati adalah ketika seseorang dapat bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Seorang alumnus yang tetap berpegang pada nilai-nilai pesantren bukan karena terpaksa, tetapi karena ia memilihnya secara sadar, adalah contoh dari kebebasan yang autentik. Sebaliknya, mereka yang sekadar memberontak tanpa memahami alasan di balik pemberontakan mereka, justru tetap terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Mereka tidak memiliki pemaknaan yang holistik terhadap tindakan mereka yang merefleksikan kerapuhan keberadaan hidup mereka. Seyogyanya, pemahaman mengenai kebebasan dan tanggung jawab merupakan landasan yang dibangun ketika mereka dahulu berproses.
Ke‘diri’an dalam Miniatur Dunia
Jika kenakalan post pesantren adalah gejala dari krisis identitas, maka solusinya bukan mengontrol para alumnus yang telah keluar. Perkara yang lebih urgen adalah bagaimana pesantren membekali santri dengan pemahaman tentang kebebasan dan tanggung jawab sebelum mereka dilepaskan ke dunia luar. Kesadaran akan keduanya hendaknya ditanamkan setiap kali para santri menerapkan berbagai aturan yang ada.
Pendidikan yang baik bukan hanya tentang memberikan aturan, tetapi juga membangun kesadaran. Jika santri hanya diajarkan untuk mengikuti, maka mereka akan kesulitan ketika tiba saatnya mereka harus berjalan sendiri. Namun, jika mereka diajarkan untuk berpikir, untuk memahami, dan untuk memilih secara sadar, maka mereka tidak akan mudah goyah ketika dihadapkan pada kebebasan yang lebih luas.
Di samping itu, dengan menumbuhkan sikap tanggung jawab, agama tidak lagi menjadi legitimasi atas kenakalan yang mereka lakukan di masa mendatang. Jangan sampai mereka beranggapan dengan luasnya ilmu agama yang mereka miliki, dapat menjadikan tindakan mereka semena-mena.
Sebuah institusi agama layaknya pesantren bukanlah tempat yang hanya membentuk kepatuhan secara mutlak, melainkan sebagai tempat pelatihan santri untuk memahami dirinya sendiri. Bukan hanya mengajarkan bagaimana hidup dalam aturan, tetapi juga bagaimana hidup dalam kebebasan. Karena pada akhirnya, pesantren hanyalah salah satu fase dalam hidup seorang pelajar, bukan tujuan akhir. Pesantren diibaratkan miniatur dunia yang mana realitas sejati adalah kehidupan pasca-pesantren. Kebebasan post-pesantren sekalipun hanyalah sebuah fase di mana wushul ilallah merupakan pemungkas yang mulia.
Artikel Lainnya
-
166308/03/2022
-
83002/01/2023
-
157928/09/2021
-
Peran Filsafat dalam Memahami Dunia dan Kehidupan Manusia
424709/12/2023 -
74822/11/2022
-
Lagu, Buku, dan Tanah: Membaca Kolektif AMPSKP dalam Gerakan Ekologis dan Literasi
35705/08/2025
